Senin, 17 Desember 2012

Matryoshka, Ririe, dan Saya

Matryoshka adalah boneka kayu khas Rusia. Biasanya tampil satu set, terdiri atas minimal lima sampai belasan boneka. Namun tulisan ini bukan tentang seni kerajinan kayu yang konon produk pertamanya dipahat oleh seorang seniman bernama Vasily Petrovich Zvyozdochkin itu; ini tentang buku puisi karya Ririe Rengganis berjudul ‘Sekuntum Padma di Seberang Jendela’.

Di dalam buku puisi yang tampil feminin – lembut, mungil, dan hangat – itu ada sebuah karya bertajuk Matryoshka. Ketika pertama membukai buku setebal 48 halaman itu, entah mengapa puisi ini langsung mencekal mata saya. Mungkin karena isi pesannya. Dalam puisinya ini, Ririe mengungkapkan tentang empat matryoshka cantik tersimpan dalam kotak kaca. Membaca dua kalimat pertama, “Empat matryoshka cantik dalam kotak kaca. Dan kau mesti menjaganya begitu rupa,” ingatan saya langsung tertumbuk pada diri saya dan tiga kakak-adik perempuan saya. Bukan untuk 'cantik'-nya, tapi karena jumlahnya yang empat itu.

Saya punya tiga saudara perempuan dan satu lelaki. Kami, yang perempuan, tidak hanya bersaudara, juga bersahabat. Hubungan kami berempat amat dekat. Puisi Ririe mengingatkan pada masa-masa muda kami, kala orang tua kami bekerja keras membangun ‘benteng kaca’ agar empat matryoshka mereka bisa dilihat siapa saja namun terlindung dari debu dan tangan-tangan jahil. Perkara cantik itu tentu subyektif dan hanya di mata Ibu saya. Baginya, kami semua cantik. Orang Jawa bilang anak itu 'kencana wingko': biarpun aslinya jelek seperti wingko (wingko = pecahan genteng/gerabah), namun terlihat bagai kencana. Karena puisinya itu, buku Ririe yang kesekian ini sukses menyentuh saya secara pribadi.

Empat matryoshka milik Ibu saya
Dengan diksi sederhana, Ririe mengungkapkan rasa sepi, kangen, tangisan, putus asa, sekaligus kekerasan hati, keberanian, dan humor dalam 36 puisi.

Puisi yang ia pilih jadi judul buku, Sekuntum Padma di Seberang Jendela, mungkin ia tulis dengan syahdu. Namun saya justru terbahak seusai membacanya: lucu. Tak ayal, puisi ini pun menarik ingatan saya pada kejadian menggelikan yang pernah saya alami bersama suami, bertahun lalu. Namun saya tak berniat menceritakan pengalaman itu di sini.

Ririe memilah 36 puisinya jadi tiga bagian: tentang luka, tentang rindu, dan tentang cinta. Tiap bagian berisi 12 puisi.

Selain dua puisi di atas, ada lagi satu puisi yang terasa dekat dengan napas saya: Dalam Rindu yang Begitu Purba. Saya juga menyimpan rindu semacam itu: rindu yang tak pasti kapan, bagaimana, dan di mana hendak dituntaskan. Rindu yang dingin dan pilu. Mungkin Ririe ingin mengungkapkan hubungannya dengan seseorang yang tidak jelas, antara ada dan hilang, antara muncul dan berlalu. Saya kira semua orang pernah – atau sering – mengalami hubungan semacam itu. Tidak harus dengan lawan jenis atau pasangan, bisa dengan sahabat, saudara kandung, kerabat, dan orang tua. Pun tak mesti dengan manusia, bisa dengan binatang kesayangan, tanaman, atau pengalaman indah di masa lalu, atau bahkan angan-angan.

Kesederhanaan puisi-puisi Ririe justru membuatnya mudah saya pahami dan saya kaitkan dengan pengalaman hidup saya. Lewat tulisan pendek yang personal ini saya ucapkan selamat pada Ririe Rengganis atas bukunya yang kesekian. Ingin pula saya berpesan pada teman-teman yang gemar menulis puisi: ikutilah Ririe, ia menerbitkan puisinya untuk merayakan diri sendiri.

Akan halnya Matryoshka, ingin sekali saya bacakan di depan Ibu saya, terutama bait terakhirnya:

      Empat matryoshka cantik dalam kotak kaca. Untukmu, belum cukupkah mereka? 

 ***

3 komentar:

ririe rengganis mengatakan...

terima kasih atas review yang mengharukan ini, Mbak Endah :)

ririe rengganis mengatakan...

merayakan diri sendiri. ya, saya sedang merayakan diri sendiri :)

Endah Raharjo mengatakan...

terima kasih juga atas puisi Matroyshka yg buat saya mengharukan itu :-)
Merayakan diri sendiri itu penting, bikin hidup lebih hidup :p