Senin, 26 Oktober 2015

Kisah Para Penyintas Chernobyl


Sumber Foto
Membaca kumpulan cerita ‘Voices from Chernobyl’ karya Svetlana Alexievich, pemenang Nobel 2015 untuk karya sastra, memaksaku belajar tentang Belarus, Rusia dan perang saudara di Tajikistan.

Buku versi pdf yang kuunduh gratis hanya berisi bagian pertama dari kumpulan cerita itu, dua bagian lainnya sulit sekali kutemukan. Mungkin memang belum beredar atau harus membayar.

Kumpulan cerita ini diawali dengan secuplik sejarah terjadinya bencana Chernobyl, sebagai informasi untuk pembaca (muda) bahwa di tahun 1986 terjadi ledakan pada salah satu reaktor di kawasan pembangkit listrik tenaga nuklir tak jauh dari kota Pripyat, Ukraina, kira-kira 16 km dari perbatasan Ukraina-Belarus. Bencana ledakan reactor nuklir itu merupakan yang terbesar sepanjang sejarah penggunaan reactor nuklir sebagai pembangkit tenaga listrik. Jumlah korban hingga kini, saat artikel ini ditulis, sulit dihitung. Konon sebaran radioaktifnya hingga ke seluruh penjuru Eropa dan melepaskan radiasi 400 kali lebih dahsyat dari bom yang menghancurkan Hiroshima.

Bagian pertama dari kumpulan cerita pendeknya itu, sebagian ia sebut sebagai monolog, mengisahkan tentang kematian.

Dalam prolognya, ia menuliskan tuturan seorang istri (Lyusya) salah satu petugas pemadam kebakaran (Vasya) yang terlibat langsung dalam usaha pemadaman api di reactor yang meledak. Karena parahnya kondisi Vasya, dan demi keperluan penelitian di laboratorium, ia diterbangkan ke rumah sakit khusus di Moskow. Lyusya menyusul suaminya dan dengan cerdik tapi nekad ia bisa diijinkan masuk ke ruangan tempat suaminya dirawat. Perempuan berusia 23 tahun, pengantin baru, itu berbohong bahwa dirinya sedang tidak hamil demi bisa menjaga suaminya. Ia sama sekali tidak tahu – tidak ada yang tahu, memang dirahasiakan – bahwa radiasi nuklir sangat fatal bagi diri dan janinnya.

Tubuh suaminya itu telah terkena radiasi hingga sekian kali lipat dari ambang batas yang mematikan. Vasya telah merupa reactor nuklir, ujar salah satu perawat yang memohon agar Lyusya tidak berada dalam satu ruangan dengan suaminya.

Lyusya menuturkan perubahan wujud suaminya, bagaimana kulitnya melepuh dan penuh gelembung warna-warni, bagaimana ia berak darah dan nanah 25 hingga 30 kali sehari dan rambutnya yang rontok setiap kali kepalanya bergerak, bagaimana tubuhnya mrotholi sedikit demi sedikit. Lyusya menunggui Vasya selama 14 hari hingga petugas pemadam kebarakan itu meninggal.

Tak berhenti di sana, bayi perempuan mereka meninggal hanya beberapa jam setelah dilahirkan sebab radiasi nuklir menembus tubuh Lyusya hingga ke rahim dan melukai janin.

Beberapa tahun kemudian Lyusya menikah. Ia melahirkan bayi lelaki yang utuh yang ia namai Andrei. Keduanya sakit, tak jelas apa penyakitnya. Mereka tahu, setiap saat mereka bisa terjatuh dan tidak bangun lagi. Mati.

Kisah-kisah lain yang ada di bagian pertama buku ini adalah monolog dari beberapa orang, di antaranya seorang psikolog bernama Pyotr. Ia merasa horror yang menghantui hidupnya lenyap ketika perang berakhir. Namun kengerian itu kembali merenggutnya saat ia datang ke kawasan bencana Chernobyl. “The future is destroying me, not the past,” tutur Pyotr mengakhiri monolognya.

Dalam monolog lain, seorang perempuan menuturkan bagaimana orang-orang tidak tahu ‘wujud’ radiasi di sekitar mereka.

“Seperti apa itu radiasi?”

“Ibu, itu semacam kematian. Bilang nenek kalian harus pergi, kalian pindah ke rumah kami.”

Seperti apa wujud radiasi? Putih atau apa? Orang bilang radiasi tidak berwarna dan tidak berbau. Orang lain lagi bilang warnanya hitam. Seperti tanah. Namun kalau itu tidak berwarna, itu seperti Tuhan. Tuhan ada di mana-mana.

Mencekam.

Ada pula monolog yang menggambarkan bagaimana sebuah keluarga dari negara tetangga, Tajikistan, memilih tinggal di kawasan bencana itu. Mengapa? Sebab di negeri mereka tengah terjadi perang saudara antara kaum Kulyab dan Pamir. Perang saudara itu terjadi pada tahun 1992, kira-kira 6 tahun setelah meledaknya salah satu reactor nuklir Chernobyl.

Kelaurga itu rela pindah ke Belarus agar tidak dibantai oleh saudara sendiri. “Mereka orang-orang biasa, hanya menyandang senjata otomatis,” tutur perempuan yang mengaku bernama Svetlana, yang melihat bagaimana orang-orang disuruh turun dari bis dan ditembak bahkan sebelum sempat menjawab pertanyaan dari para penyandang senjata itu.

Ketika tiba di salah satu desa tak jauh dari Chernobyl dan melihat banyak rumah kosong, mereka tak peduli meskipun diberi tahu bahwa di wilayah itu sangat berbahaya karena radiasi tinggi. Mereka tak takut pada radiasi. Mereka takut pada manusia.

** 

Judul bagian pertama “The Land of the Dead” sesuai dengan kisah-kisah yang diperoleh Svetlana Alexievich dari wawancara dengan para penyintas radiasi dan perang yang terjadi di sekitar kawasan bencana Chernobyl. Radiasi tak terlihat mata, tak terendus dan tak teraba, namun kengerian dan kepedihannya sungguh nyata.

** 

Bagi yang ingin membaca kisah-kisah itu, sila unduh dari tautan ini.

Tidak ada komentar: