Setelah Snow Country yang romantis dan mistis itu, rasanya agak miris membaca karya Kawabata yang satu ini: The House of the Sleeping Beauties. Bagaimana tidak? Kisah ini tentang seorang lelaki yang menemukan hobi baru di masa tuanya: tidur dengan gadis belia yang dibius – atau diobati – begitu rupa yang dijamin tak bakal bangun semalaman. Gadis-gadis itu tetap lelap hingga para lelaki yang mengeloni mereka terbangun keesokan paginya.
Para lelaki itu dikatakan sudah bukan lelaki lagi dan tak mampu menikmati perempuan sebagaimana seharusnya perempuan dinikmati. Intinya: mereka sudah impoten, tak bisa ereksi lagi!
Eguchi yang berusia 67 tahun, atas saran sobatnya Kiga, mendatangi sebuah rumah yang menyediakan gadis-gadis usia belasan untuk dikeloni. Mereka, yang dikisahkan masih perawan itu, tidur telanjang di dalam kamar-kamar. Para lelaki tua akan masuk ke kamar-kamar itu setelah para gadis terlelap karena obat. Seorang perempuan tengah baya – yang tak disebut namanya sepanjang cerita – mengelola ‘layanan puteri tidur’ ini secara profesional dengan aturan yang ketat demi melindungi para pelanggan dan para gadisnya. Bila tiada aturan yang dilanggar, maka sampai kapanpun para gadis tak akan tahu para lelaki yang pernah menyelusup ke dalam selimut mereka.
Pada malam pertama kedatangannya, Eguchi masih malu-malu. Sang Perempuan menyediakan untuknya seorang gadis muda yang tidur begitu lelap. Dengan takut-takut Eguchi menatap, meraba, dan memegang bagian-bagian tubuh si gadis yang menarik hasratnya. Aroma susu yang menguar dari tubuh si gadis membawa Eguchi ke masa lalu. Termasuk kenangan buruk akan seorang geisha yang ngambek karena dia membaui aroma susu dari tubuh Eguchi yang baru saja membopong anak bungsunya sebelum menemui si geisha.
Di dalam tiap kamar disediakan dua butir pil tidur untuk diminum para lelaki bila mereka ingin sama-sama terlelap. Sambil mendekap dan merasakan kehangatan tubuh belia yang tergolek nyenyak di sampingnya, Eguchi justru menggali kenangan-kenangan lama akan perempuan-perempuan yang pernah menjalin hubungan dengannya. Ketika ia mencoba tidur dengan menelan salah satu pil, beberapa mimpi buruk mendatanginya.
Pengalaman tidur dengan puteri cantik yang tertidur-tak-bangun-hingga-pagi itu tak ingin diulang Eguchi. Namun yang terjadi tidak demikian.
Dua minggu berikutnya, Eguchi kembali ke sana. Malam itu Sang Perempuan menyediakan gadis muda yang katanya ‘lebih berpengalaman'. Sungguh aneh, kata Eguchi, apa bedanya antara berpengalaman atau tidak bila para gadis itu hanya tergeletak tidur sepanjang malam; bahkan ketika ia meninggalkan kamar si gadis belum terjaga.
Namun setelah Eguchi masuk ke kamar, menanggalkan pakaiannya, dan menyuruk ke dalam selimut si gadis, ia bisa merasakan bedanya. Walaupun tidur nyenyak, si gadis seperti bisa berkomunikasi dengan Eguchi.
Aroma dan bentuk bagian-bagian tubuh putri tidur kedua ini mengingatkan Eguchi akan bungaan, terutama peoni dan camellia putih. Si puteri tidur juga membawanya pada tiga anak perempuannya yang sudah menikah. Setiap bagian tubuh si gadis, caranya bernapas dan menggeliat, merupa potongan-potongan masa lalunya yang menyenangkan maupun menyakitkan.
Hanya butuh waktu 8 hari untuk membawa Eguchi kembali ke rumah puteri tidur itu. Gadis ketiga yang ia keloni bertubuh kecil dan tidur bagai mati, mengingatkannya pada salah satu selingkuhannya, perempuan muda bersuamikan lelaki asing. Suaminya sering bertugas ke luar negeri dan terkesan tidak memersoalkan kelakukan istrinya selama ia pergi.
Istri Eguchi tak diceritakan secara jelas dalam rangkaian kenangan yang datang silih berganti itu. Mungkin, ini menunjukkan bagaimana posisi seorang istri dalam kehidupan lelaki Jepang pada umumnya: dianggap sebagai ‘suatu pelengkap’ yang sudah seharusnya ada dan diam manis di tempatnya.
Pada kunjungan kesekian, selepas tahun baru, di malam yang bersalju dan berhujan, Eguchi mengeloni 2 gadis sekaligus. Yang satu berkulit terang dengan bau tubuh manis-sedap bagai bayi dan satunya berkulit gelap beraroma menyengat. Beberapa saat sebelumnya, di rumah puteri tidur itu terjadi kecelakaan. Salah satu pelanggannya, seorang direktur uzur bernama Fukura, kedatangan ajal. Tidak jelas bagaimana mayatnya dibawa pergi dari rumah itu tanpa menimbulkan kehebohan. Menurut Kiga, Pak Fukura tua mati akibat serangan jantung.
Pada saat Eguchi ngeloni dua gadis itu terjadi sesuatu. Dan seperti halnya dalam Snow Country, ceritanya berakhir begitu saja.
Selama membaca, saya membayangkan Bapak, suami, dan lelaki-lelaki lain yang saya kasihi sambil bertanya-tanya apakah mereka punya hasrat erotis semacam itu: ketika tua dan kelelakiannya tak lagi berfungsi ingin kelonan dengan gadis remaja.
Menurut pengamatan saya yang tidak mendalam, penampilan lelaki (orang) Jepang memang terkesan malu-malu, pendiam, halus budi, namun isi kepalanya liar. Cerita yang ditulis oleh pemenang Penghargaan Nobel Sastra tahun 1968 ini merupakan salah satu potretnya.
Dalam kisah ini birahi Eguchi dan hasrat erotisnya digambarkan melalui bagian-bagian tubuh secara rinci: bukaan bibir yang menampakkan gigi dan lidah, daun dan lubang telinga, leher dan lekukan antara dagu dan leher, lengkung alis, ketebalan bulu mata, kelopak mata, kelentikan jemari, pergelangan tangan, hingga lubang hidung. Bagian-bagian tubuh yang umumnya dianggap sumber birahi seperti pinggul, payudara, dan paha justru tidak dikupas-tuntas.
Saya menganggap kisah ini sebagai wujud kecintaan akan masa muda dan ketakutan akan masa tua. Kemudaan melambangkan hidup, harapan, keindahan, dan kebahagiaan. Sedangkan ketuaan sebagai kesepian, keterasingan, penyesalan, rasa sakit, dan kegelapan.
Melalui tubuh muda gadis yang masih murni, Eguchi (lelaki tua) menemukan kembali masa-masa indahnya dan terhibur dari luka hatinya. Seperti potongan pendek ini: “What flowed deep behind his eyelids from the girl's arm was the current of life, the melody of life, the lure of life, and, for an old man, the recovery of life”
Cerita ini juga saya maknai sebagai perbandingan antara birahi (yang sebatas fisik) serta hasrat akan kehangatan (yang menyentuh jiwa). Namun tak urung saya merasa heran, geli, sekaligus ngeri, sebab ada orang (laki-laki) yang ingin merasakan kembali masa mudanya dengan cara ngeloni perempuan muda yang dibius sampai tak sadar apa yang terjadi di sekitarnya.
Pertanyaan saya selanjutnya: apakah nanti, bila saya makin tua, ingin kelonan dengan brondong yang tidur pulas nyaris mati? Hiii…!!!
***
3 komentar:
Saya menemukan hal yang sama di karya sastrawan Korea mbak. Imajinasinya ya ngga jauh2 dari gadis belia, yg msh priwi.
Rasanya sy cuma sanggup baca resensinya deh, ogah baca bukunya :)
Makasih sudah diulas Mbak ^_^
Makasih udh baca, mbak Indri. Memang karya2 sastrawan Jepang terasa 'aneh' surealis, gitu, atau entah apa. Nanti saya unggah kesan saya tentang cerpen2 Alice Munro dan Nadine Gordimer. Antri ini nulisnya :-)
ceritanya rame buat di baca
Posting Komentar