Senin, 22 Juni 2015

Menua Bersama dengan Mesra

Itulah kesan pertama selepas nonton film '5 Flights Up' yang menjejerkan 2 bintang favorit saya sebagai lakon: Morgan Freeman (Alex) dan Diane Keaton (Ruth). Beberapa reviewer film menganggap film ini ringan, serupa cerita pendek di majalah perempuan, tanpa kejutan sedikitpun dan tawar. Bagi saya film ini menjadi jeda yang nyaman sehabis disuguhi adu cacat-cela di media sosial.

Pasangan Alex dan Ruth bersama seekor anjing bernama Dorothy tinggal di sebuah apartemen berlantai 5 di Brooklyn. Ruth adalah pensiunan guru dan berkulit putih. Alex adalah pelukis berkulit hitam yang karyanya cukup laku dan masih produktif hingga tua. Mereka berniat menjual apartemen berkamar 2 yang telah mereka huni selama 40 tahun.

Rencana itu dipengaruhi oleh keponakan mereka, Lilly, seorang broker rumah, dengan alasan bahwa Alex dan Ruth menua hingga perlu pindah ke apartemen yang dilengkapi dengan lift supaya mereka tidak kesulitan naik-turun tangga.

Kisah berkutat pada proses menjual apartemen lama dan membeli yang baru (yang dilengkapi lift). Diselingi sakitnya si Dorothy dan reportase langsung di TV tentang adanya ancaman bom oleh teroris yang akan meledakkan truk tangki minyak di dekat jembatan Brooklyn. Benar bahwa film ini plotnya sederhana, namun akting Freeman dan Keaton memesona hingga saya menikmati tiap kata dan kedip mata mereka. Bahkan sesekali membayangkan diri saya bersama suami akan tetap semesra mereka 20 tahun lagi.

Cara mereka membahas suatu persoalan, bercanda dan saling mengejek mencerminkan perkawinan mereka yang bahagia meskipun jalan yang mereka tempuh terjal. Dalam salah satu adegan Ruth mengatakan bahwa saat mereka menikah 30 negara bagian di Amerika Serikat masih menganggap pernikahan campur sebagai tindakan ilegal. Dan 20 tahun berikutnya orang masih memandang mereka dengan penuh prasangka. Keluarga Ruth sendiri tidak mendukung pernikahan itu. Namun mereka melaluinya dengan baik.

Riak-riak kecil sehari-hari dalam perjalanan pernikahan - dengan sedikit flashback - berhasil ditampilkan wajar dan memikat. Ada beberapa sentilan dan humor dalam dialognya. Misalnya ketika teman mereka, keluarga pemilik galeri yang sudah lama menjual lukisan-lukisan Alex, meminta Alex mengubah gaya lukisannya. Terjadi dialog yang menegaskan bahwa galeri adalah bisnis, jadi keuntungan adalah tujuan utama. Sementara bagi Ruth dan Alex beda lagi; seniman melukis bukan untuk memuaskan pasar, seniman melukis untuk memuaskan dirinya sendiri. Juga ketika Alex harus minum obat dan ia gagal membuka botolnya. Di dekatnya ada gadis kecil yang menolongnya. “Mengapa mereka membuat botol sulit dibuka seperti ini?” tanya Alex pada si gadis kecil. “Untuk mencegah agar tidak dibuka anak-anak,” jawab si gadis kecil, menyerahkan botol yang berhasil ia buka tutupnya. Dan saya tergelak.

Sebuah film yang nyaman ditonton sambil menunggu buka puasa, atau sejenak rehat dari keruwetan sehari-hari. Saya paling suka dengan citra yang tersurat dalam kisahnya: pasangan yang menua bersama dan tetap mesra.

***

Tidak ada komentar: