Sumber Ilustrasi |
“Matahari yang sama. Rumput yang sama. Pagi yang baru,” bisiknya pada diri sendiri sambil memandang keluar jendela, memberi kesempatan sejuk angin pagi membelai wajahnya. Dua tangannya lincah menyibak rambut panjangnya ke belakang, menggulungnya ke atas, menjadi sanggul kecil. Leher jenjangnya tertimpa bias sinar lampu teritisan yang masih menyala, membentuk siluet eksotis.
“Udah bangun?” Ketukan pelan diikuti suara Febri terdengar dari balik pintu.
Wajah Septi menyembul begitu pintu terbuka, menyajikan senyuman pagi yang sangat dikenal Febri. Wajah manis yang mulai dihiasi sedikit keriput lembut di sekitar matanya. Keriput yang kentara ketika adiknya itu tersenyum, menandai kematangan pribadinya dan menambah kekuatan karakter pada wajahnya yang berdahi tinggi, bermata lebar dan berbibir penuh.
“Semua udah di sini?” Tangan Febri menepuk-nepuk sebuah koper kulit hitam besar di atas sofa merah bata. Septi mengangguk pasti.
“Aku udah mandi, lho. Tinggal ganti baju. Kita berangkat lebih awal dan sarapan di bandara aja,” kata Febri lagi, matanya mengikuti kaki telanjang adiknya yang berjingkat-jingkat menuju kamar mandi.
Seminggu ini Septi tidak banyak bicara. Febri juga ragu-ragu apa masih ada lagi yang perlu dibicarakan yang akan mengubah ketetapan hati Septi.
“Kamu yakin nggak bakal nyesel nanti kalau kamu beneran hamil?” Tanya Febri, seminggu yang lalu ketika ia baru saja tiba di rumah Septi.
“Aku mau punya anak, Mbak. Aku mau mewujudkan mimpi Ibu,” kata Septi dengan serius. “Kalau laki-laki bisa menebar benihnya di rahim perempuan mana saja ia mau, kenapa perempuan tidak bisa menanami sendiri rahimnya dengan benih yang ia mau?” Suara Septi serupa silet, menyayat perasaan Febri.
Febri hanya bisa menarik napas dalam-dalam mendengar jawaban adiknya. Sejak itu Febri tidak lagi menanyakan hal-hal prinsip. Ia tak ingin menyalakan bara amarah yang sudah padam. Ia memilih membantu mengurus hal-hal teknis seputar rencana keberangkatan adiknya ke San Francisco.
Selama seminggu Febri membantu mengepak barang-barang Septi, memisah-misahnya menjadi tiga: yang mau diberikan ke saudara sepupu dan teman-teman Septi, yang mau ia bawa ke rumahnya sendiri, dan yang ditinggal di rumah itu sebagai bonus untuk keluarga yang membeli rumah Septi.
Febri mengerti kalau hati Septi menjelma batu sejak bercerai dari suaminya sepuluh tahun lalu.
**
Septi tengah menyelesaikan pendidikannya di sebuah perguruan tinggi di Amerika Serikat ketika dia menerima kabar bahwa suaminya menghamili perempuan lain. Perempuan yang sering diajak suaminya keluar malam semenjak Septi pergi.
“Kamu pergi terlalu lama! Aku kesepian! Ngerti nggak?” Hardik suaminya ketika Septi berusaha meminta penjelasan melalui telepon.
Dan entah bagaimana kejadiannya, perempuan yang tidak pernah dikenal Septi itu akhirnya memutuskan untuk menggugurkan saja kandungannya dan menghilang dari kehidupan suaminya. Septi berusaha keras untuk memaafkan suaminya dan menenggelamakan diri dalam buku-buku dan tugas-tugas yang menghujaninya setiap minggu.
Namun kejadian buruk itu berulang hanya dalam waktu tiga bulan.
“Aku mau punya anak! Aku butuh istri! Aku nggak mau nunggu kamu!” Hardikan itu kembali menghantam gendang telinga Septi ketika ia ingin memahami perbuatan suaminya.
Septi bingung karena disalahkan atas perilaku suaminya. Sebelum berangkat ke Amerika, Septi sudah mencari sebanyak mungkin informasi kalau-kalau suaminya mau diajak pergi. Kata teman-temannya, beasiswa yang diterima Septi cukup untuk hidup berdua dengan suami, asal mau hemat. Apalagi suaminya punya kemahiran bermain musik yang diakui banyak orang. Bisa saja dia manggung di kelab-kelab kecil dengan bayaran minimum atau bekerja sebagai pencuci piring atau yang sejenisnya, seperti yang dilakukan banyak mahasiswa yang membawa keluarganya. Tapi suaminya menolak.
“Aku harus ninggalin kerjaanku? Ikut kamu? Jangan ngawur!” Bentakan itu keras sekali.
Walaupun dengan hati berat Septi pergi juga. Kala itu ia berharap suaminya akan menyusul sebulan atau dua bulan kemudian. Tapi harapannya sia-sia. Sejak itu, hardikan demi hardikan rutin ia dengar setiap kali ia menelepon ke rumah untuk berkabar.
Sepulang dari Amerika Septi segera bercerai dari suaminya. Septi meminta agar suaminya bertanggung jawab atas anaknya. Buah dari benih yang ia taburkan ke rahim perempuan muda yang bekerja sebagai kasir di kelab tempatnya bermain musik setiap malam.
Septi memilih hidup sendiri. Meniti karirnya dengan serius. Ketika bapaknya meninggal, ia memutuskan serumah lagi dengan ibunya. Bertahun-tahun waktunya ia habiskan untuk pekerjaan dan mendampingi sang bunda. Dua tiga kali dalam setahun Septi bertugas ke luar negeri. Kesendiriannya membuatnya mandiri dan sigap dalam menghadapi persoalan hidup.
Pernah ia dua kali mencoba menjalin hubungan dengan laki-laki yang telah mapan. Namun keduanya gagal karena alasan yang sama. Mereka meminta Septi meninggalkan pekerjaannya untuk pindah ke kota lain tempat mereka bekerja.
“Kamu harus mengubah pendirianmu kalau mau menikah lagi,” begitu nasihat ibunya selalu. Namun Septi tidak berniat mengubah pilihannya.
“Ibu ingin kamu bahagia, Septi. Seperti Febri.” Pinta ibunya ketika ia merasa hari-harinya sudah akan berakhir.
“Aku bukan Mbak Febri, Bu. Aku bahagia hidup dengan caraku.”
“Ibu ingin punya cucu dari kamu. Ibu ingin kamu merasakan nikmatnya mengandung janin di dalam rahimmu, Septi.”
Berkali-kali, ketika penyakit kanker hati semakin merajai tubuhnya, ibunya berpesan pada Febri agar membujuk Septi untuk segera menikah dan memberinya cucu.
Sebelum Septi sempat menemukan pasangan, apalagi memberi cucu, ibunya menghembuskan napas terakhir di pangkuannya. Sambil menabur segenggam tanah di atas pusara ibunya, di sela-sela doa, Septi berjanji akan memenuhi permintaan sang ibu.
**
“Katanya mau ganti baju? Kok malah ngelamun?” Percikan air dari rambut basah Septi yang baru keluar dari kamar mandi mengagetkan Febri.
“Ah! Cuma ingat mendiang bapak dan ibu.” Febri beranjak dari kursi dan berganti baju. Sebentar kemudian ia membantu mengeringkan rambut Septi sementara adiknya itu mengatur ulang isi tas cangklongnya.
“Jangan mau terbelenggu masa lalu, Mbak. Bapak dan ibu sudah bahagia di surga. Kita punya dunia sendiri. Saat ini.” Kata Septi. “Dunia ada di genggaman kita kan?” Lanjut Septi ceria sambil memasukkan blackberry ke dalam saku luar tasnya. “Dan di pangkuan kita,” tambahnya sambil menjejalkan laptop ke dalam tas. Senyum Septi terkembang manis sekali.
Febri terharu melihat senyum yang akan dirindukannya itu. Diletakkannya pengering rambut dan dipeluknya tubuh adiknya. “Aku khawatir, Septi,” bisik Febri dengan suara hampir menangis.
“Jangan. Jangan khawatir.” Septi menatap kedua mata kakaknya yang memancarkan rasa khawatir; kakaknya yang menikmati hidupnya dan sukses sebagai ibu rumah tangga.
“Mbak tahu kan, semua sudah aku pikirkan sejak ibu meninggal. Tabunganku udah banyak. Ditambah uang warisan dan hasil penjualan rumahku. Aku bisa hidup di sana selama setahun tanpa kerja. Teman-temanku banyak. Aku juga akan segera cari visa kerja,” jelas Septi.
“Tapi San Francisco itu jauh sekali, Septi. Kalau aku kangen bagaimana?” Febri mencoba melucu. Dia tahu adiknya punya banyak teman di sana. Ia juga tahu, Septi akan bisa mencari pekerjaan dengan kemahirannya berbicara dan menulis dalam empat bahasa dan pengalaman kerjanya di dunia internasional selama ini. Suami Febri, Mas Anung, juga meyakinkannya bahwa perempuan sepintar, sekuat dan semandiri Septi bisa hidup di mana saja.
