Selasa, 13 Maret 2012

Lembayung Senja

Twilight by the Potomac oleh Endah Raharjo
Kepalanya yang mungil sedikit tertunduk. Rambutnya yang panjang dan mulai beruban diikat ke belakang. Kaki kirinya disilangkan di atas kaki kanannya. Kedua telapak tangannya terbuka di atas paha kirinya, menyangga sebuah buku. Selalu begitu posisi ibuku, setiap sore, ketika dia duduk di teras rumahku sambil membaca.

Sudah tiga bulan ini ibuku tinggal di rumahku. Dia tampaknya mulai kerasan. Mulai mengakrabi beberapa kebiasaan baru dan berkenalan dengan beberapa tetangga.

Dua minggu terakhir, ibuku bahkan mulai belanja kebutuhan dapur di tukang sayur keliling dan memasak makanan kesukaanku. Aku jadi bisa sedikit berhemat karena tidak perlu membeli lauk untuk makan malam. Apalagi ibuku pandai memasak dan itulah salah satu kelebihannya yang memikat bapakku dulu.

“Tehnya, bu.” Kuletakkan dua cangkir teh di atas meja kecil sambil duduk berseberangan dengan ibuku.

“Makasih, Nia,” diangkatnya matanya dari buku, “Tumben kamu nggak ngopi?” Mata ibuku berpindah ke cangkirku.

“Lagi nyoba ngurangi kopi.”

Kami ngobrol sebentar. Kuceritakan bagaimana hariku berjalan di kantor. Kemudian kubiarkan ibuku kembali membaca bukunya dan aku tenggelam dalam pikiranku sendiri.

**

“Ibu harus mempertahankannya,” pintaku waktu itu, empat tahun lalu, ketika ibuku tahu bahwa bapakku telah kawin siri dengan perempuan usia duapuluhan, sepantaran denganku.

“Untuk apa lagi? Kamu sudah selesai kuliah. Sudah bekerja. Sudah cukup dewasa untuk menjalani hidupmu sendiri,” jawab ibuku dengan rasa sedih yang tersembunyi rapi. “Ibu tidak mau dimadu dan tidak mau kompetisi dengan perempuan seusiamu. Walaupun dengan biaya ratusan juta tidak ada dokter yang bisa mengembalikan ibu jadi muda lagi,” tambah ibuku sedikit bercanda dengan nada pahit.

Selain itu ibuku telah merasa dibuang bagai sepasang sepatu tua usang. Setelah mengabdi selama puluhan tahun dan dirasa tak cantik dan tak nyaman lagi di kaki, maka ia perlu diganti.
Ibuku sebenarnya marah sekali diperlakukan demikian. Apalagi sebagian besar keluarganya justru menyalahkannya. Menganggapnya tidak bisa menjaga suami dan tidak mahir merawat diri. Namun ibuku sadar amarah tidak membuat penderitaannya berkurang atau mengembalikan yang telah hilang. Dengan segenap kekuatan, ibuku memunguti serpihan harga dirinya yang berceceran, menyusunnya satu-satu, dan merekatkannya dengan penuh kesabaran agar utuh kembali.

Kala itu aku hanya bisa mendukung ibuku dari jauh karena ketika perceraian terjadi, aku tengah mengikuti pelatihan di lembaga keuangan yang kini mempekerjakanku. Sebenarnya hatiku juga pecah berkepingan. Terlebih karena bapakku mengatakan kalau dia sudah lama ingin punya anak lagi, anak laki-laki. Sementara ibuku sudah tidak punya rahim karena kanker merenggutnya ketika aku berusia sebelas tahun. Itu salah satu alasan mengapa bapakku menikahi perempuan muda itu.

Sejak bercerai ibuku tinggal di rumah kontrakan yang dibiayai bapakku. Kakak sulung ibuku yang kaya rajin mengirim uang untuk biaya hidup. Ibuku juga punya uang warisan dari kakekku dan simpanan perhiasan sehingga hidupnya tidak kekurangan walaupun tidak semudah seperti sebelum bercerai.

Kekecewaanku pada bapakku kulawan dengan bekerja keras. Tiga tahun kemudian tetesan keringatku berbuah manis. Aku naik pangkat dan gajiku cukup besar untuk mengangsur rumah dan memboyong ibuku tinggal bersamaku. Perlu empat bulan untuk meyakinkan ibuku agar mau pindah.

“Daripada ngontrak sendiri, bu, boros. Aku juga butuh teman di rumah,” bujukku. Dan kini aku merasa teramat lega karena ibuku pelan-pelan mulai menemukan kembali hidupnya yang hilang. Walaupun kesedihan itu kadang-kadang masih bisa kurasakan menyelinap di antara senyumnya ketika ibuku melepasku bekerja dan kutinggal sendirian di rumah.

**

“Tehmu dingin, Nia.” Suara ibu memecah kesunyian senja. Bukunya diletakkan di pangkuannya. Kacamatanya dilepas dan ditaruh di atas meja. Matanya memandang jauh ke atas, ke langit yang berhiaskan semburat kemerahan mengantar senja menyambut malam.

“Ibu suka sekali melihat warna langit yang seperti itu. Langit senja.” Katanya masih memandang ke atas. Lepas menembus awan. “Warna apa itu? Kita tidak punya kata yang tepat untuk melukiskannya. Lembayung? Merah kekuningan? Tapi ada juga warna biru dan ungu dan sedikit hijau dan hitam.” Gumam ibuku pada diri sendiri.

Dan ibuku berdiam diri. Meresapi suasana yang menurutku tidak ada bedanya dengan waktu-waktu yang lain, kecuali matahari makin hilang dan dunia siap berselimutkan gelapnya malam.

**

Aneh rasanya tidak melihat ibuku duduk di teras ketika aku pulang kerja. Atau mungkin dia sudah di dapur menyiapkan makan malam karena aku pulang sedikit terlambat dari biasanya. Tapi senja belum berakhir dan langit masih memamerkan kilau kemerahan yang dikagumi ibuku.

“Ibu di dapur!” Kudengar suara ibuku sedikit berteriak seolah dia tahu isi pikiranku.

Rumahku kecil sehingga aku bisa mendengar suaranya dari garasi. Sebaliknya ibu juga pasti bisa mendengar ketika aku membuka gerbang dan pintu garasi. Aroma lezat segera tercium begitu aku melangkah ke ruang tengah menuju dapur. “Wah, masak apa nih?” Kulihat ada empat piring berisi empat macam makanan yang berbeda. Ada yang bulat ada yang panjang dan ada yang kotak.

“Ini kroket tahu. Ini sosis tempe. Ini tahu isi jamur.” Ibuku menjelaskan hasil karyanya satu-satu.

“Dan ini bakwan sayur,” kataku sambil mencomot sepotong bakwan.

“Hei! Cuci tangan dulu!” tangan ibuku menepis lenganku yang terulur menjangkau piring.

“Ada apa ini? Ibu udah jadi ikut arisan kampung?” Tanyaku.

“Ini eksperimen ibu,” katanya sambil terkekeh panjang dan lucu.

Sudah lama aku tidak melihatnya tertawa lepas begitu. Wajahnya yang berkeringat tampak sumringah. Sorot matanya berkilauan. Rasa pusing dan penatku selepas lokakarya di ruangan yang AC-nya terlalu dingin tiba-tiba hilang melihat wajahnya yang penuh semangat.

“Kemarin ibu ketemu Bu Menik,” ceritanya sambil duduk di kursi makan. Perempuan yang disebut ibuku itu adalah salah satu tetanggaku yang punya rumah makan kecil khusus vegetarian. “Kami ngobrol cukup lama. Dia bilang butuh teman yang bisa menyuplai aneka snack dari tahu, tempe, singkong dan apa saja untuk vegetarian. Ibu menawarkan diri.”

“Wah! Hebat!” Potongku cepat.

“Seharian ibu bikin makanan ini,” jelas ibuku. “Agak sulit karena telurnya harus diganti dengan tepung maizena.” Tambah ibuku lagi. Dan dengan penuh gairah dia menjelaskan bagaimana repotnya menakar berat tiap-tiap bahan makanan tanpa timbangan karena aku tidak punya perlengkapan semacam itu. Di dapurku hanya ada beberapa buah piring, cangkir, gelas, mangkuk dan garpu-sendok.

“Ibu kan udah hapal.” Sergahku.

“Ini lain, Nia. Untuk dijual resepnya harus pas supaya nanti rasanya pas dan tidak berubah-ubah lagi.”
Rupanya memasak perlu teori juga, pikirku. Pantas saja kalau masakanku tidak pernah pas rasanya. Dan sepanjang malam kami bicara tentang masakan dan rencana ibuku untuk menjualnya di rumah makan milik Bu Menik.

Ibuku masih sibuk di dapur mengatur dan membersihkan barang-barang ketika aku masuk kamar untuk mengakhiri hariku. Ada rasa haru memenuhi rongga dadaku ketika kurebahkan tubuhku. Dari kamar kudengar dendang lirihnya disela-sela gemericik air kran. Genangan air mata sukacita meleleh turun ke pelipisku, membasahi telingaku.

**

“Kapan ibu mulai nyetor makanan ke Bu Menik?” tanyaku sebelum berangkat kerja.

“Sebaiknya kapan ya? Bu Menik bilang secepatnya.”

“Nanti sambil pulang aku bisa mampir beli alat-alat yang ibu perlukan. Sudah bikin daftarnya?”

“Ibu mau pergi sendiri saja. Sudah lama ibu nggak jalan-jalan sendirian,” kata ibuku. “Sekalian ibu menghitung-hitung hari baik,” candanya diikuti deraian tawa yang mengantarku keluar rumah. Duka tampaknya telah pergi dari hati dan jiwanya.

Hatiku riang bukan kepalang. Langkahku terasa lebih ringan ketika membuka gerbang. Mungkin tanpa kusadari selama ini aku ikut menahan beban duka ibuku.

**

Sehabis makan malam ibuku bilang kalau keuntungan yang mungkin dia dapat selama sebulan dari menyetor kue hanya cukup untuk membayar tagihan listrik. Bagiku itu tidak masalah karena walaupun sederhana aku mampu memenuhi keperluan ibuku.

“Ibu sudah milih hari, Nia.”

“Hah? Serius ini? Pakai dihitung-hitung segala?”

“Iya. Rabu minggu depan. Pas bulan purnama.” Senyum lucu terpampang di wajahnya.

“Ah! Ada-ada aja!”

“Kamu akan mengantar ibu ke rumah makan Bu Menik, dari rumah sekitar jam empat. Jadi sampai sana sekitar setengah lima. Kamu pulang lebih awal ya?” Nada suara ibuku lebih serius kali ini.

“Kenapa mesti begitu?”

Ibuku duduk tegak di kursi kecil di dapur. Kursi yang baru dia beli bersama alat-alat lainnya. Matanya hangat memandangiku. Dan meluncurlah kata-kata yang tak pernah kubayangkan bisa keluar dari mulut ibuku.

“Ibu ingin bisa duduk-duduk di teras setelah mengantar makanan, Nia. Dengan kamu. Kita akan merayakannya berdua. Kita akan duduk di teras seperti biasa. Menikmati senja dan menyaksikan munculnya bulan purnama.”

Ternyata ibuku tidak bercanda ketika ia memilih Rabu sore pas bulan purnama. Katanya dia sangat suka duduk-duduk di teras menunggu senja karena momen yang singkat itu mengingatkan dirinya pada usianya yang memasuki senja. Ibuku ingin belajar dari alam raya dan meleburkan diri di dalamnya.
Kata ibuku, walaupun singkat, waktu senja ternyata bisa sangat mempesona. Dan malam yang kemudian datang juga tidak selalu gelap. Lebih banyak terangnya karena ada ribuan bintang berkerlipan. Terlebih pada saat bulan purnama, langit akan tampak benderang.

Rupanya dalam hening kesendiriannya ibuku menemukan kembali kebahagian dari dalam dirinya sendiri. Aku jadi tak sabar menunggu hari Rabu datang.


***


Kisah ini pernah ditayangkan di sini.

2 komentar:

Ayu Welirang mengatakan...

Waw. Pernah masuk kompas juga Mbak? Keren.

Endah Raharjo mengatakan...

hehehehe... lebih dulu di sana daripada ngeblognya :) makasih, Ayu