Minggu, 01 Februari 2009
Puisiku
BAYANG-BAYANG
Aku berteman bayang-bayang,
Karna ia selalu di dekatku, menjagaku,
Di atas aspal, di tembok kamar, sepanjang trotoar,
Dan melonjak-lonjak di rerumputan,
Tubuh mungilku yang ramping membuatnya riang,
Ia melenggok seiring gerak tubuhku,
Ketika aku menari-nari sendirian.
Aku berteman bayang-bayang,
Di pagi dan sore hari ia tampak begitu panjang,
Kadang ia menggodaku di depan,
Atau menertawaiku dari belakang,
Bila aku berbalik, ia melompat ke samping,
tawanya berderaian.
Tepat tengah hari, saat terik mentari,
Ia sembunyi di bawah tubuhku,
Dan tiap kulangkahkan kakiku,
Ia berteriak-teriak lucu.
Bila aku berteduh karena kegerahan,
Ia marah, protes, dan meninggalkanku sendirian,
bila aku banyak waktu, tak terburur-buru,
Kubiarkan protesnya menggangguku.
Tapi kadang aku benci bayang-bayang
Karna ia terlahir dari sinar mentari,
Yang tak mampu menembus ragaku,
Dan membakar sekujur tubuhku,
Kulitku yang langsat jadi kelam,
Wajah beningku pun jadi kusam,
Kurasakan panasnya sampai ke jantungku,
Hingga menetes keringatku.
Aku jadi enggan melihat bayangku di cermin kamarku,
Ia bukan diriku,
Ia melayang,
Ia menghilang,
Menjadi bayang-bayang.
Composed in my head along the way from Preinkert Field House to Berwyn House, Sept. 09/02. I felt so alone that I played with my own shadow.
WAKTU
Hanya waktu,
yang mampu menghentikan langkahku,
kuhitung hariku,
pagi benderang menjadi siang dan gelap segera
menjelang,
kala pagi datang lagi, kutahu waktuku hilang sehari.
Walau antara kita ada ruang yang membentang,
ia mampu kutentang,
namun waktu pula,
yang ‘kan memisahkanku darimu,
semakin dekat dirimu, semakin waktu menjauhkanmu.
Menyerah aku pada waktu,
bagai mentari tunduk pada sang malam,
dan tak lagi ku ingin lari,
karna waktuku ‘kan tiba di sini,
mendatangiku dan membawamu pergi.
Berwyn House, Winter 2002.
SECANGKIR TEH
Ibarat secangkir teh di meja dapur
Aku mengepul oleh sentuhanmu
dan siap kau hirup, seteguk demi seteguk
Hingga tetes terakhirku
Tapi secangkir teh hanya sebentar menyegarkanmu
Dari kelelahanmu yang panjang dan tak terhindarkan
Ia tak mampu menyejukkan segala dahagamu
Sekejap ia hangat dan dingin untuk ditinggalkan
Aku ingin menjadi perdu tehmu
Yang tumbuh subur di halaman belakang
Kau bisa petik setiap dahagamu datang
Dan menyedu dengan cangkirmu
Hingga uapku meraba seluruh inderamu
Menjalar ke seluruh nadimu dan menggetarkan jantungmu
College Park, Winter 2002.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar