Jumat, 28 Juni 2013

Kepala Kerbau

16 November 2011

Aris memacu sepeda motornya di bawah guyuran hujan. Tukang batu itu tak sabar ingin segera sampai di rumah, menunjukkan uang lima juta pada istrinya, bonus dari juragannya. Tiga hari lalu Pak Basuki, pemilik kontraktor yang mempekerjakannya, menyuruh menanam kepala kerbau di proyek rumah mewah yang sedang mereka kerjakan.

“Tak boleh ada yang tahu urusan ini!” Pak Basuki berbisik-bisik meskipun Minggu pagi itu hanya ada mereka berdua. “Termasuk Pak Kurniawan. Kalau sampai kamu buka mulut, kamu kupecat …,” ancamnya.

“Beres, Gan. Beres.” Aris mengangguk-angguk sambil menyeringai. Terbayang uang lima juta rupiah yang akan segera ia terima. Terbayang sepeda motor baru untuk anak sulungnya yang sudah beranjak remaja.

“Jangan dibuka!” gertak Pak Basuki. Seketika Aris menarik tangannya dari peti kayu itu. Dalam hati Aris bertanya-tanya, biasanya kepala kerbau tidak ditaruh di dalam peti, juga ditanam dengan upacara yang dihadiri pemilik proyek; namun ia sengap, khawatir uang itu batal ia terima.

“Tambahi pakunya,” perintah Pak Basuki menekan peti itu dengan kaki kirinya.

Hati Aris risau. Lima tahun bekerja padanya, ia tahu Pak Basuki doyan perempuan. Ia mendengar omongan kalau lelaki itu menghamili istri orang. Ia pun hapal Pak Basuki gemar memecundangi pemilik proyek. Aris curiga ia tidak benar-benar membeli kerbau. Ah, mau kepala kerbau atau kepala kambing, yang penting kali ini aku dapat cepretan, pikir Aris, menanam peti itu tepat di samping pondasi.

Aris mempercepat laju sepeda motornya. Meski kuyup oleh air hujan, wajahnya terlihat gembira. Tak sampai 10 menit lagi ia akan tiba di rumah. Ia membelokkan sepeda motornya ke kanan ketika dari belakang sebuah truk pasir tanpa ampun melindasnya.

Sabtu, 21 April 2012 

Keluarga Kurniawan mengadakan syukuran di rumah baru. Seluruh tetangganya diundang. Lima tratag didirikan di halaman depan, dihiasi aneka rupa bungaan, tak ubahnya pesta pernikahan. Tetangga yang datang menyembunyikan rasa dengki di balik senyum senang; mulut mereka mengucap selamat namun hati mereka mengumpat.

“Pasti hasil korupsi,” bisik salah satu tamu.

“Uang haram,” celetuk yang lainnya.

Dalam usia muda pasangan Kurniawan telah sukses dengan bisnisnya. Mereka tahu banyak orang mempertanyakan hartanya, namun mereka tak mendengarkan cibiran orang.

Malam hampir melewati puncaknya, sisa-sisa aroma pesta masih memenuhi halaman depan. Sejumlah pekerja terlihat mengemas tiang-tiang dan kursi-meja, sebagian membersihkan halaman, menata kembali pot-pot tanaman. Pak Kurniawan tak ingin halaman rumahnya masih kotor ketika esoknya sang istri membuka jendela kamar.

“Mamaaa ….”

Bu Kurniawan berhenti membersihkan meja kaca, segera naik ke lantai atas, mendatangi kamar anaknya. Anak itu pasti terbangun oleh deru mesin truk pengangkut tenda, pikirnya. “Sofia…?” Dilihatnya Sofia berdiri di ambang jendela, tangannya menyibak gorden, melihat ke taman belakang. “Ada apa?” Bu Kurniawan mendekat.

“Ada adik bayi nangis. Di situ ….” Sofia menunjuk ke bawah jendela, tangan kirinya mendekap boneka. “Kasihan adik bayinya, ya … nangis terus dari tadi,” bisiknya ke telinga boneka. “Ma, adik bayinya dikasih susu biar nggak nangis terus.” Si kecil lima tahun itu mendongak.

“Ah, Mama nggak denger apa-apa.” Bu Kurniawan berjongkok di belakang Sofia, mendekap tubuh mungil anaknya. Harum shampoo melesap ke lubang hidungnya. “Ayo, tidur lagi… Mama bacain buku cerita, ya ….” Lembut tangan Bu Kurniawan menuntun tangan Sofia kembali ke tempat tidur.

“Tapi adik bayinya kasihan ….”

“Nanti Mama suruh Lasmi ngasih susu.” Bu Kurniawan tahu, anaknya gemar berkhayal. Ia meraih buku cerita dari meja mungil di samping tempat tidur. Halus suaranya membawa Sofia kembali terlelap.

Empat malam berikutnya kejadian itu berulang. Sofia terjaga menjelang tengah malam. Memanggil-manggil mamanya, membuka jendela, mengatakan ada bayi menangis di taman belakang. Bu Kurniawan mulai cemas, namun suaminya yakin Sofia hanya berkhayal, atau masih merasa asing di kamar barunya yang tiga kali lebih besar dari kamarnya di rumah lama.

Pada malam keenam, Lasmi, pembantu yang bertugas membersihkan rumah, berteriak histeris, berlari keluar kamarnya. Kecuali Sofia, seisi rumah terbangun, lalu keluar kamar, mendapati Lasmi meringkuk di sudut ruang makan. Wajahnya jeri.

“Ada bayi merangkak lewat jendela ke dalam kamarku,” desisnya, badannya gemetar. Mbok Tris, tukang masak, menghampiri perempuan muda itu, menenangkannya.

“Kamu mimpi, Mi. Cuma mimpi.” Tangannya merapikan rambut dan daster Lasmi. “Kecapekan, mbersihin rumah sampai malam.”

“Dal, coba kamu tengok kamarnya,” suruh Pak Kurniawan pada tukang kebunnya. Dalijo melangkah ke belakang sambil gerundelan. Ia kesal terhenti dari mimpi basah gara-gara mimpi buruk Lasmi. Kenapa Lasmi tidak bergabung dalam mimpinya saja, pikir bujangan yang tak lulus SD itu.

“Tidak ada apa-apa, Pak,” ujar Dalijo kembali ke ruang makan, “jendelanya tertutup. Gordennya juga.” Wajahnya merengut. Matanya melirik ke arah Lasmi yang mendekam di pelukan Mbok Tris.

“Mamaaa…!!!” Terdengar jeritan Sofia. Kali ini lengkingannya merobek telinga. Suami istri Kurniawan menapaki tangga dua-dua. Dalijo menyusul dari belakang. Lasmi mendekap Mbok Tris makin kencang.

Sofia berdiri di atas tempat tidur, tangannya menunjuk ke jendela yang tertutup. “Adik bayiii … adik bayiii …,” lengkingnya, matanya menyorot ngeri. Bu Kurniawan menyalakan lampu utama. Pak Kurniawan melompat ke jendela, menyibak gorden, membuka dua daunnya lebar-lebar.

“Kamu keluar. Periksa ada apa di situ,” perintahnya pada Dalijo meskipun di bawah tak terlihat apa-apa. Lelampu di taman belakang sangat terang, pikir Pak Kurniawan, kalaupun ada kucing hitam mendekam di bawah jendela pasti kelihatan. Dari jendela sang majikan mengawasi Dalijo memeriksa pot-pot besar dan mengangkat bangku-bangku kayu.

Tangis Sofia tak juga reda meskipun mamanya sudah memeluknya. Ia meracau, menyebut adik bayi yang merangkak masuk ke kamarnya dari jendela. “Adik bayinya sakiiit … Adik bayinya sakiiit …, “ isaknya. Bu Kurniawan membopong Sofia, membawanya ke kamarnya sendiri. Malam ini Sofia harus kukeloni, pikirnya, jangan-jangan ada sesuatu di taman belakang yang membuat Sofia dan Lasmi dihantui bayi. Namun perempuan yang usianya belum genap 30 tahun itu mencoba membantah pikirannya sendiri. Mungkin itu hanya mimpi buruk, seperti kata Mbok Tris.

Semua penghuni rumah memang kelelahan sehabis pindahan, setiap hari ada saja yang harus mereka rapikan.

Beberapa saat sebelum adzan subuh terdengar, Pak Kurniawan terbangun oleh rintihan istrinya.

“Fai … Faiza…?” Tubuh istrinya mengejang dan basah oleh keringat. “Fai …” Lelaki itu menepuk-nepuk pipi istrinya, mencoba membangunkan. “Fai…!” Mata Bu Kurniawan terbelalak, lalu perempuan itu tersedak. “Bayi ituuu…. Haaahhh …. Haaahhh ….” Ibu satu anak itu tersengal-sengal. “Fai … bangun, sayang, ” ucap suaminya, lengannya terulur memeluk istrinya. Sofia masih terlelap di antara keduanya.

Minggu pagi, 29 April 2012

Keluarga Kurniawan tak beranjak dari ruang makan selepas sarapan.

“Adiknya nangis lagi,” bisik Sofia. Mama dan papanya bertatapan. Mbok Tris menguping dari dapur. Bahkan di terang hari bayi itu mengganggu juga, pikir perempuan tengah baya itu.

“Kita harus melakukan sesuatu, Mas,” ujar Bu Kurniawan, “pasti ada yang tidak beres di taman itu. Aku semalam juga mimpi … mirip dengan mimpi Lasmi.”

Pak Kurniawan berkeras mimpi-mimpi itu muncul karena Lasmi dan istrinya terlalu memikirkan khayalan Sofia. Semua anggota keluarga tahu, di rumah lama Sofia punya teman khayalan gadis kecil pemain biola. Tiap sore ia akan menggerak-gerakkan tangannya sambil tertawa-tawa, seolah sedang memainkan biola, mengikuti temannya itu. Pengusaha muda itu yakin Sofia sedang berusaha mencari teman di kamar barunya. Ia bergurau pada istrinya, sudah saatnya memberi Sofia seorang adik.

Namun sang istri tidak menanggapi gurauan itu, justru mengancam akan membawa Sofia ke rumah neneknya bila suaminya menolak berbuat sesuatu.

“Apa maumu, Fai?”

“Kita harus membongkar taman itu.”

“Kamu pikir di situ ada …?”

“Ya!” potong Bu Kurniawan, tatapannya setajam belati.

Baru kali ini mata perempuan yang kucintai itu menusukku, pikir Pak Kurniawan. Segera ia mengangkat telepon, minta tolong temannya mencarikan tukang.

“Kenapa tidak minta tukangnya Pak Basuki? Mungkin mereka lebih tahu,” tanya istrinya.

“Aku tidak suka cara kerjanya.”

 Senin, 30 April 2012

Bu Kurniawan duduk di ayunan yang dipindahkan ke dekat gudang, mengawasi lima tukang menggali halaman seluas lapangan voli itu. Bukan pekerjaan ringan, apalagi tanpa escavator. Ia menyuruh tukang-tukang itu menggali pelan-pelan, sebagian demi sebagian.

“Setiap galian seluas 2 meter persegi sedalam 2 meter. Kalau tak ditemukan apapun, lubangnya harus ditimbun dulu sebelum nggali lubang berikutnya,” perintahnya tegas.

Suaminya duduk di ruang keluarga lantai atas, bermain dengan putrinya sambil sesekali menengok ke bawah, berharap istrinya lega bila tahu tak ada apapun terpendam di halaman yang tadinya cantik oleh beragam tanaman hias buah kerja Dalijo itu.

Hari ketiga pembongkaran halaman. Matahari mulai condong ke barat, salah satu tukang memekik, menemukan peti seukuran dua kali dos mi instan, tak jauh dari pondasi di bawah jendela kamar Sofia. Suami istri Kurniawan terbirit-birit ke halaman belakang. Bersama Dalijo dan lima tukang mereka mengerumuni peti kayu itu.

“Buka,” perintah Pak Kurniawan.

Salah satu tukang mencongkel tutupnya. Bau busuk mencakar hidung mereka.

Biru langit mulai dihiasi semburat lembayung, sebuah mobil polisi sudah setengah jam parkir di halaman depan rumah keluarga Kurniawan. Para tetangga curiga suami istri itu akan ditangkap karena penggelapan uang, atau penyelundupan, atau penipuan. Dari balik jendela rumah masing-masing mereka menunggu, berharap tiga polisi segera keluar sambil menggelandang pasangan muda itu.

“Petinya tampak belum lapuk. Belulangnya belum sepenuhnya kering. Masih banyak jaringan busuk yang menempel di beberapa bagian.” Polisi yang paling senior menjelaskan. Ia bisa membedakan belulang yang sudah lama terkubur dengan yang masih baru. “Jasad bayi ini terpendam belum ada 6 bulan.”

Beberapa minggu kemudian polisi memanggil dan menginterogasi pasangan Kurniawan, juga semua orang yang terlibat dalam pembangunan rumah mewah itu.

Giliran si mandor ditanyai.
“Buat daftar semua tukang yang kerja di rumah itu.” Polisi menyorongkan selembar kertas. “Lengkapi dengan alamat dan nomer ponsel.”

“Salah satu tukang saya mati. Kasus tabrak lari,” kata si mandor pada polisi sambil menuliskan nama-nama tukang.

“Kapan itu?”

“Bulan November tahun lalu, beberapa saat setelah pondasi selesai dikerjakan,” si mandor berpikir sebentar. “Kata istrinya, harusnya sore itu dia pulang membawa uang lima juta. Tapi uang itu hilang, mungkin dijarah penolongnya.”

“Anda tahu uang itu dari siapa?”

“Kata istrinya bonus dari Pak Basuki, majikan kami.”

Polisi itu menyeringai, meminta rekannya segera menjemput Pak Basuki, untuk diinterogasi ulang.

***

Tidak ada komentar: