Sumber ilustrasi |
Kaki-kaki Wulan dengan lincah menapaki eskalator agar lebih cepat sampai ke atas. Dari bawah cuaca pagi itu tampak cerah. Beberapa meter lagi Wulan akan sampai di mulut gerbang Stasiun Metro Dupont Circle.
Setelah menyeberang dan beberapa meter berjalan ke arah kanan dari persimpangan, sampailah Wulan ke toko buku itu. Kramerbooks. Salah satu toko buku favoritnya yang terletak di Connecticut Avenue.
“Saya akan menunggu di coffee shop di Kramerbooks. Meja sudut kiri dekat jendela menghadap Q Street,” begitu pesan yang diterima Wulan lewat email dua hari lalu.
Di ambang pintu Wulan menengok ke kiri, ke arah coffee shop. Di salah satu sudutnya di dekat jendela dilihatnya lelaki itu sedang duduk sambil membaca. Rambut peraknya tampak indah terkena bias-bias sinar matahari musim gugur yang terpantul dari kaca jendela.
Tiba-tiba saja Wulan teringat pada pertemuan dan perbincangan pertama mereka.
“Wulan. Satu kata. Saya kira tadinya dua kata. Terdengar seperti nama perempuan China. Empat puluh tahun. Menikah dengan dua anak. Aaaahhh….” Dan laki-laki itu, mentor Wulan, mengembangkan senyum lewat matanya, bukan bibirnya. Indah. Terasa lunak. Bersahabat. Wulan suka.
“Ya, banyak teman-teman saya di sini mengira itu nama China.” Jawab Wulan dengan sopan. “Wulan itu nama Jawa. Bulan. Moon,” jelasnya.
“Ahhh… moon?” serunya pelan, “Empat puluh tahun? Apakah tidak salah?” Mata si mentor masih tersenyum.
“I’ll take that as a compliment,” jawab Wulan waktu itu. Bercanda.
Dan mereka segera akrab. Tidak butuh waktu.
Andrew Reynolds, demikian nama mentor Wulan itu. Duda dengan dua anak perempuan. Dalam usianya yang 61 tahun itu, Andy, demikian orang-orang menyapanya, termasuk para mahasiswanya, masih tampak keren. Selain tubuhnya tegap, gagah dan sehat, wajahnya mengingatkan Wulan pada Richard Gere. Bila sang bintang itu memotong cepak rambut peraknya dan memakai kaca mata, Andy jadi tampak seperti kembarannya.
Entah karena tampangnya itu atau karena hanya kesepian saja akibat jauh dari suami dan dua anaknya, Wulan merasa hangat saat pertama Andy ada di dekatnya. Padahal waktu itu mereka bertemu untuk berbincang tentang rencana kegiatan dan kuliah Wulan. Bukan untuk kencan.
Sebelumnya Wulan selalu berusaha keras untuk membentengi hatinya dari terobosan cinta selain yang berasal dari suaminya. Namun kali itu, ketika melihat Andy dengan mata teduhnya yang tersenyum hangat padanya, Wulan seperti tak ingin menutup gerbang bentengnya. Wulan justru membiarkannya sedikit terbuka. Sambil mengintip dan berharap.
Dan begitulah awalnya. Mereka pertama bertemu pada bulan Agustus, saat musim panas sedang terik-teriknya menyengat kota Washington DC. Sebulan berikutnya, Wulan mulai merasa kangen bila dua hari tidak berpapasan di kampus dengan Andy yang matanya senantiasa tersenyum padanya.
Tak butuh waktu lama, ketika Oktober tiba, bersama guguran dedaunan Andy muncul di lobby apartemen Wulan sambil membawa setangkai bunga. Untuk persahabatan katanya. Dan sejak itu, mereka membuka alamat email baru khusus untuk saling bertukar pesan-pesan mesra. Wulan dan Andy jatuh cinta.
“May I help you, Ma’am?” seorang lelaki muda bercelemek coklat muda dengan logo K besar di bagian dada mengagetkan Wulan dari lamunannya.
“Ah…. Saya harus menemui laki-laki itu,” Wulan terperangah dan menunjuk Andy yang masih asyik dengan bukunya. Perempuan bertubuh mungil itu melangkah melalui beberapa meja dan kursi diiringi pelayan yang tadi menyapanya. Scarf batik sutera menari-nari di pundak kanannya.
Ketika tinggal berjarak satu meja, Andy mendongak dan memandangnya. Ah. Matanya itu tersenyum dengan hangat. Rambut peraknya berkilauan mempesona.
“Maaf, terlambat,” Wulan malu, tersipu.
Lelaki itu membantu Wulan melepas jaket dan manyampirkannya ke sandaran kursi.
“Mint tea? And carrot cake?” Wajah Andy yang bersih dengan kerutan di sana-sini tampak sedikit gundah.
Wulan mengangguk. Setelah memberi isyarat pada pelayan, tangan Andy yang kokoh dan buku-buku jarinya menonjol itu menggenggam dua tangan mungil Wulan yang tergolek tak berdaya di atas meja.
“I don’t want to beat around the bush, Andy.” Nada bicara Wulan tegas namun suaranya bergetar. “Kita tidak boleh meneruskan hubungan ini. Saya bersuami.” Hanya itu yang keluar dari mulut Wulan karena ia merasa tak ada lagi yang perlu dikatakan. Semua sudah jelas. Andy juga sudah tahu, bahkan sebelum bertemu, ketika ia membaca CV Wulan, salah satu mahasiswa yang dibimbingnya.
“Saya mengerti, Wulan.” Andy mempererat genggaman tangannya. Mata teduhnya menatap lurus mata coklat Wulan.
Walau usianya telah memasuki masa senja, Andy masih merindukan manisnya cinta. Dan kedatangan Wulan dalam hidupnya yang tiba-tiba telah membuat hatinya merasa muda. Wulan bagaikan hujan yang menyegarkan tandusnya hati Andy yang telah tiga tahun menduda. Tubuhnya, walau mulai menua, masih mendambakan usapan cinta. Perbedaan usia dan budaya telah membuat hubungannya dengan Wulan, yang harus berakhir saat baru berawal, menjadi romantis dan eksotis. Bagai iklim katulistiwa yang menyimpan jutaan pesona di mata seorang Amerika. Namun Andy bisa mengerti. Bila pun tanpa kata-kata, Andy telah tahu apa yang dimaksud Wulan ketika perempuan Jawa itu ingin mengajaknya bicara tentang hubungan mereka.
“Saya mengerti, Wulan.” Andy mengulang kata-katanya. “Teh kita hampir dingin.” Andy melepaskan genggaman tangannya.
Pelan-pelan mereka menyeruput teh dari cangkir putih bulat yang bibirnya berlapis stainless steel itu. Dalam hening, Wulan dan Andy menikmati manisnya carrot cake, sementara sekelilingnya orang-orang berceloteh dengan ceria.
Dua keping jiwa dari belahan dunia berbeda yang tersesat dalam rimba cinta itu berusaha keras saling menguatkan lewat sorot mata. Mereka bertatapan lama.
***
1 komentar:
Carrot cake yang enak githu kalo dimakannya dengan suasana hati gundah gulana seperti Wulan, masih kerasa enaknya ngga yaa? *hmm*
Posting Komentar