Sabtu, 03 Desember 2011

Dark Tourism

Sumber Foto
Meskipun orang senantiasa berharap terjauh dari segala penderitaan dan marabahaya, rupanya banyak yang suka kalau hanya sekedar melihatnya. Kira-kira, sisi gelap dari perjalanan hidup manusia itulah yang mendorong orang menikmati dark tourism.
Wikipedia mendefinisikan dark tourism sebagai wisata yang melibatkan perjalanan yang berkaitan dengan kematian dan penderitaan. Dalam prakteknya, makna kematian dan penderitaan itu meluas hingga ke peristiwa bencana, lokasi-lokasi yang dianggap angker dan berbahaya, benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan super dan magis, bahkan konflik berkepanjangan dan perang.

Ground Zero, NYC, AS - Winter 2002. Foto: Endah Raharjo
Salah satu situs untuk dark tourism yang paling terkenal di dunia adalah bekas kamp konsentrasi Auswitch. Tempat ini kabarnya pada tahun 2009 saja menyedot sekitar 1,3 juta pengunjung dari seluruh penjuru dunia. Untuk mancanegara, selain Auswitch, bekas lokasi Menara Kembar di pusat kota New York, yang dikenal dengan Ground Zero, juga merupakan salah satu yang cukup populer bagi para wisatawan. Tidak hanya itu, ada orang yang tega datang ke Jalur Gaza dalam rangka perjalanan wisata semacam ini.

Ada beragam alasan mengapa orang ingin mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan sejarah atau cerita kelam yang mendirikan bulu roma itu. Salah satunya adalah rasa ingin tahu atau penasaran. Banyak orang ingin melihat dan merasakan sendiri suatu bencana, sebuah tragedi atau bahkan teror yang pernah dialami oleh orang lain di masa lalu.

Parkir mobil wisatawan di lereng Merapi. Foto Endah Raharjo
Beberapa tahun terakhir ini sejak tragedi tsunami yang menghancurkan Aceh yang disusul dengan rangkaian gempa bumi yang mengguncang ibu pertiwi, orang tak segan-segan untuk melihat langsung kematian dan kehancuran yang terjadi. Bukan rahasia bahwa antara awal 2005 hingga kini, ada orang datang ke Aceh sekedar untuk melihat langsung malapetaka tsunami yang merenggut nyawa ratusan ribu warganya itu.

Demikian pula dengan gempa bumi Jogja yang terjadi akhir Mei 2006. Selama sebulan sejak gempa terjadi, lalu lintas menuju Kabupaten Bantul, wilayah yang paling parah, setiap hari macet total saking banyaknya orang yang - selain membantu - ingin membuktikan sendiri kedahsyatan bencana yang merobohkan ribuan bangunan itu. Tak beda dengan peristiwa meletusnya Gunung Merapi. Saat ini, sebagian besar wisatawan yang datang ke Jogja tak akan melewatkan kunjungan ke lereng atas Merapi, khususnya Dusun Kinahrejo, untuk melihat dengan mata-kepala sendiri, betapa mengerikannya akibat muntahan lava dan awan panas salah satu gunung berapi teraktif di dunia itu.

Salah satu obyek dark tourism di Indonesia yang belum berhenti menuai kontroversi adalah tragedi Lumpur Lapindo. Menurut kabar, selain jembatan baru Suramadu, wilayah yang terkubur lumpur itu menjadi salah satu tujuan favorit para wisatawan yang beranjangsana ke Jawa Timur. Memang menyedihkan, tapi itulah kenyataan. Tidak ada yang bisa meramal kapan bencana lingkungan yang menyengsarakan ribuan orang ini akan berakhir.

Kampung yang terkubur lumpur Lapindo. Foto: Wing Raharjo
Sementara obyek dark tourism lainnya yang juga sering ditayangkan di TV, dan pernah dipakai sebagai setting sebuah film, adalah Lawang Sewu yang terletak di Semarang. Bangunan yang telah berusia lebih dari 180 tahun ini memiliki sejarah panjang dari jaman penjajahan Belanda hingga Jepang. Setelah Indonesia merdeka, gedung ini pernah pula dipakai sebgai kantor PT. Kereta Api. Kini gedung kosong yang dianggap angker dan ‘berpenghuni’ itu telah dinobatkan sebagai bangunan kuno dan bersejarah yang dikuatkan dengan Surat Keputusan Pemkot Semarang.

Dalam skala mikro, keris-keris dan aneka senjata yang dianggap bertuah yang konon masih tersimpan di keraton-keraton di Jawa, khususnya Jogja, juga bisa dimasukkan dalam kategori ini. Barang-barang yang sulit ditaksir nilainya itu sesekali dipamerkan juga. Termasuk dalam kategori lokal ini adalah Museum Taman Prasasti di Jakarta, dimana jenazah Soe Hok Gie yang meninggal dalam usia teramat muda itu dibaringkan.

Tak heran bila di lokasi runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara yang menghubungkan Tenggarong dan Tenggarong Seberang itu konon sudah banyak didatangi para pedagang; mereka proaktif menyambut para wisatawan.

***

Tidak ada komentar: