Rabu, 28 Maret 2012

Sebuah Arloji

Sumber Ilustrasi
Sore itu, Fika tampak kelelahan sepulang kantor. Ia mampir berbelanja membeli hadiah untuk suaminya, Fahri, dan dua anaknya. Fika dan Fahri punya kebiasaan bertukar hadiah untuk merayakan Lebaran.

Begitu keluar dari mobil Fika langsung menuju dapur. Menyiapkan aneka masakan untuk buka puasa.

“Sayang, tasmu aku keluarin ya,” kata Fahri sambil menenteng barang-barang istrinya yang berserakan di jok belakang. Fahri meletakkan tas istrinya di atas meja kerja, di sudut ruang tengah. Meskipun ia sudah hati-hati, tas yang menggembung itu rebah akibat kebanyakan isi. Sebuah kotak berlapis kulit mewah menyembul di balik zipper yang setengah terbuka. Diam-diam Fahri mengambil kotak itu dan membukanya.

“Ah, arloji!” Hati lelaki itu bersorak. Lebaran kali ini istrinya akan menghadiahkan sebuah arloji mewah. Pelan-pelan Fahri memasukkan kembali kotak kulit itu ke dalam tas istrinya.

**

Malam Lebaran. Fahri, Fika dan dua anaknya berkumpul di ruang keluarga usai berbuka puasa. Mereka saling bertukar hadiah dengan wajah cerah. Dengan senyum terkulum Fika mengangsurkan sebuah bungkusan ke tangan suaminya. Antusias Fahri menyambut hadiah itu, pura-pura tidak tahu isinya. Sebelum membukanya, ia daratkan ciuman ke kening Fika diiringi pelukan lembut.

Begitu bungkusnya terbuka, wajah Fahri berubah gundah. Yang ada di tangannya hanya dos putih biasa. Isinya sebuah tempat kartu nama tembaga dengan ukiran aneka fauna di dinding luarnya.

“Lalu, arloji mahal itu untuk siapa?” Dalam hati Fahri bertanya-tanya.

Tanpa bicara Fahri beringsut menjauh dari istrinya. Sepanjang sisa malam lelaki itu tak banyak berkata-kata. Juga hari-hari berikutnya ketika mereka bertemu keluarga besar di Hari Raya. Fahri marah. Istrinya pasti selingkuh dengan salah satu koleganya, tuduh Fahri dalam hati.

**

Selepas libur Lebaran hingga sebulan kemudian, Fahri selalu pulang larut malam. Rapat. Seminar. Lokakarya. Begitu alasannya. Fika percaya saja. Fahri sengaja ingin membalas istrinya. Setiap malam ia pergi ke pusat hiburan, membeli perempuan atau sekedar berhura-hura.

Malam itu, berkali-kali Fika gagal menelpon suaminya. Fahri sengaja mematikan HP-nya, tengah membakar malam bersama perempuan yang dibelinya.

Dengan sabar Fika menunggu sang suami. Di tangannya ada sebuah kotak mungil terbungkus kertas coklat tua berhias pita sutera. Ketika jam dinding bergerak ke angka 1, Fika tak bisa lagi menahan kantuknya. Bungkusan cantik berisi arloji impian suaminya itu ia letakkan di atas meja kerja. Di sebelahnya ia tambahkan selembar kertas kecil merah muda:

“Mas Fahri, hanya kado kecil untuk merayakan 12 tahun pertemuan pertama kita. Dengan cinta, Fika.”

***

2 komentar:

Nathalia mengatakan...

yah, suaminya salah sangka :(

Endah Raharjo mengatakan...

Yah, gimana lagi, Suri, udah kadung... :(