Tampilkan postingan dengan label cerpen online. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen online. Tampilkan semua postingan

Selasa, 27 Oktober 2015

Perdu Mawar

Sumber Gambar

Seminggu yang lalu. 

Suara berdebum disusul lengkingan membelah udara Sabtu siang yang gerah. Mei meletakkan baju yang tengah dijahitnya. Tanpa peduli pada kakinya yang tak beralas, ia tergopoh berlari ke rumah tetangga sebelah.

Begitu membuka pintu pagar Mei melihat Deti berteriak-teriak histeris di beranda rumahnya. Matanya melotot, menatap perdu mawar di sudut halaman. Mei berusaha menenangkan perempuan yang sejak bercerai berubah jadi penyendiri itu; perempuan yang selama 5 tahun nyaris tak lagi bertegur sapa dengan para tetangganya.

“Alinaaa… Alinaaa… Alinaaa…!!!” Deti meneriakkan nama anaknya. Mei kewalahan. Dilihatnya perdu mawar itu – yang selalu rimbun, subur, dan berbunga indah semerah darah – tertimbun batu bata dan adukan semen.

Tetangga di sebelah rumah Deti, Rustam, sedang membangun kamar di lantai dua. Mungkin tukangnya kurang hati-hati, batu bata yang tengah dipasangnya roboh, jatuh menimpa perdu mawar itu.

Rustam muncul diikuti si tukang batu. Mereka membantu Mei menenangkan Deti. Rustam minta maaf, berjanji akan menggantinya, berapapun biayanya.

Walaupun Deti tak lagi bergaul dengan tetangga, namun mawarnya sering jadi pembicaraan. Selain indah dan selalu mekar, para tetangga setiap pagi mendapati Deti merawat mawar-mawarnya, memotong batang-batangnya, dan menyiangi rumput liar yang tumbuh di sekitarnya. Bila malam, Mei pun kerap melihat sosok Deti duduk di beranda, menatap ke arah perdu mawar itu.

Jeritan Deti tak berhenti, justru meninggi, menyayat hati. Lalu ia kejang dan pingsan.

** 

“Kami tidak tahu keberadaan keluarga Bu Deti. Kami juga tidak tahu ia kerja di mana. Dia hidup sendiri,” jelas Rustam pada petugas administrasi di rumah sakit.

Di ruang IGD, Mei dan istri Rustam menemani Deti yang belum juga siuman.

Rustam menghubungi Pak RT, meminta bantuannya untuk melacak keluarga dan kawan-kawan Deti. Ditemani tetangga lain, Pak RT terpaksa masuk ke rumah Deti untuk mencari informasi: nama-nama dan nomor-nomor telepon yang bisa dihubungi.

** 

Sembilan tahun sebelumnya. 

Mei senang punya tetangga baru. Sudah bertahun-tahun rumah di sebelahnya itu kosong setelah pemiliknya pindah tugas ke lain kota. Saking girangnya, hari itu Mei memasak lebih mewah dan lebih banyak dari biasa. Urusan jahitan ia serahkan pada asistennya. Dengan wajah gembira, menjelang makan siang, Mei mengantar semangkuk opor ayam dan sepiring sambal goreng untuk tetangga barunya. Si pemilik rumah, Deti dan suaminya, menyambut gembira. Mereka berkenalan dan berbincang akrab.

“Sudah berapa bulan, Jeng?” tanya Mei memandang perut Deti.

“Empat bulan,” jawab Deti dan suaminya berbarengan. Mereka tertawa. Bahagia.

“Anak Mbak Mei berapa?” tanya Deti dengan mata berbinar, tangan kanannya mengelus-elus perutnya.

“Dua. Sudah sekolah semua. Okto, yang besar, kelas 3 SD dan adiknya, April, kelas 1.”

Kembali mereka tertawa-tawa.

Hubungan dua keluarga itu terjalin hangat. Sepulang Okto dan April dari sekolah, Alina, anak Deti, sering bermain ke rumah mereka diantar pengasuhnya. Menjelang malam Deti akan menjemput Alina sambil membawa jajanan yang ia beli di toko roti dekat kantornya.

Empat tahun kemudian semuanya berubah.

“Capek, ya, Mas. Setiap hari mendengar orang bertengkar,” keluh Mei pada suaminya. “Sudah hampir sebulan mereka begitu. Makin malam makin gencar.”

“Serba salah. Mau diam gimana, mau bantu nggak bisa,” kata suaminya. “Kita doakan saja supaya mereka bisa segera mengatasi masalah.”

Beberapa minggu berikutnya Mei tak lagi melihat suami Deti. Sekitar dua bulan selanjutnya rumah sebelah itu nyenyat. Sesekali saja Mei melihat Deti keluar rumah untuk bekerja. Wajahnya berkabut. Matanya selalu melekat ke tanah. Rambutnya lengket di kulit kepala.

Para tetangga menebak-nebak pasangan itu bercerai dan Alina dibawa ayahnya. Beberapa kali Mei berusaha menemui Deti, namun ditampik. Bila didatangi, Deti tak membuka pintu. Pesan-pesannya tidak dibalas, telepon-teleponnya juga tidak diangkat.

Mei akhirnya menyerah.

** 

Tiga hari yang lalu. 

Rustam, Pak RT, dan dua tetangga lain berkumpul di rumah Mei.

“Terima kasih banyak atas bantuan bapak-bapak dan ibu-ibu,” ujar Henri, mantan suami Deti. “Meskipun saya sudah bukan suaminya, saya akan berusaha membantu perawatannya.” Panjang lebar Henri menjelaskan keberadannya.

Para tetangga Deti menyimak sopan, masing-masing memendam setumpuk pertanyaan.

“Orang tua Deti sudah meninggal dua-duanya. Saya sudah menghubungi kakak Deti. Dia dan keluarganya tinggal di Eropa. Setahu saya mereka tak pernah pulang ke Indonesia. Saya sendiri juga tidak pernah bertemu Deti. Bahkan saya tidak bisa menemui Alina dan tidak tahu sekarang dia di mana.”

“Bukannya Alina ikut Anda?” potong Pak RT.

“Tidak. Sejak bercerai dia ikut ibunya.”

Ruang tamu mendadak sepi. Mei dan Rustam bertatapan. Lama. Dua tetangga penghuni rumah yang mengapit rumah Deti itu sudah lima tahun tidak mendengar suara – apalagi melihat – Alina.

** 

Siang tadi.

Kampung yang tenang itu berguncang. Satu tim polisi memasuki rumah Deti. Mereka membongkar perdu mawar yang sebagian tertimbun adukan semen kering dan batu-bata.

***

Jumat, 10 April 2015

K E L I K

Sumber Foto
Hampir sepuluh menit aku duduk di meja kesukaanku ini, namun anak lelaki itu belum terlihat juga. Biasanya beberapa detik setelah duduk di kursi ini aku sudah bisa mendengar gemerincing lonceng kecil yang ia kaitkan di kotak peralatan semirnya, disusul dengan sapaan riangnya, “Selamat siang Mbak Niar. Mau makan apa kali ini? Sepatunya mau disemir lagi?” Tangan kurusnya itu akan melambai ke arahku, ditemani senyum yang mempertontonkan giginya yang putih cemerlang.

Orang-orang heran ia bisa memiliki gigi sebersih itu, padahal hidupnya lebih banyak ia habiskan di jalan.

“Kamu ikut kontes gigi sehat, aja, Lik. Siapa tahu menang. Bisa jadi bintang iklan. Muncul di tivi saban hari. Jadi kaya. Dijekar-kejar cewek di mana-mana,” godaku.

“Kalau dikeramas di salon rambutmu itu tak kalah sama Giring Nidji,” gurau salah satu temanku.

Berkali-kali aku memintanya memanggilku ‘bu’. Usianya kira-kira 3 tahun lebih muda dari anak sulungku. Namun ia berkeras, “Mbak Niar cakep, nggak pantes dipanggil bu,” ia merayu supaya aku melepas sepatuku.

“Memangnya cuma orang jelek yang pantas dipanggil bu?” sahut temanku yang lain.

“Itu! Bu Wiwik…” kepala yang ditumbuhi rambut keriting itu meneleng ke kanan. Kami tahu siapa yang dia maksudkan. Pemilik kios sate ponorogo berbadan super besar-gempal dengan wajah kurang sedap dipandang. Memang hanya dia saja yang dipanggil ‘bu’ oleh semua pelanggan dan penjual lain di food court ini. Namun Bu Wiwik baik hati, ia jarang absen memberi Kelik makanan.

Aku dan tiga teman kantorku selalu makan siang di food court itu. Kami suka tempatnya yang terbuka dan makanannya yang beragam. Jaraknya tak sampai 5 menit jalan kaki dari kantor kami. Tidak ada yang ingat kapan pertama kali kami melihat Kelik mulai menjual jasa di sini. Tahu-tahu saja suatu siang dia muncul, dengan kotak semirnya yang dicat merah menyala dihiasi lima lonceng kecil yang ia kaitkan di salah satu sisinya.

“Mbak… Mas… Sepatunya disemir, ya? Itu udah berdebu.” Tangan kurusnya menyibakkan segumpal rambut keriting yang menutupi separuh keningnya. Matanya memandangi sepatu kami satu-satu.

Aku suka pada senyumnya yang dihiasi gigi-gigi bersih itu, lalu kulepas sepatuku. “Hati-hati, lho! Ini kulit asli. Buatan Itali,” selorohku.

Ia tertawa senang, kembali gigi-gigi bersih itu terpampang. “Mau dari Itali mau dari Belanda. Kalau udah dipakai tetep aja bau,” tukasnya.

“Hey! Kalau kamu berani bilang sepatuku bau. Aku nggak mau bayar,” goda salah satu temanku sambil melepas sepatunya.

Kelik juga kreatif. Selain semir dan sikat, ia juga membawa lap kain dan sebotol air bersih. “Untuk mbersihin sepatu yang bahannya kain atau kanvas,” kilahnya.

Selain agar sepatu kami selalu bersih, kami memakai jasanya karena ingin membantu. Sambil menyemir Kelik gemar bercerita. Lulusan SD yang semestinya duduk di bangku SMP itu memilih bekerja. Bapaknya dulu tukang batu yang mati akibat demam berdarah. Ibunya buruh tani, penghasilannya tak cukup untuk memberi makan empat anaknya. Sebuah kisah pedih yang mulai terdengar klise di telinga.

“Sekolah itu cuma ngabisin waktu dan duit. Katanya aja gratis, tapi bayar seragam, buku, les ini-itu. Setelah lulus juga belum tentu bisa kerja,” gumamnya biasa-biasa saja, tak ada penyesalan dalam suaranya. “Kalau gini, meskipun nggak banyak, tiap sore aku bisa setor duit buat Emak. Adik-adikku bisa makan.”

“Mereka sekolah, kan?” Tanya salah satu temanku. Nyata sekali ia berharap Kelik akan mengatakan ‘ya’ atau mengangguk.

“Yang ragil dan yang nomer tiga masih sekolah. Adikku satunya udah kerja.” Suara Kelik bangga.

Ah, pekerjaan macam apa yang bisa didapat anak usia 12 tahun, pikirku.

“Adikku itu pinter njahit. Ada juragan garmen yang tiap hari ngedrop baju dan seragam. Kerjaan adikku masang kancing,” seakan ia bisa mendengar isi pikiranku. “Dulu emakku yang minta kerjaan di juragan itu, tapi yang ngerjakan adikku,” tambahnya.

Makanan kami sudah tersaji. Kelik belum menampakkan diri.

“Mungkin Kelik udah kerja sama orang itu,” temanku mengingatkan. Ia tahu aku sedang memikirkan penyemir sepatu kesayanganku itu.

Kutengok sepatuku. Wajah Kelik menari-nari di ujung-ujungnya yang berdebu.

Tiga hari lalu Kelik bercerita dengan bangganya kalau dia baru saja bertemu seorang boss baik hati. “Dia mau ngasih aku kerjaan kantor,” katanya. “Gajinya gedhe, Mbak. Kata boss itu aku bakal bisa beli sepeda motor setelah 6 bulan kerja. Nanti lama-lama beli rumah buat Emak.” Ia bangga bahkan sebelum tahu apa pekerjaannya dan alamat kantornya.

Temanku ingin tahu siapa orang baik yang mau memberi anak lulusan SD pekerjaan bergaji besar. Namun Kelik tidak mau cerita, hanya tertawa. Katanya yang penting gajinya.

“Selamat, ya. Kalau udah kaya jangan lupa sama kami,” selorohku, mengulurkan uang untuk membayar jasanya.

Hingga saat kami harus meninggalkan food court itu, gemerincing lonceng di kotak merah Kelik tidak kudengar.

** 

Lima hari berlalu tanpa Kelik menyemir sepatu kami.

“Nggak keluar?” Temanku melongokkan kepalanya ke ruanganku.

Saatnya makan siang, namun perutku masih kenyang, mungkin karena pisang dan jeruk yang kumakan bersama semangkuk havermut pagi tadi.

“Es dawet juga nggak pingin?” temanku menggoda. Semua temanku tahu aku mencintai es dawet melebihi suamiku. “Siapa tahu hari ini Kelik muncul,” diliriknya sepatuku.

Sejak aku bertemu Kelik, kebersihan sepatuku memang kupercayakan padanya. Dan aku kangen senyumnya. “Oke. Kalian duluan,” kataku, menyimpan dokumen dan foto-foto yang masih terbuka di layar komputer.

** 

Aku belum sempat duduk ketika Bu Wiwik terengah-engah membawa tubuh gempalnya mendekati kami. Di tangannya ada lembaran koran.

“Kelik, Mbak Niar! Kelik…” Wajah Bu Wiwik semakin jelek akibat menahan tangis. “Ini… Ini…”

Koran itu ia gelar di atas meja favorit kami. “Ini! Kata orang-orang ini Kelik…”tangisnya meledak.

Aku belum membaca koran sejak pagi. Di halaman depan bagian bawah kulihat judul berita yang ditulis besar-besar: Mayat Remaja Lelaki Ditemukan, Organ-organ Tubuhnya Hilang.

***
 

Jumat, 09 Januari 2015

A P I


Sumber Foto
“An eye for an eye makes the whole world blind.” 
Mahatma Gandhi


“Ini apa?” tanya seorang lelaki tua pada bocah lelaki yang terus menatapnya. Tangan si tua menggenggam obor. Baru saja ia sorongkan ujung obor itu ke api unggun. Nyala api obor itu membara.

“Api,” jawab si bocah tanpa berpikir. Manik-manik matanya bercahaya.

“Bukan! Ini bukan api…” Si lelaki tua berteka-teki.

“Oh?” Mata bocah itu melekat pada lelaki yang berdiri masih dengan obor di tangan.

“Ini senjata.”

Dua lelaki beda usia itu saling memandang. Mata mereka berkilat-kilat memantulkan lidah api unggun yang menjilat-jilat udara. Di antara gelap malam dan lolong serigala, menyelinap sebuah rencana jahat.

Potongan adegan film itu menusuk-nusuk dinding otakku. Menyerikan sakit hatiku. Menyalakan dendamku. Aku tak ingat judul film itu, apalagi ceritanya. Namun adegan itu bercokol bagai benalu di pikiranku. Menggerogoti.

Api adalah senjata. Aku bisa mudah mendapatkannya. Cukup dengan sejerigen bensin dan sebatang korek api, aku akan punya senjata ampuh untuk memusnahkannya.

 ** 

Tiga belas tahun lalu kebahagiaanku direnggut dariku, semasa aku masih bocah.

Baru delapan tahun umurku. Bersama ibuku, yang hanya 16 tahun lebih tua dariku, aku tinggal tak jauh dari jembatan. Bukan di sampingnya, namun di bawahnya. Sepetak kamar selebar dua depa dan panjangnya tak sampai 10 langkah itu kusebut rumah.

Sebagai buruh cuci, ibuku melarat; mana ada buruh cuci yang kaya. Dalam sehari uang yang ia peroleh sering tak cukup untuk membeli nasi. Saat itu aku masih terlalu muda untuk mengerti.

Pagiku selalu habis untuk bermain di kali. Sambil menunggui ibu mencuci di sumur yang mirip belik di bantaran kali, aku rajin mencari apa saja yang terbawa arus kali. Kalau ada barang yang terapung aku suka mengejarnya. Berteriak-teriak. Kalau berhasil kuraih, aku akan bersorak. Teman-temanku sering iri, aku bisa bermain sepanjang hari sementara mereka harus duduk di ruang kelas, dengan tangan sedekap di atas meja, mendengarkan guru bicara.

Suatu pagi aku beruntung menemukan cincin emas. Kata ibuku itu cincin kawin. Ukurannya cukup kecil, pas di jari manisnya. Katanya itu mungkin milik seorang istri yang baru diceraikan suami, lalu dibuang ke kali. Tanpa menunggu cuciannya kering, ibu membawaku ke pasar, melego cincin itu.