Febri khawatir akan masa depan Septi dan anaknya yang akan lahir tanpa bapak. Ia tidak bisa membayangkan bila keponakannya kelak tahu bahwa ia lahir karena donor sperma. Selama dua tahun berkali-kali Febri meminta Septi untuk berpikir ulang. Untuk menikah saja, bila perlu setelah hamil Septi minta cerai. Atau menjadi istri kedua asal bisa hamil dan punya anak.
Septi menolak mentah-mentah permintaan Febri. Katanya semua itu pilihan yang buruk, karena membawa dampak yang lebih panjang, salah-salah bisa menyakiti banyak orang. Menurutnya, langkah yang sudah ia pilih itu hanya akan melibatkan dirinya dan anaknya. Dan Septi yakin dirinya akan mampu mendidik anaknya dengan cara yang tepat.
“Kalau banyak perempuan bisa melakukannya, dan mereka bahagia, mengapa saya harus ragu?” Tegas Septi.
Namun bukan hanya itu saja yang dikhawatirkan Febri. Ia yakin, akan ada tekanan dan cemoohan dari keluarga besarnya bila mereka nanti tahu keputusan yang telah dipilih adiknya. Mereka pasti akan menuduh Septi telah melanggar aturan agama. Namun Septi berkeras. Septi juga sudah bertekad untuk tidak tinggal di Indonesia bila situasi memaksanya begitu.
“Tuhan menciptakan bumi begini luasnya. Kalau orang-orang yang mengaku sebagai keluarga tidak bisa menerima pilihanku, masih ada banyak teman yang bersedia menjadi keluargaku, Mbak.” Septi yakin sekali dengan kata-katanya. “Nanti kamu nengok kalau aku melahirkan, ya. Aku kirimi tiket. Atau minta Mas Anung.” Septi mencubit pipi kakaknya.
“Anakmu kira-kira akan kayak siapa ya? Kamu atau bapaknya? Kamu sudah punya pilihan calon donor kan?”
“Aku sudah mantap dengan tiga calon donor. Tapi nanti saja aku milih setelah di sana. Campuran Vietnam dan Perancis, campuran Turki dan Irlandia, dan campuran Jepang dan Italia.” Septi membuka tas cangklongnya. Mengambil beberapa lembar kertas dari kumpulan dokumen yang dibendel rapi.
Febri membaca sekilas profil tiga laki-laki pendonor sperma yang akan dipilih Septi sesampainya di San Francisco, tempat adiknya akan membeli sperma di salah satu bank sperma terbesar dan tertua. Walaupun Septi telah menjelaskan pada Febri tentang semua hal-hal teknis, ia masih saja ternganga mendapati kenyataan adiknya akan mengijinkan rahimnya dibuahi oleh sperma milik seorang laki-laki yang hanya disebut dengan kode dan angka.
“Aku memilih donor yang punya program yang mengijinkan aku dan anakku menghubunginya. Suatu saat. Khususnya setelah anakku berusia 18 tahun. Jadi anakku akan tahu siapa bapaknya. Anakku juga akan tahu siapa saja saudara seayahnya kalau-kalau donor yang aku pilih juga dipilih oleh perempuan lain.”
Febri takjub memandang adiknya yang tampak telah siap dengan semua kemungkinan yang akan ia hadapi di masa depan. Selama dua tahun Septi melakukan riset dan memantapkan hati untuk menjalankan niatnya itu. Sebenarnya bisa saja Septi melakukannya di Singapore atau China yang tidak jauh dan biayanya relatif lebih murah, tapi di negeri itu ia tidak punya teman.
Dibantu teman-temannya di Amerika dan setelah berkonsultasi dengan sebuah bank sperma yang berkualitas yang dilengkapi dengan klinik dan layanan konsultasi jarak jauh, Septi memutuskan untuk menanam benih di rahimnya.
“Pasti aku akan kasih kabar terus, Mbak.”
“Janji ya. Kita Skype tiap hari ya!” ujar Febri sambil menyisiri rambut adiknya.
Septi meraih tangan Febri. Digenggamnya tangan kakaknya kuat-kuat. Ia sadar telah memilih cara yang tidak biasa. Cara yang dianggap menyimpang oleh sebagian besar orang. Namun ia juga telah mengalami kegagalan dan merasakan pahitnya cara biasa yang dulu ia lakoni ketika bersuami. Septi tidak akan menoleh ke belakang. Ia menatap mantap ke depan. Ia ingin memiliki dan membesarkan anak yang merupakan buah dari rahimnya sendiri.
Febri dan Septi saling bertatapan dalam diam. Bahkan sebelum keduanya benar-benar berpisah di bandara, kakak beradik itu lama berpelukan sampai bunyi klakson taksi yang berhenti di depan rumah mengagetkan mereka.
***
Ngaglik, April 2010
Dipersembahkan untuk Mila Kasalica dan Cai Yiping, dua sahabatku yang jauh, yang tak henti-henti memberi inspirasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar