Senin, 22 Oktober 2012

Kembang Jambu

Sumber Gambar
Aroma tanah basah bercampur lumut menyuruk lubang hidung Astuti begitu pintu belakang mobil terbuka. Masa kecilnya seketika berbaris rapi di benaknya, berbarengan dua kakinya yang tak sabar melompat keluar. Astuti mendongak, memandangi pohon jambu yang dulu ditanam oleh kakeknya. Dulu selepas sekolah, sembari menunggu bedug magrib, bersama teman-temannya ia bermarkas di bawah kerindangan dedaunnya.

Di sela-sela rimbunan kembang jambu yang mulai bermekaran, terlihat batang muda bergoyang, serupa lengan kurus-hitam milik Danang yang mencoba meraih pucuk ranting tertinggi. Ranting yang ujungnya penuh buah merekah merah. Danang selalu bangga bila bisa memetik jambu dari gagang tertinggi, hanya untuk Astuti.

“Aku mau metik sendiri!” gerutu Astuti. Gadis kecil berambut lurus sebatas bahu itu tak sudi memakan jambu yang tidak ia petik sendiri. “Aku bisa manjat lebih tinggi!” Ia segera melompat, kaki-kakinya melekat di batang pohon jambu erat-erat. Laksana tupai gadis itu sigap berpindah dari dahan satu ke dahan yang lain. Protes Danang tak ia dengarkan.

“Aduh!” Ingatan Astuti terpotong oleh sebiji karuk yang jatuh tepat di lensa kacamata hitamnya.

“Walah, Nduuk… cah ayuuu… Tutiii… Kamu sudah di sini rupanya…” Suara perempuan tua yang amat dikenalnya membuat Astuti menoleh.

** 

“Sudahlah, Nduk, asu gedhe kuwi menang kerahe,” ujar Bulik Narti mengelus punggung Astuti. Mereka duduk di atas lincak, membelakangi pintu.

“Baru jadi camat aja perilakunya sudah kayak gitu!” sergah Astuti.

“Danang tidak sendiri, Tuti. Di belakangnya ada Pak Bupati. Kabarnya ada polisi juga… Ini sudah sering terjadi. Tapi Bulik ndak ngira kalau Bulik juga bakal kena,” Bulik Narti bicara tanpa kehilangan kesabarannya. Seperti yang ia sampaikan melalui telepon beberapa waktu lalu, ia ikhlas kalau pekarangan peninggalan keluarga itu harus ia lepas dengan harga rendah.

“Tapi kan caranya nggak kayak gini. Kalau mau membebaskan tanah, ya… mestinya dengan harga lumrah. Bisa-bisanya dia kongkalikong sama developer itu. Tega banget sama tetangga sendiri.” Astuti menyayangi buliknya tak beda dengan ibunya sendiri. Sejak ditinggal suami karena tak bisa hamil, Narti memilih membantu mbakyu dan kangmasnya merawat anak-anak mereka. Astuti adalah keponakan yang paling ia kasihi.

“Sudahlah, Tuti. Bulik sudah tua. Jaman iku owah gingsir. Orang sekarang maunya terlihat kaya, meskipun harus kehilangan tanah.” Bulik Narti lalu berkisah tentang kebanyakan tetangganya yang tak tahan ingin membeli mobil atau sepeda motor, meskipun untuk itu harus melego pekarangan.

Ia satu-satunya orang yang tetap tidak mau melepas tanahnya. Semua tetangga awalnya menolak juga, namun setelah didesak tak henti-henti mereka menyerah. Pekarangan Bulik Narti berada di tengah-tengah, kalau berkeras maka ia akan kesulitan sendiri. Developer itu segera membangun pagar bumi, pekarangannya akan tertutup dari jalan kampung.

“Kami akan bantu, Bulik. Kami mampu membeli tanah untuk jalan itu.” Mata Astuti menatap mata Bulik Narti. Astuti dan beberapa saudara sepupunya telah berniat mengumpulkan uang, membeli tanah selebar dua meter sepanjang 20 meter, untuk jalan menuju pekarangan Bulik Narti. Namun developer itu tak mau meladeni, meskipun dibayar tinggi. Itu strategi mereka untuk menekan pemilik tanah seperti Bulik Narti.

Mata Astuti digenangi air melihat perempuan itu hanya menunduk sambil mempermainkan ujung kebayanya. Bagai kembang jambu kering tertiup angin, satu-satunya saudara kandung dari pihak ibunya yang masih hidup itu pasrah bila sewaktu-waktu harus mengosongkan rumah.

“Kukira si Danang itu dhuwur wekasane, endhek wiwitane. Tapi nyatanya dia cuma sampai segitu. Baru jadi camat saja sudah belagu…” Bulik Narti menyesali perilaku sahabat masa kecil Astuti itu, yang sejak menjadi camat gemar bermain tanah dengan cara tidak sah. Rela menukar sahabat dan kerabat dengan uang seikat.

Orang tua Danang dulu bekerja pada keluarga besar Astuti, membantu ini-itu. Danang sering menerima buku, sepatu dan baju seragam dari orang tua Astuti. Bulik Narti bangga luar biasa saat diberi kabar kalau anak yang dulunya miskin itu berhasil menjadi camat. Ia mengabari semua keponakannya yang semua menyambut gembira.

“Nggak usah mikirin Danang, Bulik. Saya sowan Bulik bukan untuk membicarakan Danang. Dia itu…”

“Assalamualaikum…” Tiba-tiba sosok lelaki telah berdiri di ambang pintu yang dibiarkan terbuka.

Bulik Narti bergegas berdiri. “Nak Danang…” sambutnya salah tingkah.

“Iya, Bulik. Saya dengar ada Astuti…” Danang melangkah masuk tanpa diminta. Matanya melekat pada perempuan berambut lurus panjang berbaju biru. Tatapan mereka beradu. “Apa kabar, Tuti?”

“Baik."

"Kapan datang?"

"Barusan. Tapi saya sudah mau pergi…” Astuti meraih tasnya.

“Lho? Nduk? Cah ayu? Kamu baru datang. Bulik belum ndekok teh… Supirmu belum…” Bulik Narti menahan lengan keponakannya.

“Saya sowan lagi nanti sore, Bulik. Saya ada perlu ke rumah teman,” Astuti berbohong. Kaki-kakinya melangkahi ambang pintu, sesigap saat ia memanjat dulu.

Danang mengekor. Tiba-tiba lelaki yang tubuhnya masih langsing itu melompat, meraih ranting yang ujung-ujungnya dipenuhi kembang jambu.

“Tuti…” Ia tangkap lengan perempuan yang hingga kini masih ia kagumi itu. “Demi masa lalu… Tolonglah… Jangan pergi. Aku bisa menjelaskan…” Ia angsurkan sepotong ranting penuh kembang jambu itu. Sepasang matanya memohon.

Tangan kanan Tuti terulur, menerima ranting itu. Sepasang matanya menatap lekat mata Danang. Tanpa kata ia berbalik, mendekati jugangan tak jauh dari mobilnya, lalu ranting itu ia lempar ke dalamnya.

Danang seperti terkunci di tanah tempatnya berdiri. Bulik Narti menghela nafas panjang berbarengan dengan roda-roda mobil yang membawa keponakannya meninggalkan halaman.


*** 

Karuk: kembang jambu 
Asu gedhe menang kerahe (pepatah Jawa): pangkat tinggi, pasti lebih menang dalam berperkara. 
Jaman iku owah gingsir: jaman itu senantiasa berubah. 
Dhuwur wekasane, endhek wiwitane (pepatah Jawa): akhirnya mulia, yang semula sederhana. 
Sowan: mengunjungi 
Ndekok teh: menyeduh teh
Jugangan: lubang di tanah untuk menampung sampah.

Tidak ada komentar: