Jumat, 01 Juli 2011

Ipoh: Mengintip Rumah Para Gundik

Salah satu sayap Stasiun Ipoh
Duduk di jok belakang mobil yang dikendarai pelan-pelan, sepasang mata saya terpaku pada bangunan-bangunan tua yang berjajar di kiri-kanan jalan.

“Endah, are you listening?” tanya team leader saya, yang duduk di samping saya.

Yes, of course…” jawab saya, berbohong. Sebenarnya telinga saya tidak mendengar arahan yang ia berikan untuk wawancara yang harus saya lakukan, karena otak saya dikuasai hasrat mencari waktu luang guna mengambil foto bangunan-bangunan tua yang menarik perhatian saya itu.

Karena padatnya acara, sebelum berangkat ke Ipoh, saya tidak punya waktu untuk mempelajari ibukota negara bagian Perak, Malaysia, ini. Sesampai di sana dan keluar dari stasiun, baru saya tahu kalau kota ini memiliki kawasan Kota Tua yang mempesona. Stasiun kereta api yang bangunannya bergaya arsitektur Neoclassical itu merupakan salah satu landmark-nya. Saya menyesal. Andai saya tahu lebih dulu, pasti saya akan berangkat dengan kereta paling pagi, agar punya waktu lebih banyak untuk menikmatinya, sebelum dan sesudah menunaikan tugas di kota berpenduduk sekitar 700 ribu jiwa itu.

Bagian dalam Stasiun Ipoh
Setelah tugas usai, saya hanya punya waktu 4 jam hingga saatnya kembali lagi ke Kuala Lumpur dengan kereta listrik (ETS – Electric Train Service) terakhir yang meninggalkan stasiun Ipoh pukul 18.30.

Di bulan Juni, cuaca di kota terbesar keempat di Malaysia yang kira-kira sejauh 2 jam perjalanan dengan ETS dari Kuala Lumpur ini panas dan sangat lembab, hingga baju serasa lengket di badan. Untung setiap kali bertugas di lapangan saya gemar memakai tank top di bawah blus. Cara ini cukup efektif; di cuaca lembab yang panas tank top akan menyerap keringat sedangkan bila suhu menjadi dingin, si tank top siap membantu menghangatkan badan.

Dengan lagak fotografer professional – yang cuma menenteng kamera digital poket – selepas makan siang, sekitar pukul 14.30, di bawah terik matahari, sambil menghirup oksigen dari udara yang kelembabannya sangat tinggi, saya berjalan keliling kawasan Kota Tua. Jepret sana. Jepret sini. Sesekali menyeka keringat di wajah dengan tisu. Maksud hati berjalan santai tak terpenuhi karena dikejar waktu.

Concubine Lane
Dalam brosur yang saya comot di Tourist Information Center, yang terletak sekitar 10 menit jalan kaki dari stasiun kereta api, disebutkan di kawasan Kota Tua terdapat 24 bangunan bersejarah yang layak dikunjungi. Bangunan-bangunan itu berlanggam arsitektur hybrid – ini istilah saya - campuran antara Neoclassical, China, Mogul, Melayu dan Gothic. Di brosur disebutkan ada beberapa bangunan bergaya Renaissance Itali. Saya tidak punya cukup waktu untuk benar-benar mengamati. Yang pasti, langgam-langgam arsitektur tersebut diperkenalkan oleh Pemerintah Inggris – dikenal sebagai arsitektur British Colonial - ketika mereka menduduki Malaysia dan membangun gedung-gedung megah di negeri tetangga itu; seperti corak ragam arsitektur Kolonial Belanda yang terlihat di ratusan bangunan tua di berbagai kota besar Indonesia.

Rumah yang masih dihuni - Concubine Lane
Nah. Bicara soal jaman kolonial itu, yang bagi beberapa kalangan cukup sensitif bahkan bisa menyakitkan, supir peranakan India yang mengantar kami sana-sini bercerita tentang beberapa keputusan penguasa Ipoh yang menurutnya aneh. Apa, sih? Mereka mengubah nama-nama jalan, dari nama beraroma ‘penjajah’ menjadi nama-nama lokal. Misalnya Belfield Street, yang merupakan jalan utama di pusat bisnis Ipoh, diganti menjadi Jalan Sultan Yussuf; atau Hugh Low Street diubah menjadi Jalan Sultan Iskandar. Ya. Begitulah. Kadang kita – maksudnya saya – juga ingin melupakan sejarah yang getir… yang dikenang maunya yang manis-manis saja…

Ruang dalam salah satu rumah di Concubine Lane
Di kawasan Kota Tua ini ada jalur jalan selebar kira-kira 3 meter yang dinamai Panglima Lane atau Concubine Lane. Kira-kira seabad lalu, bagian Kota Tua ini dikenal sebagai ‘kawasan merah’ yang dipenuhi rumah bordil, tempat judi dan rumah-rumah candu. Beberapa dekade berikutnya, rumah-rumah yang berderet itu berubah fungsi jadi sangkar para concubines atau gundik atau selir atau perempuan simpanan atau WIL milik para penguasa dan saudagar kaya keturuan China.

Saat saya sampai di sana Concubine Lane tampak sepi, bagai mati. Hampir semua bangunan yang berlantai dua itu masih tampak asli, namun kondisinya sangat mengenaskan. Rumah-rumah yang ditinggali terlihat lebih bersih dan terawat. Beberapa penghuninya yang sempat saya temui berwajah China. Sebagian rumah yang tak dihuni jendelanya dibiarkan terbuka sehingga saya bisa mengambil foto ruang dalamnya.
Jendela lantai atas - Concubine Lane

Di salah satu jendela yang terbuka itu, saya menyempatkan diri berhenti sebentar, membayangkan berbagai hal yang pernah terjadi di dalam ruangan. Terlintas wajah cantik perempuan muda berkulit pualam bertubuh indah terbalut cheongsam merah menyala, duduk di pangkuan lelaki tua gendut yang mengalungkan seuntai permata ke leher jenjangnya.

Lalu saya mendesah, “Andai tembok-tembok bata itu bisa bicara…”

Saat sedang asyik mengintip bekas rumah gundik-gundik para taipan China itu, team leader saya mengingatkan untuk segera beranjak dari sana, karena dia tak mau ketinggalan kereta.



***

Catatan: semua foto adalah dokumentasi pribadi

4 komentar:

indrawisudha mengatakan...

Saya menikmati catatan perjalanan Anda ini, Mbak Endah. Apalagi, ada kisah soal kota tua dan bangunannya. Kalau di sana terawat, mengapa di negeri kita tidak ya? Ah! Pertanyaan basi. Tapi saya harus akui: sungguh iri dengan Singapura dan Malaka tetangga kita yang dekat-dekat saja untuk urusan menjaga kota tua.

Tabik.

Endah Raharjo mengatakan...

Mas Indra, terima kasih banyak. Ini catatan pertama. Akan ada berikutnya, masih soal Ipoh. Maaf kalo cerita saya 'tidak runtut', saya tulis sesuai mood :)
Soal bangunan tua kita: hahahahahaaa... saya mengerti. Justru perasaan itu yang muncul pertama kali saat saya masuk ke kawasan Kota Tua Ipoh. Meskipun bangunan2 tua itu banyak yang tidak terawat, namun dibiarkan utuh...

Nathalia mengatakan...

serupa kota tua di jakarta, tapi lebih terawat ya Mba? :)

Endah Raharjo mengatakan...

Benar :) dan beberapa bagian mirip Braga juga. Beberapa bangunan sangat terawat dan beberapa lainnya tidak terawat sama sekali. Tapi selain dibiarkan tetap utuh, kawasan Kota Tua Ipoh masih benar2 berfungsi. Nanti saya tambah ceritanya, ya :)