Sumber Gambar |
Siang itu ketika tengah bebenah di dapur Niken merasakan suasana rumahnya bertambah sepi. Ada hawa dingin terbawa masuk oleh angin pancaroba yang menggoyang-goyang tirai biru langit di jendela ruang makan. Jabang bayi enam bulan di rahimnya pun gamang bergerak. Untuk mengusir rasa sunyi Niken menghidupkan TV, meraih ponsel, menelpon Wicak yang tengah keluar membeli cat tembok.
“Mas, kok tiba-tiba aku ngrasa gak enak ya. Kamu baik-baik aja kan?” Tanya Niken. Wicak baik-baik saja. Katanya bisa jadi istrinya hanya kelelahan. Ia minta Niken beristirahat dulu. Lalu mereka berbincang sekali lagi tentang warna cat yang akan digunakan untuk mewarnai dinding luar.
Sembari menunggu Wicak pulang, Niken menjerang air. Tiba-tiba Niken mendengar suara di teras belakang. Dengan ceret masih di tangan Niken melangkah keluar.
“Maaf, nak, ibu numpang duduk sebentar ya. Capek habis jalan-jalan.” Seorang perempuan tua berkebaya kuning kenanga sudah duduk di kursi teras belakang. Wajah keriputnya yang tetap cantik dihiasi senyum yang menyejukkan."Orang kampung memanggil saya Bu Sumi." Ia memperkenalkan diri. Aroma lembut kembang setaman terhembus angin.
Niken sebenarnya sangat terkejut dengan kehadirannya. Namun perempuan itu selain cantik, bersih dan sopan, juga tampak berpendidikan. Niken menyambut perempuan itu dengan senang. “Lumayan, bisa tambah kenalan tetangga,” bisik hati Niken.
“Silakan, Bu. Silakan. Ibu dari mana saja? Sekalian saya seduhkan teh, ya." Niken mengacungkan ceret di tangan kirinya. Tersenyum lebar. "Tunggu sebentar. Saya sendirian. Tapi suami saya segera pulang." Niken kembali masuk ke dapur.
Tak lama kemudian keduanya asyik terlibat dalam percakapan. Menikmati teh dan sepiring tahu goreng. Perempuan berkebaya kuning kenanga dengan motif daunan kecil hijau segar itu tampak sangat mengenal lingkungan tempatnya tinggal. Semua tetangga ia hapal. Mulai nama, umur, pekerjaan bahkan asal-usul mereka. Ia juga berkisah tentang keluarga yang tinggal di depan rumah. Katanya mereka baik hati. Niken jadi merasa beruntung, bisa mulai belajar mengenali nama-nama tetangga di sekitar rumahnya. Juga sifat mereka.
“Itu suami saya datang, Bu Sumi. Sebentar ya. Ibu duduk saja di sini,” Niken permisi ketika didengarnya suara mobil masuk halaman.
“Ada tamu, Mas. Tetangga baru. Namanya Bu Sumi. Beliau duduk di teras belakang.” Sambil membopong dos berisi cat tembok Wicak mengikuti langkah Niken.
“Lho? Kemana Bu Sumi? Tadi duduk di sini.” Niken celingukan. Setengah berlari Niken mengitari rumahnya dan keluar lewat pintu samping yang terbuka. Di halaman depan tidak ada siapa-siapa. Hanya desir angin yang kering dan dingin.
Kebetulan tetangga depan rumah sedang duduk di teras sambil membaca majalah. Niken menghampiri dan bertanya pada tetangga yang baru dikenalnya seminggu itu.
“Mbak Rukmi, tadi melihat Bu Sumi? Beliau baru saja dari rumah saya.”
Tetangga yang dipanggil Mbak Rukmi oleh Niken itu bangkit dari kursi, melangkah mendekati Niken, merengkuh pundaknya sambil berkata pelan, “Bu Sumi sudah meninggal sepuluh tahun lalu, Jeng Niken. Beliau memang suka menyapa setiap orang yang baru pindah ke kampung ini.”
Tubuh Niken lemas. Aliran darahnya selintas terhenti. Wajahnya lesi.
***
2 komentar:
Waduuuuuuuuuh kok bunga kenangaaaaa.. T_T serem jadinyaaa T_T
hihihihihiii... tapi wangi baunya :))
Posting Komentar