Sumber Foto |
Andai saja Isti dan dua adiknya punya uang berlebih, mungkin mereka mampu memelihara rumah sang ibu, rumah tempat Isti lahir dan tumbuh; mungkin rumah itu tidak harus dijual dan ibunya tetap bisa tinggal di sana hingga akhir hayatnya.
“Biaya perawatan Ibu sudah mahal sekali, Mbak.” Kata Windu, adik lelaki Isti, tiga tahun lalu, beberapa saat sebelum mereka memutuskan menjual rumah. “Walaupun kita sangga bertiga, tetep berat juga. Kalau masih harus keluar biaya lagi untuk ngurus rumah itu, bagaimana dengan anak-anak kita, Mbak? ”
“Ya, kita harus realistis, Mbak,” sahut Retno si bungsu.
“Kalau dikontrakkan juga nggak cucuk. Uang yang kita terima nggak cukup untuk biaya perbaikan,” renung Isti.
“Ini rumah waris, Nduk. Satu-satunya harta waris yang ditinggalkan bapakmu,” jelas Bulik Prapti pada Isti dan dua adiknya, sesaat setelah mbakyunya itu dinyatakan menderita kanker payudara oleh dokter. “Sebaiknya harta waris itu segera diselesaikan, agar almarhum bapakmu tenang. Ndak usah mikir macem-macem. Memang harus begitu.” Bulik Prapti berusaha meyakinkan mereka.
“Kalian bertiga sudah punya rumah sendiri-sendiri. Ibumu juga kasihan kalau tinggal sendiri hanya ditemani pramurukti.” Paklik Johan, suami Bulik Prapti, menimpali. “Kalau kalian harus bergiliran menjaga, nanti urusan pekerjaan dan rumah tangga kalian sendiri jadi repot.” Paklik Johan menegaskan, lalu ia memberi saran agar rumah dijual saja demi baiknya.
**
“Kita udah sampai, Ma.” Andri, anak tunggal Isti menyentuh lengan perempuan setengah baya yang sepanjang perjalanan tenggelam dalam lamunan. “Mama mau turun dulu?” Lewat kacamata hitamnya Andri menatap Isti. Tanpa bicara Isti turun dari mobil sementara Andri mencari tempat lega untuk parkir.
Pelan-pelan Isti melangkah, mencari tempat teduh, berdiri mepet pagar rumah mantan tetangganya, di bawah pohon mangga. Semilir angin bulan Desember membawa aroma lumut tanah basah sehabis terguyur hujan. Rambut panjang Isti yang diikat ke belakang beterbangan di punggungnya. Isti mengangguk sopan pada dua-tiga pejalan kaki yang lewat dan memandanginya.
Sudah hampir dua puluh dua tahun Isti keluar dari kampung itu, diboyong oleh suaminya ke kota lain yang hanya berjarak sekitar satu jam dengan mobil dari kota kelahirannya. Kampung tempat orang tua Isti tinggal ini merupakan salah satu kampung lama yang sekarang bisa dikatakan terletak di pusat kota. Kawasan perkotaan telah berkembang ke segala penjuru hingga tak lagi bisa dibedakan batasnya dengan desa-desa di sekelilingnya.
Mata Isti menatap rumah yang terletak di seberang jalan, persis di depannya. Rumah itu dulu milik mereka, dibangun dengan keringat orangtuanya. Terbayang rumah sederhana dengan serambi memanjang. Jendela-jendelanya berdaun dua, bisa dibuka selebar-lebarnya agar udara leluasa keluar-masuk rumah. Kini rumah itu sudah berubah sama sekali. Pemilik baru telah merobohkan bangunan aslinya. Pohon sawo dan jambu air ikut pula ditebang habis: tak bersisa. Bangunan dua lantai itu berdiri terlalu ke depan hingga nyaris tak lagi ada halaman tersisa.
Masih melekat dalam ingatan Isti, pohon jambu air kekar, tak jauh dari pagar. Bila sedang berbuah, bunganya yang disebut karuk itu berjatuhan di tanah, menyebarkan serpihan-serpihan putih seperti uban yang bertaburan di rambut embahnya. Lalu ada pula pohon sawo yang sangat tinggi, yang kulit batangnya berwarna coklat tua dan berserat benjol-benjol kasar. Isti, Windu dan Retno sering menggoreskan nama-nama mereka di batang dan rantingnya.
Isti yang tomboy dan Windu yang mbeling gemar berlomba memanjat dua pohon itu sepulang sekolah. Kadang Retno yang penakut menjerit-jerit meminta mereka segera turun bila angin bertiup terlalu kencang, mengayun-ayunkan reranting dan dahan. Retno si bungsu juga sering dijahili. Bila musim jambu tiba, dua kakaknya itu akan berlama-lama nongkrong di dahan pohon sambil menikmati jambu sebanyak-banyaknya, bercanda dan tertawa sekeras-kerasnya, saling lempar biji jambu. Mereka baru berhenti ketika Ibu berteriak-teriak menyuruh segera memetik buah yang ranum untuk Retno yang mulai ngambek.
“Mama?” Suara Andri kembali membuyarkan lamunan Isti. “Jadi kita foto rumahnya?” Di tangan Andri telah siap sebuah kamera digital.
“Untuk apa? Sama sekali sudah berubah.”
“Lalu? Kalau Eyang tanya, kita mau bilang apa?”
Isti diam saja. Berpikir keras. “Ah. Di rumah Tante Retno banyak foto-foto lama. Kamu scan aja, terus digini-gitu pakai Photoshop. Bisa?”
“Gini-gitu?” Andri tertawa geli. “Gampang.” Lengannya terjulur merengkuh bahu mamanya. “Kita pergi sekarang?”
Ibu dan anak itu melangkah keluar dari keteduhan pohon mangga. Kabarnya rumah dengan halaman ditumbuhi dua pohon mangga itu juga sudah berpindah tangan. Tak ada sesuatu yang kekal, bisik hati Isti. Semua barang yang ada di dunia ini tak mungkin menjadi milik abadi. Satu-satu harus dilepaskan. Sebelum memasuki mobil, Isti menoleh sekali lagi ke bekas rumahnya yang sudah tak lagi sama wujudnya.
“Kita punya tiga rumah sekarang,” gumam Isti.
“Ya, Ma?” Andri berkerut dahi, “Mama ngomong apa?”
“Eyang punya tiga rumah sekarang. Rumah kita, rumah Tante Retno dan rumah Om Windu.” Isti lalu meminta Andri segera menuju rumah Retno.
**
Retno membuka pagar. Pelan-pelan mobil yang dikendarai Andri masuk ke halaman. Mereka saling berpelukan. Sebelum masuk ke dalam, Isti dan Andri berbicara dengan Retno tentang beberapa hal. Kemudian Isti dan Andri difoto oleh Retno, dalam beberapa pose, dengan latar belakang dinding kosong di samping garasi.
“Ibu…” Isti membuka pintu kamar ibunya, memeluk tubuh kurus itu dan menciumi pipi cekungnya. “Ibu tampak sehat.” Perempuan tujuh puluh lima tahun itu tersenyum lemah. Sorot matanya mengeluarkan cahaya cinta meskipun wajahnya pucat. Cinta yang sama dengan yang ia miliki semasa ia masih cantik dan muda.
“Mana foto rumah itu? Kamu ndak lupa, Nok?” Perempuan itu selalu memanggil dua anak perempuannya ‘Nok’, kependekan dari ‘Denok’.
“Nggak, Bu. Sebentar, ya. Baru dicetak Andri.” Si sulung itu mengelus-elus lengan ibunya. “Isti bawa serabi, Bu. Mau?” Isti memberi isyarat pada pramurukti yang sedari tadi duduk diam menunggu di sudut kamar yang terawat bersih. Sebuah vas terisi beberapa tangkai bunga sepatu segar yang dirangkai dengan tiga batang lidah mertua menghiasi meja kecil di sudut dekat jendela. Gorden hijau terang meredam sinar matahari siang, mamantulkan warna lembut pada kelambu yang tersampir rapi di kepala dipan.
“Ya, mau. Ibu mau serabi.” Cahaya matanya semakin terang. “Andri kok ndak disuruh ketemu Eyang dulu?”
“Biar Eyang cepet bisa lihat fotonya.” Andri melangkah masuk sambil mengacungkan tiga lembar foto yang dicetak di atas kertas HVS kuarto. “Ini foto rumah Eyang. Tadi Andri dan Mama foto di sana.” Andri meraih kaca mata dari meja dan menyerahkan pada Eyang. Tangan kiri Andri membantu memegangi kertas-kertas berisi foto hasil rekaannya dengan Photoshop di komputer Tante Retno.
“Kapan-kapan suruhan orang untuk nebang cabang pohon jambu yang njulur ke jalan, ya.” Ibu menengok ke arah Isti. “Kalau berbuah, jangan lupa dibagi ke tetangga.”
“Ya, Bu. Pasti.” Isti berbisik. Didekapnya kaki kurus ibunya yang tertutup selimut. Dibenamkannya mukanya di antara dua kaki itu sambil menghapus air mata yang tak bisa ditahannya.
***
Cerita ini pernah diunggah di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar