Tampilkan postingan dengan label endah raharjo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label endah raharjo. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Juli 2012

Fragmen Lucas dan Lintang

Luc tersayang, 
Maaf, aku memutuskan tidak kembali lagi ke Jakarta. Ibu membutuhkan seluruh perhatian dan waktuku. Semoga…. 

Diletakkannya surat yang tiba di tangannya lewat Kilat Khusus itu. Lucas tak hendak meneruskan membaca. Pandangannya memburam. Buru-buru ia hapus air yang menggenang di sudut-sudut mata. Lucas melipat kertas hijau muda itu, lalu dengan khidmat ia masukkan kembali ke amplopnya. Indah sekali tulisan tangan Lintang. Baru kali ini Lucas menerima surat dari seorang perempuan. Sudah bukan jamannya. Tak seperti ibunya dulu, sewaktu muda saling berkirim surat dengan ayahnya, Lucas lebih suka bertukar pesan-pesan instan.

Lelaki yang bulan depan genap 28 tahun itu duduk di sofa, dadanya tertekuk menandakan gundahnya hati. Aku akan menjemputmu, Lintang. Aku akan datang.

** 

Nun di lereng Merapi, seorang perempuan muda tengah memandikan ibunya, di sebuah kulah di samping sumur.

“Bu, siram ‘nggih. Biar seger. Biar wangi.” Tangan perempuan muda itu menuangkan air hangat dari siwur ke tubuh ibunya.

 “Lintang. Lintang,” si Ibu tak henti-henti menggumamkan nama anaknya. Matanya menatap bercak-bercak lumut di lantai kulah.

Inggih, Bu. Ini Lintang,” Lintang menggosok pelan tubuh ibunya dengan sabun. Sesekali Lintang memperbaiki ikatan kemben ibunya. “Yu Kaaar! Tolooong! Udah selesai!” Lintang jinjit sambil mengulur leher, mencoba melihat melalui lubang gedhek, pembatas kulah dengan sumur. Seorang perempuan setengah baya berlari keluar dari rumah depan. Di tangannya ada handuk biru muda.

“Wah. Ibu sudah wangi.” Dibantu Yu Kar, Lintang mengeringkan badan ibunya, meraih daster batik yang tersampir di dinding gedhek lalu memakaikan ke tubuh yang masih sehat dan segar itu.

“Nanti biar saya suruh orang memperbaiki gedheknya. Biar ageman Ibu dan Mbak Lintang ‘ndak kecanthol.”

“Nggak apa-apa, Yu. Nggak usah.”

“Harusnya Pakdhe Anwar ‘mbuatkan kamar mandi,” Yu Kar gerundelan.

“Ah, Yu Kar. Mereka udah baik hati membuatkan kami kamar di sini. Itu namanya diwehi ati isih ngrogoh rempelo.”

Hati-hati Yu Kar dan Lintang memapah tubuh perempuan itu. Sesosok tubuh sehat namun tanpa jiwa. Awan panas Merapi merenggut semua yang dimilikinya: suami, anak lelaki, rumah, ternak dan kebun empon-emponnya. Semua musnah tersapu lahar dan awan panas. Tak bersisa. Lintang, si bungsu yang bekerja di Jakarta selamat dari marabahaya.

“Jangan pergi, Nduk, cah ayu. Jaga ibumu. Di sini saja, sampai ibumu pulih,” pinta Budhe Anwar setelah letusan gunung mereda.

“Mungkin kehadiranmu bisa menjadi obat, Nduk,’ ucap Pakdhe Anwar.

“Lihat. Sejak kamu suapi tiap hari, ibumu mau makan. Badannya mrintis lagi,” tambah Budhe Anwar. “Kamu ndak usah mikir soal rumah. Nanti kami buatkan kamar di kebon belakang itu. Ya?” Budhe Anwar mengelus rambut panjang Lintang.

“Iya. Terima kasih, Budhe. Kami juga ada tabungan. Tidak banyak, tapi cukup kalau untuk dua kamar,” bisik Lintang, “Ibu punya cincin berlian. Yang dipakai itu. Saya juga punya satu,” Lintang hendak melolos cincin dari jari manisnya.

Ora susah, Nduk. Jangan. Jangan. Wis. Dipakai saja.” Cepat-cepat Budhe Anwar menahan tangan Lintang. “Kalau perlu apa-apa, biar dibantu Yu Kar. Ya?”

Sebulan kemudian, dua buah kamar di halaman belakang siap dihuni Lintang dan ibunya. Yang satu untuk kamar tidur, satunya untuk ruang duduk. Sejak memutuskan tidak kembali ke Jakarta dan meninggalkan pekerjaannya Lintang menutup akun Facebook-nya. Emailnya tidak pernah ia buka. Nomer ponselnya ia ganti.

Ibunya tak lagi bisa diajak bicara, tatapannya hampa, sesekali saja ia bergumam atau memanggil-manggil nama Lintang. Sehari empat kali Lintang membawa ibunya ke sumur, agar tidak ngompol. Tiap pagi, selepas subuh, Lintang membimbing ibunya berjalan-jalan menyusuri kampung. Sebelum tidur ia membacakan cerita, persis yang dilakukan ibunya saat Lintang masih balita. Musibah yang jatuh menimpa Lintang sungguh berat, ia sempat terkapar, namun tidak menyerah. Setiap malam ia berdoa selepas menidurkan ibunya, cukup Engkau bagiku, ya Tuhan, penjagaku dan pelindungku. Ia juga bersumpah, bila di telapak kaki ibunya benar ada surga,  Lintang ingin meniti ke gerbangnya.

** 

Sinar matahari sudah lebih rendah dari pohon kelapa saat terdengar suara theklek menapaki undak-undakan. Budhe Anwar satu-satunya penghuni rumah depan yang gemar memakai theklek bila ke halaman belakang. Mungkin beliau akan mengirim makanan, pikir Lintang. Tapi ada langkah lain bersamanya. Mungkin Pakdhe atau Mas Iqbal.

“Assalamu’alaikum. Lintaaaang…” suara Budhe Anwar senyaring biasanya.

“Walaikumsalaaam.” Lintang membuka pintu. Matanya terbelalak. “Lucas?”

“Naaah… Nak Lucas. Ini Lintang.” Budhe Anwar melangkah ke samping agar Lucas bisa langsung berhadapan dengan Lintang.

“Kamu…?”

“Ya, Lintang. Suratmu udah aku terima. Aku berusaha menghubungimu …”

“Ah. Ayo masuk…” Lintang membuka pintu lebih lebar, “maaf ya, tempatnya….”

“Apa kabar?” Lucas tidak memperhatikan ruangan kecil yang hanya terisi sebuah lincak bambu, sebuah kursi goyang dan meja kecil itu. Ia duduk di salah satu ujung lincak, di dekat jendela. Lintang masih berdiri di ambang pintu. Kebingungan.

“Sebaiknya saya permisi saja. Silakan, Nak Lucas.” Budhe Anwar tersenyum ramah pada tamu keponakannya, “saya suruh Yu Kar membuatkan minuman, ya.” Sebelum berbalik perempuan langsing berkerudung itu mengangguk pada Lucas.

“Kamu kelihatan kurus. Kamu baik-baik saja?” Suara Lucas bergetar. Lintang duduk pelan-pelan di ujung lain lincak. Mereka hanya berjarak satu meter. Mereka membisu. Samar-samar terdengar suara perempuan berdendang dari kamar.

“Lintang?”

“Ya. Aku baik-baik saja. Semua baik-baik saja. Ibu sehat. Tapi….” Lintang menahan tangis. Suara ibunya mengeras, menyanyikan lagu anak-anak.

“Aku tahu, Lintang.” Beberapa detik kemudian Lucas merengkuh Lintang ke dalam dekapannya. Lintang menangis sejadi-jadinya.

“Aku tidak tahu dimana jasad bapak dan kangmasku, Luc.” Lintang bercerita setelah tangisnya reda. “Dokter tidak bisa memastikan kapan Ibu akan pulih. Aku tidak akan meninggalkan Ibu sendirian. Aku akan merawatnya.”

“Beri aku kesempatan untuk membantumu.”

“Cukup aku saja yang berkorban, Luc. Kita harus realistis. Kamu punya hidup sendiri. Di depanmu. Masih panjang.”

“Aku ingin mengisi hidupku sama kamu.”

“Sekarang kamu bisa bicara begitu, karena sedang jatuh cinta,” pahit suara Lintang, “tapi nanti? Bagaimana kalau di tengah jalan kamu tidak kuat menahan beban tambahan ini?”

“Beban tambahan? Beliau ibumu, Lintang. Kita bisa menghadapi bersama.”

“Lagi pula saat ini aku tidak siap menyampaikan perbedaan kita pada keluargaku,” Lintang menunduk. “Mungkin Budhe Anwar bisa menebak dari namamu,” bisik Lintang. “Keluargamu bagaimana?”

Lucas tercenung. Sayup-sayup terdengar adzan maghrib dari masjid di sudut jalan. Lintang menghela nafas panjang. “Aku juga harus cari pekerjaan di sini. Belum tahu mau apa. Aku udah bergabung dengan para pemilik tanah lereng Merapi. Kami sering berkumpul. Ada LSM yang mbantu ngurus ini-itu. Mungkin aku mau jadi petani saja.” Lintang tertawa kecil. Ibunya dulu bertanam empon-empon, ia akan belajar pada para petani tetangganya. Ia yakin ladang milik keluarganya suatu saat pasti bisa digarap lagi.

“Justru itu, Lintang. Aku janji….”

“Jangan, Luc. Jangan berjanji,” Lintang memotong. “Aku harus bisa mandiri untuk membiayai perawatan Ibu.” Lintang menggenggam tangan Lucas. “Lihat aku, Luc. Lihat aku,” pinta Lintang demi dilihatnya Lucas membuang pandang. “Kalau kamu cinta aku, bener-bener cinta aku, untuk saat ini jadilah sahabatku. Beri aku waktu. Ikhlaskan aku mengurus ibuku.” Air mata Lintang kembali menggenang. “Saat ini waktu dan tenagaku hanya untuk ibuku. Aku tak punya waktu memikirkan diriku sendiri, apalagi mikir kamu....”

Lucas menelan ludah. Semua yang diucapkan Lintang benar adanya. Jarak dan waktu akan membuktikan kesungguhan hatinya. Yang terbaik bagi mereka saatnya belum tiba.

Sehabis makan malam, Lucas pamitan. Ia menginap di rumah teman. Diantar Lintang hingga ke pinggir jalan, Lucas menunggu taksi yang dipanggil lewat telpon.

“Bulan depan aku nengok lagi. Boleh kan?”

"Ya," Lintang mengangguk-angguk.

Lucas melingkarkan lengan ke pundak Lintang. “Janji ya, akun FB-mu diaktifkan lagi. Ya? Emailmu dicek ya? Nomer barumu aku kasih ke teman-teman. Ya? Kalau perlu bantuan, kamu tahu harus menghubungi siapa.”

Lintang kembali mengangguk-angguk. Sorot lampu mobil menerangi Lucas dan Lintang yang tengah berpelukan. Taksi sudah datang.

***

Jumat, 16 Desember 2011

Malaikat Penjaga

Kalian di rumah punya pembantu? Aku punya. Sepanjang hidupku yang bisa kuingat, di rumahku selalu ada pembantu. Bahkan waktu aku kecil, kami punya lebih dari satu.
'Mbok Mangun' oleh Azam Raharjo

Ada yang tugasnya khusus memasak dan mencuci, namanya Mbok Mangun. Kok Mbok, sih? Ya, karena di mataku, saat itu, ia tua sekali. Setiap hari ia pakai kain dan kebaya. Badannya, seingatku, besar dan kokoh. Rambutnya selalu digulung cepol seperti umumnya perempuan desa di Jawa. Oh, ya, dia juga suka nginang. Itu lho, mengunyah daun sirih dicampur injet. Selepas makan siang, setelah pekerjaannya beres, Mbok Mangun akan duduk di amben besar, di dapur, mengunyah sirih sampai keluar cairan merah sewarna darah. Hiii…, ngeri! Terus, cairan merah itu ia ludahkan ke dalam kaleng bekas susu bubuk, “Cuiihhhh…,” lalu dia usapkan segenggam tembakau ke mulut dan giginya. Bibirnya merah menyala seperti drakula. Kalau sudah begitu, Mbok Mangun betah duduk berlama-lama, sampai terdengar adzan ashar dari masjid.

“Luluuuu…! Mimiiii…! Ririii…! Mandiii…!!!” Begitu cara Mbok Mangun memanggil-manggil nama kami kalau kami masih asyik bermain selepas pukul 4 sore. Lulu itu namaku, Riri adikku yang nomer dua dan Mimi adik bungsuku.

Anak semata wayang Mbok Mangun juga tinggal di rumah kami. Namanya Boiman, panggilannya Kebo. Waktu aku kecil, ibuku punya usaha batik, orang-orang menyebutnya juragan batik. Kebo ini salah satu asisten Ibu. Pekerjaannya menyeterika kain-kain batik dan melipatnya dengan rapi sebelum dikirim ke toko-toko di Malioboro. Seterika berisi arang itu besar sekali, melihatnya saja ngeri. Kalau berdiri di dekat seterika itu rasanya seperti berada di depan kompor. Panas sekali. Mungkin itulah sebabnya, Kebo jarang memakai baju. Tubuhnya yang besar – ya, memang seperti kebo – dan kulitnya yang gelap itu hanya ditutupi selembar singlet. Kopiah yang kekecilan selalu nangkring di kepalanya. Ia sering disuruh Ibu menjemputku dan Riri di sekolah dengan sepeda. Kami akan dibonceng berdua. Wah. Bau keringatnya menyengat. Tapi kami tidak berani protes, sebab dia akan menyuruh kami turun lalu pulang berjalan kaki. Tentunya waktu itu Kebo hanya bercanda, meskipun saat itu kami anggap ia sungguh-sungguh dengan ancamannya.
'Kebo' oleh Azam Raharjo

Nah. Yang ketiga bernama Mugirah. Kami memanggilnya Yu Mugir. Pembantu yang satu ini, sungguh, di mata kami cantik sekali. Kulitnya langsat. Alisnya tebal hitam dan senyumnya manis. Tidak seperti Mbok Mangun, suara Yu Mugir lembut.

“Kalau Lulu mandi dulu, Riri dan Mimi pasti juga mau mandi,” begitu caranya membujuk kami untuk mandi sore.

Kalau habis keramas, rambutnya yang panjang dan hitam mengkilat itu ia biarkan terurai. Hmmm…, wangi sekali. Yu Mugir, seperti Mbok Mangun, sehari-hari juga memakai kain dan kebaya. Tapi tubuh Yu Mugir langsing dan kebayanya lebih warna-warni. Mungkin karena ia masih muda. Kata Ibu, Yu Mugir itu kembang desa. Ia semacam baby sitter Mimi.

Waktu aku kecil, Mbok Mangun, Kebo dan Yu Mugir adalah malaikat penjaga yang senantiasa melindungi kami meskipun kehadiran mereka tidak begitu aku sadari. Baru bertahun-tahun kemudian ketika mereka sudah pergi, dan aku beranjak dewasa, aku mengerti betapa berartinya peranan mereka dalam membesarkan aku dan adikku.

Masih teringat hingga kini, bagaimana adikku, Mimi, menjerit-jerit karena sehabis menikah Yu Mugir diboyong oleh suaminya keluar dari rumah kami.
'Yu Mugir' oleh Azam Raharjo

“Aku mau Yu Mugiiir…!!!” Begitu teriakan Mimi. Mukanya sampai jadi biru akibat menangis sepanjang hari.

“Yu Mugir pulang ke rumahnya, Sayang,” bujuk Ibu. Tapi Mimi tetap tak bisa menerima. Akhirnya, Yu Mugir kembali lagi ke rumah kami. Kalau malam, setelah Mimi tidur, suaminya menjemput. Pagi-pagi, sebelum Mimi bangun, Yu Mugir sudah datang lagi.

Yu Mugir baru benar-benar berhenti merawat Mimi tiga bulan sebelum melahirkan anaknya yang pertama. Aku lupa kapan tepatnya, Mbok Mangun juga harus pulang ke desa karena tak kuat lagi bekerja. Sesekali ia masih menengok kami. Akan halnya Kebo, ia keluar juga karena Ibu memutuskan berhenti jadi juragan batik. Kebo lalu jadi petani.

Sungguh sulit melupakan cinta mereka pada keluarga kami dan rasanya jasa mereka tak akan terbalaskan. Mbok Mangun meninggal saat aku sudah duduk di bangku kuliah. Yu Mugir masih hidup hingga kini, namun suaminya meninggal lima tahun lalu karena sakit paru-paru. Anak sulungnya menjadi pegawai bank swasta ternama di Surabaya. Bila Lebaran mereka tak pernah lupa berkunjung ke rumah Ibu, dengan mobil mengkilap, tak beda dengan mobil-mobil kami.

Sedangkan Kebo sudah bergelar haji dan kini dipanggil kyai. Kata Mimi, ia datang melayat dan membantu ini-itu ketika Bapak meninggal tujuh tahun lalu. Ia pun menengok Ibu saat rumah keluarga kami sebagian ambruk akibat gempa. Namun aku tidak sempat bertemu.

Siang tadi, kami merayakan ulang tahun Ibu. Kami tengah asyik menikmati kue ketika kudengar ketukan di pintu.

“Mbak Lulu ya?” Sapanya sewaktu pintu terbuka.

“Iya. Bapak siapa?”

“Kebo, Mbak. Boiman,” senyumnya lebar, memamerkan giginya yang ompong dua.

“Haaa? Kebo? Ya ampuuun…!” seruku beberapa detik kemudian. Tanpa sungkan, tubuhnya kupeluk dengan sayang. Ia sudah tua. Keringatnya tidak lagi bau. Yang pasti, tubuhnya tidak tampak sebesar dan sekokoh ingatanku. Ia datang untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada Ibu.

“Waaah… kelapa muda!” teriakku menerima seikat kelapa muda dari tangannya.

“Ini kelapa kopyor, Mbak. Kesukaan Ibu…”

“Waaah…!!!” tanpa sadar aku bersorak seperti puluhan tahun lalu.

Mata Kebo berbinar. Beberapa butir kelapa kopyor di tangan kananku merayu-rayu minta segera dibelah sementara tangan kiriku menggandeng lengan Kebo; menuntunnya menemui Ibu.

Semenit kemudian, ruang keluarga pecah oleh hingar bingar sorak dua adikku.

***

Appetiser untuk suguhan Pesta J50K

Jumat, 09 Desember 2011

Semanis Carrot Cake

Sumber ilustrasi
Kaki-kaki Wulan dengan lincah menapaki eskalator agar lebih cepat sampai ke atas. Dari bawah cuaca pagi itu tampak cerah. Beberapa meter lagi Wulan akan sampai di mulut gerbang Stasiun Metro Dupont Circle. 

“Huffff…! Dingin juga.” Bisik Wulan pada diri sendiri begitu sampai di luar stasiun. Sambil merapatkan scarf ke lehernya, Wulan melirik arloji di pergelangan tangannya. Wulan tahu kalau ia telah terlambat 5 menit. Perempuan 40 tahun itu melangkah lebar-lebar ke arah kanan. Kaki-kakinya seolah tahu kemana pemiliknya hendak menuju.

Setelah menyeberang dan beberapa meter berjalan ke arah kanan dari persimpangan, sampailah Wulan ke toko buku itu. Kramerbooks. Salah satu toko buku favoritnya yang terletak di Connecticut Avenue.

“Saya akan menunggu di coffee shop di Kramerbooks. Meja sudut kiri dekat jendela menghadap Q Street,” begitu pesan yang diterima Wulan lewat email dua hari lalu.

Di ambang pintu Wulan menengok ke kiri, ke arah coffee shop. Di salah satu sudutnya di dekat jendela dilihatnya lelaki itu sedang duduk sambil membaca. Rambut peraknya tampak indah terkena bias-bias sinar matahari musim gugur yang terpantul dari kaca jendela.

Tiba-tiba saja Wulan teringat pada pertemuan dan perbincangan pertama mereka.
“Wulan. Satu kata. Saya kira tadinya dua kata. Terdengar seperti nama perempuan China. Empat puluh tahun. Menikah dengan dua anak. Aaaahhh….” Dan laki-laki itu, mentor Wulan, mengembangkan senyum lewat matanya, bukan bibirnya. Indah. Terasa lunak. Bersahabat. Wulan suka.

“Ya, banyak teman-teman saya di sini mengira itu nama China.” Jawab Wulan dengan sopan. “Wulan itu nama Jawa. Bulan. Moon,” jelasnya.
“Ahhh… moon?” serunya pelan, “Empat puluh tahun? Apakah tidak salah?” Mata si mentor masih tersenyum.
I’ll take that as a compliment,” jawab Wulan waktu itu. Bercanda.

Dan mereka segera akrab. Tidak butuh waktu.

Andrew Reynolds, demikian nama mentor Wulan itu. Duda dengan dua anak perempuan. Dalam usianya yang 61 tahun itu, Andy, demikian orang-orang menyapanya, termasuk para mahasiswanya, masih tampak keren. Selain tubuhnya tegap, gagah dan sehat, wajahnya mengingatkan Wulan pada Richard Gere. Bila sang bintang itu memotong cepak rambut peraknya dan memakai kaca mata, Andy jadi tampak seperti kembarannya.

Entah karena tampangnya itu atau karena hanya kesepian saja akibat jauh dari suami dan dua anaknya, Wulan merasa hangat saat pertama Andy ada di dekatnya. Padahal waktu itu mereka bertemu untuk berbincang tentang rencana kegiatan dan kuliah Wulan. Bukan untuk kencan.

Sebelumnya Wulan selalu berusaha keras untuk membentengi hatinya dari terobosan cinta selain yang berasal dari suaminya. Namun kali itu, ketika melihat Andy dengan mata teduhnya yang tersenyum hangat padanya, Wulan seperti tak ingin menutup gerbang bentengnya. Wulan justru membiarkannya sedikit terbuka. Sambil mengintip dan berharap.

Dan begitulah awalnya. Mereka pertama bertemu pada bulan Agustus, saat musim panas sedang terik-teriknya menyengat kota Washington DC. Sebulan berikutnya, Wulan mulai merasa kangen bila dua hari tidak berpapasan di kampus dengan Andy yang matanya senantiasa tersenyum padanya.

Tak butuh waktu lama, ketika Oktober tiba, bersama guguran dedaunan Andy muncul di lobby apartemen Wulan sambil membawa setangkai bunga. Untuk persahabatan katanya. Dan sejak itu, mereka membuka alamat email baru khusus untuk saling bertukar pesan-pesan mesra. Wulan dan Andy jatuh cinta.


“May I help you, Ma’am?” seorang lelaki muda bercelemek coklat muda dengan logo K besar di bagian dada mengagetkan Wulan dari lamunannya.
“Ah…. Saya harus menemui laki-laki itu,” Wulan terperangah dan menunjuk Andy yang masih asyik dengan bukunya. Perempuan bertubuh mungil itu melangkah melalui beberapa meja dan kursi diiringi pelayan yang tadi menyapanya. Scarf batik sutera menari-nari di pundak kanannya.

Ketika tinggal berjarak satu meja, Andy mendongak dan memandangnya. Ah. Matanya itu tersenyum dengan hangat. Rambut peraknya berkilauan mempesona.
“Maaf, terlambat,” Wulan malu, tersipu.
Lelaki itu membantu Wulan melepas jaket dan manyampirkannya ke sandaran kursi.

Mint tea? And carrot cake?” Wajah Andy yang bersih dengan kerutan di sana-sini tampak sedikit gundah.

Wulan mengangguk. Setelah memberi isyarat pada pelayan, tangan Andy yang kokoh dan buku-buku jarinya menonjol itu menggenggam dua tangan mungil Wulan yang tergolek tak berdaya di atas meja.

I don’t want to beat around the bush, Andy.” Nada bicara Wulan tegas namun suaranya bergetar. “Kita tidak boleh meneruskan hubungan ini. Saya bersuami.” Hanya itu yang keluar dari mulut Wulan karena ia merasa tak ada lagi yang perlu dikatakan. Semua sudah jelas. Andy juga sudah tahu, bahkan sebelum bertemu, ketika ia membaca CV Wulan, salah satu mahasiswa yang dibimbingnya.

“Saya mengerti, Wulan.” Andy mempererat genggaman tangannya. Mata teduhnya menatap lurus mata coklat Wulan.

Walau usianya telah memasuki masa senja, Andy masih merindukan manisnya cinta. Dan kedatangan Wulan dalam hidupnya yang tiba-tiba telah membuat hatinya merasa muda. Wulan bagaikan hujan yang menyegarkan tandusnya hati Andy yang telah tiga tahun menduda. Tubuhnya, walau mulai menua, masih mendambakan usapan cinta. Perbedaan usia dan budaya telah membuat hubungannya dengan Wulan, yang harus berakhir saat baru berawal, menjadi romantis dan eksotis. Bagai iklim katulistiwa yang menyimpan jutaan pesona di mata seorang Amerika. Namun Andy bisa mengerti. Bila pun tanpa kata-kata, Andy telah tahu apa yang dimaksud Wulan ketika perempuan Jawa itu ingin mengajaknya bicara tentang hubungan mereka.

“Saya mengerti, Wulan.” Andy mengulang kata-katanya. “Teh kita hampir dingin.” Andy melepaskan genggaman tangannya.

Pelan-pelan mereka menyeruput teh dari cangkir putih bulat yang bibirnya berlapis stainless steel itu. Dalam hening, Wulan dan Andy menikmati manisnya carrot cake, sementara sekelilingnya orang-orang berceloteh dengan ceria.

Dua keping jiwa dari belahan dunia berbeda yang tersesat dalam rimba cinta itu berusaha keras saling menguatkan lewat sorot mata. Mereka bertatapan lama.

***

Senin, 05 Desember 2011

Fantasi Seksual Perempuan

"The Dinner Party" karya Judy Chicago
Benarkah perempuan umumnya tidak memiliki fantasi seksual sebagaimana lelaki? Bagaimana saya tahu kalau saya belum pernah melakukan penelitian mengenai hal ini? Tulisan ringan ini bukanlah jawaban pasti, hanya sekedar menyajikan hasil dari kegiatan saya ngintip sana-sini.

Pertama, saya mengintip Wikipedia. Katanya fantasi seksual, atau fantasi erotis, adalah fantasi atau rangkaian pikiran yang dapat menimbulkan atau meningkatkan perasaan seksual; atau segala bentuk bayangan yang dapat merangsang seseorang secara seksual dan erotis. Masih kata Wikipedia nih, ya, fantasi seksual pada laki-laki lebih fokus pada bayangan atau gambaran visual dan detil-detil anatomi yang eksplisit sedangkan perempuan cenderung fokus pada hal-hal yang melibatkan perasaan dan kasih sayang.

Nah! Jadi, sampai di sini sudah saya ketahui bahwa perempuan juga suka atau bisa berfantasi. Untuk sampai pada jawaban yang lebih memuaskan saya mencoba mengintip karya-karya para seniman, khususnya lukisan, laki-laki dan perempuan. Mengapa lukisan? Menurut saya, lukisan adalah salah satu representasi yang kuat dari imajinasi, perasaan, pikiran dan gagasan para pelukisnya. Mudah sekali mencari hasil karya pelukis laki-laki yang sesuai dengan kebutuhan ini, tapi tak begitu halnya dengan pelukis perempuan, apalagi pelukis perempuan Indonesia.

"My Birth" karya Frida Kahlo
Untungnya saya salah satu pengagum Frida Kahlo dan Judy Chicago, dua dari sedikit pelukis perempuan yang karya-karyanya menggebrak begitu kuat di dunia seni lukis yang (juga) didominasi oleh lelaki itu. Kebetulan saya punya salah satu buku tentang Judy Chicago yang berisi foto-foto hasil karyanya – lukisan dan porselin - serta aneka cerita di baliknya.

Ternyata benar dugaan saya. Para pelukis laki-laki secara eksplisit memaparkan fantasi seksual mereka, mulai dari yang lembut hingga yang membuat merinding bulu roma – saking indahnya, liarnya, anehnya sekaligus beraninya. Tengoklah dan bandingkan fantasi lembut Sir Frank Dicksee yang diilhami oleh kisah abadi Romeo dan Juliet dan fantasi liar Katsushika Hokusai yang menghiasi halaman Wikipedia yang berisi referensi tentang fantasi seksual itu.

Sedangkan karya-karya Judy Chicago dan Frida Kahlo lebih banyak menyajikan perasaan mereka tentang diri mereka, penderitaan batin dan kegelisahan seksual mereka. Bila mengamati karya-karya Frida, naluri keperempuanan saya ikut menjerit merasakan penderitaan sang artis atas kecelakaan yang meremukkan pinggul dan rahimnya. Karena itu Frida, yang kisah hidupnya difilmkan dengan bintang Salma Hayek, tak bisa punya keturunan. Sementara karya-karya Judy Chicago dalam lukisan maupun porselin dengan beraninya menjelajahi kedahsyatan sekaligus misteri vagina dan klitorisnya. Alat kelamin perempuan itu rupanya bila diperlakukan dengan ‘baik dan benar’ (yang bagaimana lagi ini…), bisa menghasilkan kenikmatan seksual yang luar biasa yang jarang disadari oleh pemiliknya atau para lelaki pada umumnya.

Mr. Neeson
Dari berbagai sumber yang saya baca, baik dari buku maupun internet, pada umumnya diakui bahwa perempuan cenderung meredam, menyembunyikan atau mengingkari fantasi seksual mereka. Salah satu sebabnya mudah diduga, konstruksi sosial yang memposisikan (baca: menuntut) perempuan sebagai pribadi yang (harus) lebih alim dan lebih santun serta lebih mampu menjaga norma-norma daripada pasangannya, sang lelaki.

Situasi yang secara luas kemudian dianggap sebagai fakta tersebut sebenarnya bukanlah keadaan yang sesungguhnya, hanya kenyataan semu belaka. Sebab diakui atau tidak, disembunyikan atau diumbar, perempuan juga punya fantasi seksual. Dalam tulisan ini dijabarkan minimal ada 10 macam fantasi seksual yang jadi favorit para perempuan. Benarkah hanya 10 saja? Sudah saya tulisakan ‘minimal’ bukan?

Di tulisan ini juga saya pajang gambar Liam Neeson, yang di mata saya merupakan salah satu lelaki paling sexy di dunia. Apakah saya suka berfantasi tentang bintang asal Irlandia yang berusia 58 tahun itu? Suami saya, untungnya, tidak pernah bertanya.

***

Sabtu, 03 Desember 2011

Dark Tourism

Sumber Foto
Meskipun orang senantiasa berharap terjauh dari segala penderitaan dan marabahaya, rupanya banyak yang suka kalau hanya sekedar melihatnya. Kira-kira, sisi gelap dari perjalanan hidup manusia itulah yang mendorong orang menikmati dark tourism.
Wikipedia mendefinisikan dark tourism sebagai wisata yang melibatkan perjalanan yang berkaitan dengan kematian dan penderitaan. Dalam prakteknya, makna kematian dan penderitaan itu meluas hingga ke peristiwa bencana, lokasi-lokasi yang dianggap angker dan berbahaya, benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan super dan magis, bahkan konflik berkepanjangan dan perang.

Ground Zero, NYC, AS - Winter 2002. Foto: Endah Raharjo
Salah satu situs untuk dark tourism yang paling terkenal di dunia adalah bekas kamp konsentrasi Auswitch. Tempat ini kabarnya pada tahun 2009 saja menyedot sekitar 1,3 juta pengunjung dari seluruh penjuru dunia. Untuk mancanegara, selain Auswitch, bekas lokasi Menara Kembar di pusat kota New York, yang dikenal dengan Ground Zero, juga merupakan salah satu yang cukup populer bagi para wisatawan. Tidak hanya itu, ada orang yang tega datang ke Jalur Gaza dalam rangka perjalanan wisata semacam ini.

Ada beragam alasan mengapa orang ingin mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan sejarah atau cerita kelam yang mendirikan bulu roma itu. Salah satunya adalah rasa ingin tahu atau penasaran. Banyak orang ingin melihat dan merasakan sendiri suatu bencana, sebuah tragedi atau bahkan teror yang pernah dialami oleh orang lain di masa lalu.

Parkir mobil wisatawan di lereng Merapi. Foto Endah Raharjo
Beberapa tahun terakhir ini sejak tragedi tsunami yang menghancurkan Aceh yang disusul dengan rangkaian gempa bumi yang mengguncang ibu pertiwi, orang tak segan-segan untuk melihat langsung kematian dan kehancuran yang terjadi. Bukan rahasia bahwa antara awal 2005 hingga kini, ada orang datang ke Aceh sekedar untuk melihat langsung malapetaka tsunami yang merenggut nyawa ratusan ribu warganya itu.

Demikian pula dengan gempa bumi Jogja yang terjadi akhir Mei 2006. Selama sebulan sejak gempa terjadi, lalu lintas menuju Kabupaten Bantul, wilayah yang paling parah, setiap hari macet total saking banyaknya orang yang - selain membantu - ingin membuktikan sendiri kedahsyatan bencana yang merobohkan ribuan bangunan itu. Tak beda dengan peristiwa meletusnya Gunung Merapi. Saat ini, sebagian besar wisatawan yang datang ke Jogja tak akan melewatkan kunjungan ke lereng atas Merapi, khususnya Dusun Kinahrejo, untuk melihat dengan mata-kepala sendiri, betapa mengerikannya akibat muntahan lava dan awan panas salah satu gunung berapi teraktif di dunia itu.

Salah satu obyek dark tourism di Indonesia yang belum berhenti menuai kontroversi adalah tragedi Lumpur Lapindo. Menurut kabar, selain jembatan baru Suramadu, wilayah yang terkubur lumpur itu menjadi salah satu tujuan favorit para wisatawan yang beranjangsana ke Jawa Timur. Memang menyedihkan, tapi itulah kenyataan. Tidak ada yang bisa meramal kapan bencana lingkungan yang menyengsarakan ribuan orang ini akan berakhir.

Kampung yang terkubur lumpur Lapindo. Foto: Wing Raharjo
Sementara obyek dark tourism lainnya yang juga sering ditayangkan di TV, dan pernah dipakai sebagai setting sebuah film, adalah Lawang Sewu yang terletak di Semarang. Bangunan yang telah berusia lebih dari 180 tahun ini memiliki sejarah panjang dari jaman penjajahan Belanda hingga Jepang. Setelah Indonesia merdeka, gedung ini pernah pula dipakai sebgai kantor PT. Kereta Api. Kini gedung kosong yang dianggap angker dan ‘berpenghuni’ itu telah dinobatkan sebagai bangunan kuno dan bersejarah yang dikuatkan dengan Surat Keputusan Pemkot Semarang.

Dalam skala mikro, keris-keris dan aneka senjata yang dianggap bertuah yang konon masih tersimpan di keraton-keraton di Jawa, khususnya Jogja, juga bisa dimasukkan dalam kategori ini. Barang-barang yang sulit ditaksir nilainya itu sesekali dipamerkan juga. Termasuk dalam kategori lokal ini adalah Museum Taman Prasasti di Jakarta, dimana jenazah Soe Hok Gie yang meninggal dalam usia teramat muda itu dibaringkan.

Tak heran bila di lokasi runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara yang menghubungkan Tenggarong dan Tenggarong Seberang itu konon sudah banyak didatangi para pedagang; mereka proaktif menyambut para wisatawan.

***

Jumat, 01 Juli 2011

Ipoh: Mengintip Rumah Para Gundik

Salah satu sayap Stasiun Ipoh
Duduk di jok belakang mobil yang dikendarai pelan-pelan, sepasang mata saya terpaku pada bangunan-bangunan tua yang berjajar di kiri-kanan jalan.

“Endah, are you listening?” tanya team leader saya, yang duduk di samping saya.

Yes, of course…” jawab saya, berbohong. Sebenarnya telinga saya tidak mendengar arahan yang ia berikan untuk wawancara yang harus saya lakukan, karena otak saya dikuasai hasrat mencari waktu luang guna mengambil foto bangunan-bangunan tua yang menarik perhatian saya itu.

Karena padatnya acara, sebelum berangkat ke Ipoh, saya tidak punya waktu untuk mempelajari ibukota negara bagian Perak, Malaysia, ini. Sesampai di sana dan keluar dari stasiun, baru saya tahu kalau kota ini memiliki kawasan Kota Tua yang mempesona. Stasiun kereta api yang bangunannya bergaya arsitektur Neoclassical itu merupakan salah satu landmark-nya. Saya menyesal. Andai saya tahu lebih dulu, pasti saya akan berangkat dengan kereta paling pagi, agar punya waktu lebih banyak untuk menikmatinya, sebelum dan sesudah menunaikan tugas di kota berpenduduk sekitar 700 ribu jiwa itu.

Bagian dalam Stasiun Ipoh
Setelah tugas usai, saya hanya punya waktu 4 jam hingga saatnya kembali lagi ke Kuala Lumpur dengan kereta listrik (ETS – Electric Train Service) terakhir yang meninggalkan stasiun Ipoh pukul 18.30.

Di bulan Juni, cuaca di kota terbesar keempat di Malaysia yang kira-kira sejauh 2 jam perjalanan dengan ETS dari Kuala Lumpur ini panas dan sangat lembab, hingga baju serasa lengket di badan. Untung setiap kali bertugas di lapangan saya gemar memakai tank top di bawah blus. Cara ini cukup efektif; di cuaca lembab yang panas tank top akan menyerap keringat sedangkan bila suhu menjadi dingin, si tank top siap membantu menghangatkan badan.

Dengan lagak fotografer professional – yang cuma menenteng kamera digital poket – selepas makan siang, sekitar pukul 14.30, di bawah terik matahari, sambil menghirup oksigen dari udara yang kelembabannya sangat tinggi, saya berjalan keliling kawasan Kota Tua. Jepret sana. Jepret sini. Sesekali menyeka keringat di wajah dengan tisu. Maksud hati berjalan santai tak terpenuhi karena dikejar waktu.

Concubine Lane
Dalam brosur yang saya comot di Tourist Information Center, yang terletak sekitar 10 menit jalan kaki dari stasiun kereta api, disebutkan di kawasan Kota Tua terdapat 24 bangunan bersejarah yang layak dikunjungi. Bangunan-bangunan itu berlanggam arsitektur hybrid – ini istilah saya - campuran antara Neoclassical, China, Mogul, Melayu dan Gothic. Di brosur disebutkan ada beberapa bangunan bergaya Renaissance Itali. Saya tidak punya cukup waktu untuk benar-benar mengamati. Yang pasti, langgam-langgam arsitektur tersebut diperkenalkan oleh Pemerintah Inggris – dikenal sebagai arsitektur British Colonial - ketika mereka menduduki Malaysia dan membangun gedung-gedung megah di negeri tetangga itu; seperti corak ragam arsitektur Kolonial Belanda yang terlihat di ratusan bangunan tua di berbagai kota besar Indonesia.

Rumah yang masih dihuni - Concubine Lane
Nah. Bicara soal jaman kolonial itu, yang bagi beberapa kalangan cukup sensitif bahkan bisa menyakitkan, supir peranakan India yang mengantar kami sana-sini bercerita tentang beberapa keputusan penguasa Ipoh yang menurutnya aneh. Apa, sih? Mereka mengubah nama-nama jalan, dari nama beraroma ‘penjajah’ menjadi nama-nama lokal. Misalnya Belfield Street, yang merupakan jalan utama di pusat bisnis Ipoh, diganti menjadi Jalan Sultan Yussuf; atau Hugh Low Street diubah menjadi Jalan Sultan Iskandar. Ya. Begitulah. Kadang kita – maksudnya saya – juga ingin melupakan sejarah yang getir… yang dikenang maunya yang manis-manis saja…

Ruang dalam salah satu rumah di Concubine Lane
Di kawasan Kota Tua ini ada jalur jalan selebar kira-kira 3 meter yang dinamai Panglima Lane atau Concubine Lane. Kira-kira seabad lalu, bagian Kota Tua ini dikenal sebagai ‘kawasan merah’ yang dipenuhi rumah bordil, tempat judi dan rumah-rumah candu. Beberapa dekade berikutnya, rumah-rumah yang berderet itu berubah fungsi jadi sangkar para concubines atau gundik atau selir atau perempuan simpanan atau WIL milik para penguasa dan saudagar kaya keturuan China.

Saat saya sampai di sana Concubine Lane tampak sepi, bagai mati. Hampir semua bangunan yang berlantai dua itu masih tampak asli, namun kondisinya sangat mengenaskan. Rumah-rumah yang ditinggali terlihat lebih bersih dan terawat. Beberapa penghuninya yang sempat saya temui berwajah China. Sebagian rumah yang tak dihuni jendelanya dibiarkan terbuka sehingga saya bisa mengambil foto ruang dalamnya.
Jendela lantai atas - Concubine Lane

Di salah satu jendela yang terbuka itu, saya menyempatkan diri berhenti sebentar, membayangkan berbagai hal yang pernah terjadi di dalam ruangan. Terlintas wajah cantik perempuan muda berkulit pualam bertubuh indah terbalut cheongsam merah menyala, duduk di pangkuan lelaki tua gendut yang mengalungkan seuntai permata ke leher jenjangnya.

Lalu saya mendesah, “Andai tembok-tembok bata itu bisa bicara…”

Saat sedang asyik mengintip bekas rumah gundik-gundik para taipan China itu, team leader saya mengingatkan untuk segera beranjak dari sana, karena dia tak mau ketinggalan kereta.



***

Catatan: semua foto adalah dokumentasi pribadi

Senin, 20 Juni 2011

Mengenal T-Shelter

Ingat bencana tsunami di penghujung tahun 2004 dan gempa bumi Jateng-Jogja pada Mei 2006? Aktivitas alam yang berdampak buruk pada manusia itu – sehingga disebut bencana – menghancurkan ratusan ribu rumah penduduk yang bermukim di lokasi kejadian dan sekitarnya.

Ketika terjadi bencana alam sedahsyat itu, bantuan belum tentu bisa sampai ke tujuan tepat waktu, termasuk bantuan untuk rekonstruksi dan rehabilitasi, khususnya rumah. Untuk membantu para korban selamat, banyak kalangan terutama LSM lokal, nasional dan internasional membangun rumah sementara atau temporary/transitional shelter yang biasa disingkat T-shelter, agar mereka bisa lebih terlindungi daripada tinggal di tenda-tenda.

T-shelter ini dimaknai sebagai sebuah konstruksi sederhana yang lebih baik dan aman dari tenda namun belum bisa disebut sebagai rumah. Yang pasti penghuninya bisa lebih ternaungi dan terlindungi dari angin, panas dan hujan. Pembangunan T-shelter harus memenuhi standar minimal yang diatur secara nasional dan internasional dalam pemberian bantuan kemanusiaan, murah, dapat didirikan dengan cepat dan mampu bertahan sekitar 2 tahun hingga penghuninya bisa membangun rumah layak huni.

Salah satu bahan dasar T-shelter yang dianggap mudah dan murah adalah bambu, baik untuk konstruksinya maupun dindingnya (yang disebut gedheg). Namun bila kebutuhannya sangat banyak, bisa jadi suplai bambu yang memenuhi syarat akan terganggu. Saat terjadi gempa Jogja-Jateng 2006, lembaga-lembaga pemberi bantuan membeli bambu dan gedheg hingga ke Jawa Barat karena tingginya permintaan. Harga batang bambu dan gedheg pada saat itu sempat melambung sampai 3 atau 6 kali lipat dari harga biasa. Selain itu kualitasnya kurang baik karena banyak penjual yang asal memotong saja, termasuk batang-batang bambu muda dan gedheg yang dianyam dengan tergesa-gesa. Situasi semacam ini tidak mudah dihindari meskipun sudah diantisipasi.

Untuk menghemat baiaya, lembaga-lembaga lokal yang dananya terbatas membangun T-shelter dengan melibatkan warga dalam proses konstruksinya. Warga yang mendapat bantuan T-shelter wajib berkontribusi dalam bentuk bahan bangunan bekas yang masih layak pakai dan tenaga kerja (pengerjaannya secara gotong royong untuk menghemat biaya tukang). Oleh karena itu, tak jarang konstruksinya dilaksanakan sore hari atau Sabtu dan Minggu agar para buruh harian bisa ikut gotong royong tanpa kehilangan penghasilan.

Berikut ini langkah-langkah yang diterapkan oleh salah satu lembaga lokal yang berhasil membangun lebih dari 1.000 unit T-shelter di beberapa lokasi di Kabupaten Bantul dalam jangka waktu sekitar 5 bulan:
  1. Permintaan dari kelompok warga diajukan ke lembaga.
  2. Lembaga mengirimkan tim ke lokasi untuk melakukan rapid assessment.
  3. Berdasarkan hasil rapid assessment Lembaga membentuk tim fasilitator untuk mengadakan pertemuan warga yang dihadiri oleh sebanyak mungkin wakil warga. Tujuan pertemuan adalah menyusun kriteria keluarga yang layak menerima bantuan diikuti dengan bersama-sama memilih keluarga. Pertemuan ini wajib dilakukan karena jumlah bantuan tidak mencukupi untuk diberikan pada semua korban. Salah satu kriterianya adalah mendahulukan janda tanpa keluarga, orang lanjut usia, dan keluarga dengan balita atau cacat badan.
  4. Segera setelah para penerima bantuan terpilih, pertemuan warga diadakan kembali dengan mendatangkan para calon penerima bantuan. Pertemuan lanjutan ini tujuannya memilih warga lokal (bisa penerima bantuan atau bukan penerima bantuan) sebagai team leader yang diikuti dengan penyusunan rencana pelaksanaan. Dalam pertemuan ini tim fasilitator berdiskusi tentang kebutuhan gotong royong, penyusunan jadwal atau giliran kerja dan pemilihan material bekas yang masih layak pakai.
  5. Setelah semua siap, konstruksi dilaksanakan dengan pengawasan dari tim fasilitator yang sekaligus memberikan bantuan teknik.
  6. Lembaga tidak menggunakan prototip. Keluwesan rancangan membuat para penerima bantuan dapat mengekspresikan karakter yang berbeda-beda dan merasa bebas menggunakan material bekas milik mereka sendiri. Lembaga tentu saja tetap menetapkan syarat-syarat dasar yang tidak bisa ditawar demi keamanan dan keselamatan penghuni. Di antara syarat-syarat itu adalah T-shelter terletak sedekat mungkin dengan rumah awal yang ambruk, ukuran minimal 24 m2 sehingga cukup untuk membuat 3 sekat ruang, konstruksinya mengacu pada standar minimal konstruksi bambu yang lebih aman gempa dan ada cukup pembukaan untuk pencahayaan dan penghawaan.

Kata kunci dari proses konstruksi semacam ini adalah peran serta warga dan bantuan teknis dari orang yang ahli/paham. Dengan cara ini warga didorong untuk menggali sumberdaya yang mereka miliki dan meningkatkan modal sosial. Hasilnya, selain pekerjaan berjalan lebih cepat, para penerima bantuan merasa bangga, bermartabat serta punya rasa kepemilikan yang lebih tinggi karena terlibat langsung dalam pembangunan T-shelter yang mereka tempati. ***


Peringatan:
Semua foto dalam tulisan ini merupakan copy right dari Yayasan Griya Mandiri, Yogyakarta dan para donor yang menjadi mitranya.

***

Senin, 06 Juni 2011

Mereka Pilih Menjanda

Ilustrasi oleh Azam Raharjo

Menjadi janda, di Indonesia, saat usia masih relatif muda katanya ibarat memakai sepatu sebelah saja. Aneh. Tidak nyaman. Serasa pincang. Diperhatikan orang. Sudah pasti, perempuan yang belum mengalaminya akan sangat sulit membayangkan bagaimana rasanya.

Ada empat janda yang menjadi teman saya, sebut saja Lili, Lala, Lolo dan Lulu. Mereka masih tampak muda, dari penampilan dan semangat hidupnya. Tulisan ini adalah sekelumit cerita mereka.

Lili belum lama merayakan ulang tahunnya yang ke 38 ketika suaminya tiba-tiba meninggal dunia. Hidupnya yang indah dan nyaris sempurna itu tiba-tiba berubah menjadi malapetaka. Dua anaknya masih sangat belia. Sejak menikah, Lili meninggalkan pekerjaannya karena suaminya tidak menginginkan ia bekerja. Kematian suaminya yang mendadak itu berarti pula terhentinya sumber penghasilan keluarga.

Dengan semangat menyambung hidup dan membesarkan kedua buah hati warisan tak ternilai dari suaminya, Lili rela bekerja mengelola sebuah rumah makan kecil milik temannya. Tentu saja uang bulanannya tidak dapat mencukupi bahkan untuk kebutuhan dasar. Satu persatu harta yang ada dilepaskan. Walau berat dan menyakitkan dengan cepat Lili mampu menyesuaikan diri terhadap himpitan situasi. Namun Tuhan senantiaa beserta mereka dan karena kegigihannya, Lili mampu bertahan hingga kini, kira-kia 13 tahun setelah suaminya meninggal.

Dalam usianya yang menginjak 51 di tahun 2011 ini, Lili masih tampak segar. Tubuhnya semampai. Wajah mungilnya senantiasa berhias senyuman. Tak heran bila ada beberapa lelaki yang tertarik untuk mengisi hatinya yang kosong sejak lama.

Suami Lili dulu, menurut saya, adalah lelaki sempurna. Perawakannya tinggi dan atletis karena semua jenis olah raga ia kuasai. Sikapnya juga santun, rendah hati dan penuh perhatian pada tetangga. Siapa saja yang membutuhkan pertolongan pasti ia bantu tanpa pandang bulu.

“Sulit bagiku mencari pengganti suamiku. Berkali-kali aku berusaha menerima lelaki yang mencoba mendekatiku. Tapi ternyata tidak mudah. Selalu saja aku membanding-bandingkan mereka dengan suamiku dulu. Dan aku juga tidak mau memaksakan diri.” Begitu cerita Lili.

Wajar saja bila Lili kesulitan mencari pengganti suaminya itu karena lelaki dengan karakter dan penampilan fisik yang mampu ‘menandingi’ almarhum suaminya, kemungkinan besar sudah berkeluarga. Baginya menjalani hidup dengan lelaki yang tidak mengena di jiwa dan hasratnya, sama saja dengan mempertaruhkan kebahagiannya. Itulah salah satu sebab utama hingga kini Lili memilih menjalani hidupnya dalam indahnya kenangan bersama almarhum suaminya.

Lain lagi cerita Lala. Perempuan cerdas dan mandiri ini harus berpisah dari suaminya karena lelaki yang telah memberinya tiga dara itu berselingkuh dan hampir saja membunuh Lala ketika perbuatannya terungkap. Sejak awal pernikahannya, Lala lebih sukses secara professional dan finansial. Namun situasi itu mestinya tidak bisa dijadikan alasan, karena seharusnya suami Lala bersyukur memiliki istri yang bisa mencukupi kebutuhan keluarga.

Salah satu hal yang saya kagumi dari Lala adalah konsistensinya terhadap prinsip-prinsip hidupnya. Walaupun tidak sedikit tetangga yang menggunjingkannya ketika konflik rumah tangganya terbuka, ia tidak mengubah pendiriannya. Ketika suaminya memukulinya sedemikian hebatnya hingga Lala harus dirawat di rumah sakit selama seminggu, ia memutuskan untuk berpisah darinya.

Kini Lala hidup tenteram dan bahagia bersama tiga anak gadisnya yang sudah dewasa. Lala beberapa kali pernah dilamar namun ia memilih sekedar berteman. Dalam kesendirian Lala menemukan kebebasan dan Lala tidak ingin terpenjara kembali atas nama cinta yang dulu pernah menyengsarakan. Terlebih karena ketiga anaknya semua perempuan. Tak bisa disalahkan bila kini Lala memilih sendiri karena pengalaman telah mengajarkan padanya untuk tidak percaya pada lelaki.

Yang satu ini, Lulu yang jelita dan bertubuh aduhai, memang luar biasa. Perceraiannya dengan suaminya dulu tak jelas karena apa. Ia sengaja memilih tetap menjanda karena ingin ‘menyimpan lelaki’ sebanyak-banyaknya. Sungguh, prinsipnya itu ia pegang teguh tak peduli apa yang didengar dari tetangga, teman dan keluarganya. Lulu pernah berpacaran dengan lebih dari selusin pria. Ada yang masih mahasiswa, perjaka tua, duda dan tentu saja lelaki berkeluarga. Kini ia hidup mewah dan memiliki sebuah rumah megah karena menjadi simpanan lelaki kaya yang memberinya apa saja yang Lulu suka. Sebuah butik pun ia buka sebagai kedok untuk sumber hartanya.

Cerita Lolo beda lagi. Kebalikan dengan Lala, Lolo dikaruniai tiga arjuna dari perkawainannya yang bahagia. Namun semua itu harus berakhir ketika kanker menggerogoti tubuh suaminya dan akhirnya merenggut nyawanya.
Lolo tentu saja berduka. Tidak seperti Lili, Lolo punya pekerjaan yang mapan di sebuah perusahaan besar. Kabarnya, ketika suaminya masih ada, Lolo pula yang menjadi tulang punggung keluarga.

Sama juga dengan Lili dan Lala, penampilan Lolo tetap terjaga dan prima walaupun usianya sudah berkepala lima. Bahkan di mata saya, Lolo tampak sexy. Mungkin karena kedewasaan pikiran dan kemandirian batinnya yang terpancar halus dari sorot matanya yang lembut.

Pergaulannya yang luas membuat Lolo tidak sepi dari lelaki. Namun ia juga memilih sendiri. Katanya suatu ketika, ia hanya mau dinikahi oleh duda pensiunan jenderal atau yang setara, yang anak-anaknya sudah mentas semua. Mengapa?

“Ah, legan golek momongan.” Begitu kilahnya dalam bahasa Jawa. Maksudnya, kini dirinya tidak lagi butuh apa-apa karena sudah punya semuanya. Ketiga anaknya sudah mandiri dan Lolo menikmati hidupnya yang kini bagai jomblo lagi. Ia tidak ingin mengurus lelaki yang bukan ayah anak-anaknya yang nantinya hanya akan merepotkannya saja.

Tulisan ini hanya sekelumit cerita dari empat perempuan yang memilih menjalani hidupnya sebagai janda. Semoga saja bisa membuat kita sedikit lebih mengenal siapa mereka dan tidak menilai secara sepihak atas pilihan mereka.



***

Senin, 30 Mei 2011

Dicari: Celana Jeans yang 'Ibu-ibu Friendly'

 Tubuh ibu-ibu rata-rata seperti ini, ada tonjolan sana-sini
Ketika saya masih muda dulu, karena saking kerempengnya, celana jeans ukuran 26 harus dikecilkan di bagian pinggang, agar bisa ngepas badan dan bila diberi ikat pinggang tidak harus diketatkan. Hingga usia awal empat-puluhan pun, celana jeans ukuran 27 – 28 masih bisa membungkus bagian bawah badan dengan sempurna.

Tapi masa-masa membeli jeans dengan mudah itu kini berakhir sudah. Setelah usia hampir setengah abad, setiap kali membeli selembar jeans, saya pasti butuh waktu seharian keluar masuk toko karena tidak ada yang benar-benar nyaman. Kalau pinggulnya pas, bagian paha kekecilan. Kalau pahanya masuk, pinggangnya kedodoran. Bahkan ada teman yang frustrasi sehingga harus rela memakai jeans yang mestinya untuk laki-laki yang kemudian harus dipermak sana-sini.

Walaupun, orang bilang, saya tidak gemuk-gemuk amat, ketika membeli jeans itulah baru sadar kalau di sana-sini ternyata ada yang sudah melar, terutama di wilayah P3 alias perut, pinggul dan paha.

Saya jadi bertanya-tanya, belakangan ini, apa ada ibu-ibu setengah baya yang tidak merasa malu ketika mencoba sepasang jeans baru di fitting room? Perancang model pensil, yang kecil-mungil-lucu ngepas kaki itu sungguh kurang ‘sensi’ pada ibu-ibu. Pikir saya, apakah memang produk yang satu itu sebenarnya terlarang untuk para ibu?

Apalagi model ‘hipster’ itu, yang hingga kini masih digemari, yang juga dikenal dengan sebutan ‘hip-hugger’ atau ‘low-cut’ atau ‘low-rise’ yang kadang-kadang betul-betul ‘dangerously-low’. Tentu saja ibu-ibu bisa tetap memakainya dipadukan dengan t-shirt atau blus yang agak panjang, namun kenyataannya si pemakai merasa takut kalau-kalau celana jeans melorot sewaktu-waktu. Bila diberi ikat pinggang pun masih tetap terasa kurang nyaman, apalagi bila dipakai duduk, timbunan lemak di pinggul pengin ikut bergaya, merengek-rengek mau muncul…

Di Amerika Serikat, yang penduduknya luar biasa heterogen, dari orang Asia yang imut-imut hingga keturunan Afrika yang berpantat besar bundar, celana jeans, yang ada di lemari hampir setiap orang ini diproduksi dalam berbagai ukuran dan rancangan.

Ada yang khusus untuk orang yang tinggi semampai semisal model yang biasanya dipajang di konter ‘tall girl’, ada yang disediakan untuk pemilik badan super -duper-extra large dan banyak pula untuk si postur kecil-mungil yang dibuatkan konter khusus ‘petite’.
Di dalam konter-konter khusus itu, biasanya model jeans yang lebih standard atau reguler tetap dipajang walaupun model lain yang lebih trendy dan up-to-date juga ditawarkan. Dengan begitu, siapa saja bisa memperoleh model jeans yang lebih pas dan lebih nyaman. Sementara bagi kawula muda, atau ibu-ibu yang tetap memiliki bentuk tubuh ideal hingga usia tua, tentunya dengan mudah bisa memilih produk paling up-to-date.

Memang beberapa produsen pakaian siap-pakai telah mulai menyediakan konter khusus extra-large. Di Jogja - dan mungkin di kota-kota lainnya – sudah ada toko busana yang menyediakan konter khusus extra-large. Langkah ini sungguh menolong para ibu yang badannya tak lagi selangsing ketika masih usia dua-puluhan.

Semoga saja ada produsen jeans yang mau melakukan riset ukuran tubuh ibu-ibu dan kemudian meluncurkan rancangan jeans yang lebih ‘ibu-ibu-friendly’. Supaya saya tidak perlu lagi merasa malu memandangi diri saya di fitting room ketika membeli selembar jeans baru.

***

Rabu, 25 Mei 2011

Pasar Klong Suan

Gerbang masuk
Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, saat pertama kali bertugas ke Thailand, saya ditawari oleh teman untuk mengunjungi pasar Klong Suan yang dikenal sebagai 100 year-old Market. Karena banyaknya tugas, waktu itu saya tidak sempat mampir ke pasar yang konon dibangun pada masa kejayaan Raja Chulalongkorn Agung yang dikenal sebagai King Rama V.

Karena seringnya bertugas ke Thailand, saya jadi cenderung menunda kunjungan ke Pasar Klong Suan. Pikir saya, nanti saja, pasti ada kesempatan berikutnya. Belum lama ini, saya kembali bertugas ke sana dan kali ini saya luangkan waktu untuk mampir sambil belanja. Saya sempat bercanda pada teman saya bahwa pasar Klong Suan sekarang tentunya sudah berusia lebih dari 110 tahun.

Suasana pasar yang penuh warna
Pasar ini dibangun di tepi kanal Prawet Burirom. Pada masa itu perdagangan masih mengandalkan transportasi air dan kanal Prawet Burirom merupakan salah satu jalur utama yang menghubungkan Bangkok dengan wilayah di bagian timur. Menurut berbagai sumber, pada masa kejayaannya, Pasar Klong Suan pernah menjadi salah satu pusat perdagangan candu.

Pasar ini terletak di perbatasan Propinsi Samut Prakan dengan Propinsi Chachoengsao, kira-kira 40 menit dengan mobil dari Bangkok, tidak begitu jauh dari bandara Suvarnabhumi. Setiap supir taksi atau biro wisata tahu lokasi pasar ini, sehingga mudah dicari.
Penjual ikan menjemur dagangan

Hingga sekarang pasar ini merupakan salah satu pasar tradisional yang tetap ramai dan menjadi tujuan wisata, seperti pasar Beringharjo di Jogja atau Pasar Klewer di Solo. Bedanya, mungkin, pada jenis barang yang diperdagangkan saja. Selain itu, pasar ini juga menjadi semacam pusat perdagangan dan pertukaran sosial-budaya antara 3 komunitas, yaitu orang asli Thai, pedagang China dan masyarakat Muslim. Menurut teman saya, warga lokal yang berbeda agama itu gemar nongkrong di warung-warung kopi sambil berbincang tentang apa saja.


Toko emas permata
Sepanjang pengamatan saya, barang-barang yang diperjualbelikan di Pasar Klong Suan kebanyakan berupa makanan, khususnya jajanan tradisional. Tentu saja barang-barang lain juga ada, seperti mainan anak-anak - yang sudah pasti made-in China - hingga emas permata. Beberapa brosur mengatakan bahwa para culture junkies akan bersukacita bila mengunjungi pasar ini karena keragaman barang lokal yang dijual di sana. Bagi saya, yang paling menarik adalah beberapa warung kopi yang menyajikan kopi tradisional seperti warung-warung angkringan di Jogja. Aroma wangi seduhan kopi itu mengingatkan saat-saat santai sehabis menjalani hari yang melelahkan ketika bertugas di Aceh.

Melihat kondisi bangunannya, yang sebagian besar merupakan konstruksi kayu, tampak adanya usaha pemerintah lokal untuk mempertahankan keasliannya. Kesederhanaan arsitekturnya, tata-letak dan sirkulasinya bagi saya justru menambah pesona. Tentu saja yang paling utama adalah suasananya dan aneka hiasan pernak-pernik yang tergantung di langit-langit.

Para bhiksu muda sedang meminta sedekah pagi
Saat saya berkunjung, kebetulan sedang ada rombongan bhiksu muda yang melakukan ritual pagi, meminta sedekah dari masyarakat. Mereka berbaris rapi, masing-masing membawa kuali logam untuk menampung sumbangan. Setiap beberapa meter mereka berhenti lalu melantunkan pepujian. Para pedagang dan pengunjung pasar tidak hanya memberi uang, ada juga yang memberi makanan dan minuman. Di belakang barisan bhiksu muda itu, ada dua lelaki bertugas membawakan tas berisi macam-macam sumbangan bahan makanan.


Bila akan berkunjung ke sana, dua saja pesan saya. Jangan sarapan sebelum berangkat dan jangan bernapsu membeli banyak makanan di salah satu kios saja, karena semakin ke dalam, semakin banyak pilihan. Kalau tidak ingin berjubel dengan puluhan wisatawan, berkunjunglah pada hari kerja. Bila hanya ada waktu di akhir pekan, usahakan untuk tiba di Pasar klong Suan sebelum pukul 10 pagi.

Selamat berbelanja.