Minggu, 01 April 2012

Ketika Roda Berputar

Sumber Ilustrasi
Sambil gerundelan, kupilih-pilih gaun malam yang paling pas untuk menemani Papa. Sebenarnya malam ini aku punya janji dengan teman-temanku nonton konser musik post-metal di Jogja Nasional Museum, tapi aku tidak tega membiarkan Papa berangkat ke pesta pernikahan sendirian.

“Kenapa sih, Ma? Cuma nggak foto bareng pengantin aja sampai bikin Mama nggak mau pergi.” Papa masih berusaha membujuk Mama ketika Mama memaksaku menemani Papa.

“Bukan masalah itu, Yang.” Mama dan Papa saling memanggil ‘Yayang’ satu sama lain sejak mereka menikah dua puluh empat tahun lalu. “Aku nggak bakal tahan lihat Si Nyonya Bawel itu belagu di depanku.”

Papa, aku dan adikku tahu kalau Mama bermusuhan dengan salah seorang istri kolega Papa. Menurut Papa, permusuhan itu berawal ketika tanpa sengaja Mama memarkir mobil terlalu mepet dengan mobil istri kolega Papa itu. Akibatnya dia kesulitan waktu mau keluar, padahal dia tengah buru-buru. Saat itu di kampus sedang ada arisan Keluarga Besar Fakultas Hukum. Kata Papa, Mama sudah berusaha minta maaf, tapi istri kolega Papa itu tidak mau tahu, dia mengomel dan mempermalukan Mama di depan banyak orang. Sejak itu Mama tidak lagi mau bicara dengannya dan menyebutnya Si Nyonya Bawel.

Sikap Mama makin keras terhadap Si Nyonya Bawel setelah karir akademik dan jabatan struktural Papa meningkat pesat. Mama merasa menang. Bukan, Mama bukannya tidak punya pekerjaan. Mamaku yang manis itu seorang fisioterapis di sebuah rumah sakit swasta besar. Anehnya, meski sibuk, Mama tetap masih punya waktu mengurusi rasa bencinya pada istri kolega Papa yang satu itu. Sulit masuk akalku. Papa dulu berkali-kali mengingatkan agar Mama tidak perlu memupuk permusuhan semacam itu. Katanya tanpa dipupuk, rasa tidak suka seperti itu sudah bisa menjadi racun hati.

“Yang, sudahlah. Roda kehidupan itu berputar. Yayang tahu juga, kan. Siapa tahu suatu saat kita memerlukan mereka.” Papa tak bosan mengingatkan.

“Halah. Nggak kenal dia juga nggak ada ruginya. Emangnya dia siapa!” Gerutu Mama. Selalu begitu.

“Kita pernah berbuat salah juga pada orang lain. Kalau mereka tidak mau memaafkan, yang rugi juga siapa,” bujuk Papa, tak pernah jera. Tapi Mama tidak mau mendengar. Akhirnya Papa angkat tangan.

Rasa superior Mama atas istri kolega Papa itu mencapai puncaknya ketika Papa terpilih menjadi dekan. Selama masa jabatan Papa itu, empat tahun, Mama menuntaskan semua rasa marahnya pada perempuan malang itu. Si Nyonya Bawel tidak pernah dilibatkan bila Keluarga Besar Fakultas Hukum punya acara bersama. Sebenarnya istri kolega Papa itu tidak bisa dikatakan sebagai perempuan malang. Semua staf fakultas tahu kalau ia memang kurang bersahabat.

Benar apa yang selalu dipesankan Papa, roda kehidupan berputar. Jabatan Papa sebagai dekan berakhir, lalu semua yang sering disampaikan Papa pada Mama kejadian beneran. Seminggu lalu kolega Papa itu terpilih menjadi dekan, menggantikan Papa. Ya. Dunia seolah terbalik. Dunia Mama, tentunya, bukan duniaku atau dunia Papa. Kekuasaan Mama atas Si Nyonya Bawel hilang bersamaan dengan acara serah terima jabatan. Sebenarnya kekuasaan yang dimiliki Mama selama empat tahun itu semu belaka. Selain yang punya jabatan adalah Papa, rasa berkuasa itu hanya ada di dalam pikiran Mama saja.

Sehari setelah pelantikan, kolega Papa yang lain mengedarkan undangan pernikahan anaknya. Mama langsung pasang muka masam begitu melihat undangan itu di atas meja ruang baca, tempat kami belajar atau berbincang bersama sehabis makan malam.

“Aku nggak mau nemanin Yayang ke pesta kawinan. Nggak sudi aku lihat Si Nyonya Bawel itu. Pasti nanti dia belagu kalau diminta foto di pelaminan bareng pengantinnya,” omel Mama setelah membaca undangan.

“Siapa juga yang akan peduli pada hal kayak gitu, Yang.” Papa mencoba membujuk Mama.

“Aku, Yang. Aku yang peduli. Nggak sudi.” Suara Mama selalu ketus bila menyangkut Si Nyonya Bawel itu. “Pokoknya, Yang, aku nggak mau datang ke acara apapun di kampus selama suaminya jadi dekan,” tambah Mama dengan nada kaku tak terpatahkan. Artinya, selama empat tahun ke depan aku harus siap-siap menemani Papa menghadiri berbagai acara resmi di fakultas.

Begitulah. Aku yang akhirnya harus mengalah.

“Sita, sudah siap?” Kudengar suara Papa diikuti ketukan di pintu kamarku.

“Bentar, Pa. Tinggal pakai anting.” Kuraih sepasang anting di atas meja riasku. Kusambar clutch lalu keluar kamar.

Papa sudah mengeluarkan mobil dari garasi. Mama pura-pura tidak melihat kami pergi.

***

Tidak ada komentar: