Selasa, 27 Oktober 2015

Perdu Mawar

Sumber Gambar

Seminggu yang lalu. 

Suara berdebum disusul lengkingan membelah udara Sabtu siang yang gerah. Mei meletakkan baju yang tengah dijahitnya. Tanpa peduli pada kakinya yang tak beralas, ia tergopoh berlari ke rumah tetangga sebelah.

Begitu membuka pintu pagar Mei melihat Deti berteriak-teriak histeris di beranda rumahnya. Matanya melotot, menatap perdu mawar di sudut halaman. Mei berusaha menenangkan perempuan yang sejak bercerai berubah jadi penyendiri itu; perempuan yang selama 5 tahun nyaris tak lagi bertegur sapa dengan para tetangganya.

“Alinaaa… Alinaaa… Alinaaa…!!!” Deti meneriakkan nama anaknya. Mei kewalahan. Dilihatnya perdu mawar itu – yang selalu rimbun, subur, dan berbunga indah semerah darah – tertimbun batu bata dan adukan semen.

Tetangga di sebelah rumah Deti, Rustam, sedang membangun kamar di lantai dua. Mungkin tukangnya kurang hati-hati, batu bata yang tengah dipasangnya roboh, jatuh menimpa perdu mawar itu.

Rustam muncul diikuti si tukang batu. Mereka membantu Mei menenangkan Deti. Rustam minta maaf, berjanji akan menggantinya, berapapun biayanya.

Walaupun Deti tak lagi bergaul dengan tetangga, namun mawarnya sering jadi pembicaraan. Selain indah dan selalu mekar, para tetangga setiap pagi mendapati Deti merawat mawar-mawarnya, memotong batang-batangnya, dan menyiangi rumput liar yang tumbuh di sekitarnya. Bila malam, Mei pun kerap melihat sosok Deti duduk di beranda, menatap ke arah perdu mawar itu.

Jeritan Deti tak berhenti, justru meninggi, menyayat hati. Lalu ia kejang dan pingsan.

** 

“Kami tidak tahu keberadaan keluarga Bu Deti. Kami juga tidak tahu ia kerja di mana. Dia hidup sendiri,” jelas Rustam pada petugas administrasi di rumah sakit.

Di ruang IGD, Mei dan istri Rustam menemani Deti yang belum juga siuman.

Rustam menghubungi Pak RT, meminta bantuannya untuk melacak keluarga dan kawan-kawan Deti. Ditemani tetangga lain, Pak RT terpaksa masuk ke rumah Deti untuk mencari informasi: nama-nama dan nomor-nomor telepon yang bisa dihubungi.

** 

Sembilan tahun sebelumnya. 

Mei senang punya tetangga baru. Sudah bertahun-tahun rumah di sebelahnya itu kosong setelah pemiliknya pindah tugas ke lain kota. Saking girangnya, hari itu Mei memasak lebih mewah dan lebih banyak dari biasa. Urusan jahitan ia serahkan pada asistennya. Dengan wajah gembira, menjelang makan siang, Mei mengantar semangkuk opor ayam dan sepiring sambal goreng untuk tetangga barunya. Si pemilik rumah, Deti dan suaminya, menyambut gembira. Mereka berkenalan dan berbincang akrab.

“Sudah berapa bulan, Jeng?” tanya Mei memandang perut Deti.

“Empat bulan,” jawab Deti dan suaminya berbarengan. Mereka tertawa. Bahagia.

“Anak Mbak Mei berapa?” tanya Deti dengan mata berbinar, tangan kanannya mengelus-elus perutnya.

“Dua. Sudah sekolah semua. Okto, yang besar, kelas 3 SD dan adiknya, April, kelas 1.”

Kembali mereka tertawa-tawa.

Hubungan dua keluarga itu terjalin hangat. Sepulang Okto dan April dari sekolah, Alina, anak Deti, sering bermain ke rumah mereka diantar pengasuhnya. Menjelang malam Deti akan menjemput Alina sambil membawa jajanan yang ia beli di toko roti dekat kantornya.

Empat tahun kemudian semuanya berubah.

“Capek, ya, Mas. Setiap hari mendengar orang bertengkar,” keluh Mei pada suaminya. “Sudah hampir sebulan mereka begitu. Makin malam makin gencar.”

“Serba salah. Mau diam gimana, mau bantu nggak bisa,” kata suaminya. “Kita doakan saja supaya mereka bisa segera mengatasi masalah.”

Beberapa minggu berikutnya Mei tak lagi melihat suami Deti. Sekitar dua bulan selanjutnya rumah sebelah itu nyenyat. Sesekali saja Mei melihat Deti keluar rumah untuk bekerja. Wajahnya berkabut. Matanya selalu melekat ke tanah. Rambutnya lengket di kulit kepala.

Para tetangga menebak-nebak pasangan itu bercerai dan Alina dibawa ayahnya. Beberapa kali Mei berusaha menemui Deti, namun ditampik. Bila didatangi, Deti tak membuka pintu. Pesan-pesannya tidak dibalas, telepon-teleponnya juga tidak diangkat.

Mei akhirnya menyerah.

** 

Tiga hari yang lalu. 

Rustam, Pak RT, dan dua tetangga lain berkumpul di rumah Mei.

“Terima kasih banyak atas bantuan bapak-bapak dan ibu-ibu,” ujar Henri, mantan suami Deti. “Meskipun saya sudah bukan suaminya, saya akan berusaha membantu perawatannya.” Panjang lebar Henri menjelaskan keberadannya.

Para tetangga Deti menyimak sopan, masing-masing memendam setumpuk pertanyaan.

“Orang tua Deti sudah meninggal dua-duanya. Saya sudah menghubungi kakak Deti. Dia dan keluarganya tinggal di Eropa. Setahu saya mereka tak pernah pulang ke Indonesia. Saya sendiri juga tidak pernah bertemu Deti. Bahkan saya tidak bisa menemui Alina dan tidak tahu sekarang dia di mana.”

“Bukannya Alina ikut Anda?” potong Pak RT.

“Tidak. Sejak bercerai dia ikut ibunya.”

Ruang tamu mendadak sepi. Mei dan Rustam bertatapan. Lama. Dua tetangga penghuni rumah yang mengapit rumah Deti itu sudah lima tahun tidak mendengar suara – apalagi melihat – Alina.

** 

Siang tadi.

Kampung yang tenang itu berguncang. Satu tim polisi memasuki rumah Deti. Mereka membongkar perdu mawar yang sebagian tertimbun adukan semen kering dan batu-bata.

***

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Hiii Mbak Endah....semakin cantik dan matang dengan penampilan baru.

Endah Raharjo mengatakan...

Hai, mBak Dini. Terima kasih banyak. Apa kabar? Semoga sehat dan bahagia di manapun berada :)