Orang-orang di pasar melihat kami dengan sorot mata aneh, pasti mereka mengira aku mencuri, gerutu ibuku. Ia tak peduli, apalagi aku. Yang kuingat hanya satu, ibu membelikanku baju baru.

“Ini hadiah ulang tahunmu, Nduk. Yang ke delapan.” Ibu memelukku erat. Itulah pertama kali aku dapat hadiah ulang tahun. Saat itu pula pertama kali ibu menyadari kalau payudaraku mulai tumbuh. Seingatku, ah… aku sebenarnya ingin melupakan hari itu. Ya, seingatku Ibu membeli sepotong baju untuk dirinya juga.

Ia menuntunku ke kamar mandi yang jauh lebih kotor dari sumur di kali dan bau pesingnya membuat pusing. Kami berganti baju di situ. Dengan baju baru itu, kulihat ia berubah cantik. Mirip Jeng Siwi, salah satu majikan ibu, yang sering membawa makanan kalau menyetor baju kotor.

“Kita sekarang beli pukis. Mau?” Ibu menawariku. Wah. Tentu saja aku suka sekali. Bau pukis yang wangi membuat perutku yang baru diisi nasi ayam lapar lagi. Tukang pukis berkumis itu memuji kecantikan ibu.

“Mbak, boleh kenalan?” Seorang lelaki bersepeda motor mencolek lengan ibu. Ibu tampak senang disapa pemuda itu. Tongkrongannya mirip Mas Dito, mahasiswa yang seminggu sekali mengantar baju kotor untuk dicuci ibu. Sepeda motornya bercat merah, terlihat gagah. Belum pernah kulihat ada lelaki setampan itu berbicara dengan ibu. “Ini adiknya? Sama-sama manisnya,” tambah lelaki itu. Ibuku malu-malu. Matanya berbinar menatap wajahku.

Entah bagaimana selanjutnya aku lupa, aku sibuk menikmati pukis isi keju yang rasa manisnya meleleh di mulutku. Tahu-tahu lelaki itu membantu ibu mengangkat tubuhku ke atas sadel sepeda motornya. Ia mengantar kami pulang ke rumah. Ya, ke rumahku, ke bedeng di bawah jembatan itu.

Aku ingat saat itu Jumat malam, sebab Mbah Jirah menyetel radionya keras-keras, mendengarkan acara wayang. Duljani, anaknya yang pincang itu, marah-marah. Suara radio emaknya mengganggu suara TV yang sepanjang hari tak henti ia pelototi. “Nduk… cepat sembunyi. Di sini…” Ibu menarik lengan kiriku. Tubuhku ia jejalkan ke bawah amben kayu. Selembar jarik lusuh yang biasa ia pakai alas menyeterika digelar di atas kasur kapuk, ujungnya dibiarkan keleweran menutupi kolong amben.

Beberapa menit kemudian kudengar langkah kaki melewati satu-satunya pintu bedeng kami. Dari sela selebar dua jari antara tepian jarik dan kaki amben, aku tahu itu sepasang kaki lelaki. Ia menyapa ibuku seperti saat ibu menidurkanku waktu aku kecil dulu. Lembut. Membuai. Aku merasa kenal suara itu. Tak begitu lama, amben reyot yang beberapa pakunya copot itu berkerenyit, melengkung terbebani tubuh ibuku dan tubuh lelaki itu. Kudengar suara-suara. Napas ibuku memburu, seperti sedang menggosok celana jeans penuh lumpur. Lama-lama aku tak bisa lagi membedakan suara-suara yang menyerbu telingaku. Debu-debu rontok mengotori wajahku, sebagian masuk ke mataku. Aku menahan batuk sekuat-kuatnya, sampai dadaku mau pecah. Aku ketakutan amben itu ambruk menindihku. Lalu kudengar lenguhan panjang, bukan dari mulut ibuku. Lenguh yang belum pernah kudengar dari mulut manusia. Serupa sapi kekenyangan. Sapi milik tetangga kami yang kaya di desa asal ibu.

“Jangan merokok di sini, Mas,” suara ibu kudengar, sedikit terengah.

“Cerewet!” Lelaki itu membentak.

“Tolong, Mas, kalau mau merokok keluar sebentar.”

“Plaaak!” Kudengar suara pukulan disusul rintihan ibu. “Asu!” Lelaki itu mengumpat.

Perasaan takut merambati tubuhku. Ia mengumpat sekali lagi sebelum membuka pintu lalu menghempaskannya kuat-kuat sampai-sampai genteng keripik yang sebagian sudah pecah itu serpihannya rontok.

“Nduk!” Cepat ibuku menyingkap jarik, mengangsurkan lengannya, menarikku keluar. “Maafkan Ibu.” Ia memangku tubuhku yang basah oleh keringat. Wajahku lesi. “Kita bisa beli nasi ayam. Kamu mau?” Ibu melirik selembar uang 20 ribu yang tergeletak di atas baju yang belum diseterika. Baju itu mawut-mawut entah tadi kena tendang kaki siapa.

Selanjutnya lelaki itu datang kapan saja. Lelaki yang memboncengkan kami pulang dari pasar. Lelaki yang tadinya kukira baik hati. Kadang ia muncul pagi-pagi sebelum adzan subuh. Baunya mirip cairan pemutih yang dipakai ibu menghilangkan noda baju.

“Ibumu sekarang nyambi nglonthe, Nduk. Kamu sini saja,” tukas Mbah Jirah suatu pagi, ketika aku merangkak keluar dari kolong amben dan lelaki itu mendengkur sekeras mesin diesel di bengkel sepeda motor di barat jembatan. Ibu sudah turun ke sumur di pinggir kali. Mencuci.

Minggu berlalu. Bulan datang menggantikan. Ibuku masih saja didatangi lelaki itu. Juga sering dipukuli. Namun setelah ia pergi, ibu selalu membelikanku makanan yang lezat. Tubuhku jadi sedikit berisi. Ibu juga membelikan sandal seperti milik Neny, anak bungsu Bu Hesti yang bajunya sering dicuci ibu. Warnanya kuning seperti kembang kenikir yang ditanam Yu Sarti, tetangga kami yang jualan gorengan di timur jembatan. Kata Mbah Jirah kalau memakai sandal itu aku jadi ayu.

Suatu sore ibu didatangi seorang pelanggan, diminta membantunya di rumah. Ia punya hajatan dan butuh bantuan di dapur, mencuci piring dan gelas serta pekerjaan lainnya. Aku ditinggal sendiri. Mbah Jirah mengajakku ke rumahnya, mendengarkan siaran radio kesukaannya. Aku tidak suka radio. Aku ingin sekali nonton TV, tapi Duljani hanya akan membentakku, mengusirku seperti kucing pencuri teri. Kutolak ajakan Mbah Jirah. Lebih baik keleletan di amben rumah, membantu ibu melipat baju kering yang belum diseterika. Supaya bedeng kami rapi.

Aku sedang menyusun lipatan baju ketika pintu terbuka. Lelaki itu berdiri di ambang pintu, kakinya mengangkang, menanyakan ibu. Kubilang ibu sedang bekerja di rumah orang. Aku tak berani menatap matanya. Sejak pertama memukul ibu, tak kudengar lagi suaranya yang membuai. Tapi kali ini ia tidak marah, malah tertawa renyah. Dengan sekali langkah ia sudah berada di dekatku. Mengangkat tubuhku. “Nduk, cah ayu. Lihat dirimu. Mulai mekar. Segar.” Lalu ia duduk di amben. Tubuhku dipangku. Tangannya berpindah dari pinggangku ke dadaku. Meraba payudaraku yang putingnya baru sedikit menyembul. Menekannya keras-keras sampai aku tak bisa bernapas. Ia merebahkan tubuhku. Selanjutnya aku tak ingat. Yang pasti ketika pulang ibu melolong panjang melihat darah berlepotan di pahaku.

Kejadian itu berulang. Tak hanya dua-tiga kali. Selama berminggu-minggu. Sampai ibu tak tahan lagi. Suatu malam mereka berkelahi. Ujungnya ibuku mati, dengan 17 tusukan di tubuhnya. Tetanggaku ramai-ramai menghajarnya. Lelaki itu kabarnya masuk bui.

Jangan tanyakan bagaimana rasanya, marah, sedih, sakit hati, dendam, dan takut bercampur dalam tubuh kecilku. Kala itu aku ingin ikut mati, lumer dalam darah ibuku yang mengucur sederas air kali.

Seminggu kemudian aku tinggalkan bedeng, menggelandang di jalanan. Tetanggaku tak ada yang peduli.

**

“Nduk, ada titipan,” suara Samson membuyarkan lamunanku. “Ini!” Lelaki kelahiran Papua itu menyorongkan amplop coklat ke hidungku. “Pesenanmu. Dari Kampret.”

Mendengar nama Kampret disebut aku melompat meraih amplop itu. Sudah beberapa minggu aku minta bantuannya. Mencari laki-laki yang membunuh ibuku dan mengoyak hidupku. Ia bebas dari penjara setahun lalu. Amplop kubuka. Isinya secarik kertas ditempeli sebuah foto dengan alamat lengkap tertulis di bawahnya.

“Siapa?”

“Bajingan itu,” pendek jawabku. “Ia utang nyawa padaku.”

“Mau kubantu nagih?”

Aku menggeleng.

“Hati-hati,” pesannya. Kuminta Samson mengantarku mencari alamat itu. Lelaki yang tubuhnya menyerupai batang pohon sawo tua di halaman balai kota itu sudah hampir 13 tahun menjadi pelindungku. Ia menemukanku hampir mati kelaparan di sudut sebuah pasar swalayan, meringkuk di sisi bak sampah tempat para pegawai membuang sisa-sisa makanan dan sayuran busuk tak terjual.

Kata orang-orang setelah dewasa kini aku mirip ibuku, namun aku lebih pandai dan lebih berani. Samson mengajariku membaca dan menulis, juga teknik berkelahi dan mempertahankan diri. Sebagai balasannya, sejak empat tahun lalu, setelah aku cukup dewasa, aku menjadi pasangan tetapnya. Aku setia. Ia suka masakanku.

“Itu,” Samson menepikan sepeda motor, berhenti di antara dua truk penuh bahan bangunan, di depan sebuah rumah yang cat temboknya mengelupas di sana-sini. Atapnya miring. Halamannya kering, bungkus rokok dan tas kresek tersebar di sana-sini. Rumah itu seperti tak dihuni. Di sekitarnya berderet toko bahan bangunan. Entah siapa pemilik rumah kecil itu, terselip di antara baliho dan spanduk iklan genteng, cat tembok, keramik dan segala macam pernak-pernik penghias rumah.

“Kita pergi,” kataku.

“Pergi? Aku bisa nagih hutangnya sekarang ini!” Suara Samson dipenuhi rasa benci. Ia tahu kisahku dari mantan tetanggaku. Selama hampir 13 tahun mulutku terkunci. Aku tak sudi membicarakan deritaku yang nyaris menguburku hidup-hidup di kota ini.

“Lain kali.” Kutepuk punggung Samson, memintanya pergi.

Hari berikutnya kudatangi rumah itu. Sendirian. Wajah lelaki itu masih sama, hanya menua. Tubuhnya kini kurus, terbungkus oblong kumal dan celana jeans yang terlihat berbulan-bulan tak dicuci. Susah payah ia menyalakan mesin sepeda motornya. Hampir 10 menit kakinya mengengkol namun si mesin tua yang tak terawat tetap membeku. Wajah yang tak kalah lusuh dengan celananya itu banjir keringat. Rambut pendeknya lengket di kepala. Ia menoleh ke kanan-kiri, mencari-cari orang lewat yang mungkin mau membantunya. Ia tak melihatku. Kalaupun matanya menangkap sosokku, pasti ia tak mengenaliku. Untuk nyawa ibuku yang ia cabik-cabik dengan belati, ia hanya diganjar 11 tahun, bukan dihukum mati. Mata seorang tukang parkir menumbuk mata lelaki itu. Namun si tukang parkir pura-pura tak melihat, mulutnya terus berteriak, tangannya sibuk membantu supir truk menepikan kendaraannya. Bekas narapidana yang kejahatannya seolah tertempel pada wajahnya itu menyerah. Dua tangan kurusnya menuntun motor, gontai langkahnya menjauh dari hingar bingar di sekitarnya tanpa ada yang peduli, serupa tikus yang takut-takut menyelinap keluar dari got di depan rumahnya.

Kuhabiskan waktu seminggu mengintainya. Di rumah yang terjepit toko itu, ia tinggal seorang diri.

**

Pukul 1.20 dini hari. Sudah dua jam aku meringkuk di balik tumpukan kotak-kotak kayu di seberang jalan, mengamati rumah itu. Selepas tengah malam, jalan ini bagai mati. Lelampu jalan gagal menembus tabir hitam malam. Tiga truk kosong terparkir hampir menempel pada pintu-pintu toko, bayangannya kelam, menghalangi sorot lampu-lampu kecil di langit-langit emperan toko. Tak kuhiraukan puluhan nyamuk menyerbu tubuhku. Tak berkedip mataku menatap teras rumah itu, lampu 5 watt tertempel di antara lubang-lubang menganga di langit-langitnya. Malam ini penghuninya harus membayar lunas hutangnya padaku.

Aku sabar menunggu.

Sepeda motor berhenti di depan rumah beratap miring itu, suara mesinnya terengah, bagai orang sekarat. Lelaki itu datang. Langkahnya sempoyongan menuju pintu.

Mengendap-endap aku menyeberang jalan. Kubuka tutup jerigen penuh bensin di tanganku. Pantat serata papan itu kutendang dari belakang. Lelaki itu mengumpat, lalu berbalik.

Di bawah temaram lampu teras ia berusaha mengenali sosokku. Bibirnya menyeringai, tangannya terulur, mencoba meraihku. “Heiii… siapa kamu?” Suaranya serak.

Aku tak bergerak. Kuatur jarak. Kakiku kokoh berjaga-jaga.

Matanya lurus menembus mataku. “Hahaha… aku ingat kamu!” Mungkin ia mengira sedang melihat hantu. “Kamu pelacur yang membuatku dipenjara. Hahaha…!”

Tawanya tersumbat isi jerigen yang kusiram ke mukanya, membasahi separuh atas tubuhnya. “Apa ini…?”

Sekejap ia panik. Seketika matanya mendelik. Ia tahu.

Kunyalakan pemantik murahan yang kuambil dari saku jaket Samson. Cepat kulemparkan. Api langsung berkobar. Melahap rambutnya. Menjilati mukanya. Aku berkelebat pergi. Jeritannya mengoyak kepekatan malam, terdengar bagai nyanyian.

***

Cerita ini pernah dimuat dalam kumpulan cerpen "Kotak Pandora" yang diterbitkan Kampung Fiksi dan sudah dicabut peredarannya. 

Kamis, 20 Maret 2014

Pohon Kenanga di Halaman Belakang

Sore itu Bobi memacu sepeda motornya bagai pembalap kalap. Sesuatu telah membuatnya ketakutan melebihi kehilangan nyawanya. Ia ingin segera sampai di rumah barunya, di pinggir kota.

“Bobi …!” seru Kiki, raba-rubu membuka pintu. Perempuan lajang 26 tahun itu hapal suara sepeda motor adiknya. Ia khawatir. Pikirnya, pasti ada hal genting yang membuat si pendiam itu memasuki halaman rumah dengan raungan mesin sepeda motor yang menggetarkan kaca-kaca jendela.

“Gawat, mbak. Gawat. Kacau. Gawat. Kacau ….” Bobi bergumam seolah merapal mantra.

“Ada apa? Tenang, Bob.” Kiki merengkuh lengan pemuda 20 tahun itu, mendudukkannya di kursi tengah tempat mereka menonton TV dan menerima kunjungan sahabat serta keluarga.

“Kita bakal ketahuan, Mbak. Gawat.” Lelaki muda yang memilih bekerja selulus SMA itu menggigil. Dua tangannya meremas-remas rambut ikalnya. “Kita bakal ketahuan ….” Lirih suaranya meremangkan bulu tengkuk kakaknya.

“Ada apa, Bob?” Kiki bersimpuh di depan adiknya, lembut memegangi dua lututnya.

“Pohon kenanga kita sudah ditebang. Pemilik rumah itu mau membongkar halaman belakang. Rumah itu mau ditingkat,” desis Bobi. “Pagi tadi tukangnya sudah mulai menggali tanah buat pondasi.” Tubuh jangkung kurus itu gemetaran.

Kiki bangkit, lalu duduk mepet adiknya. Lengan kanannya ia rangkulkan ke pundak lelaki yang senantiasa ia lindungi itu. “Kita akan baik-baik saja. Yakinlah, Bob. Kita akan baik-baik saja. Kalau sampai terjadi apa-apa, Mbak Kiki tidak akan sembunyi. Mbak Kiki akan menanggungnya.”

Berkata begitu tangan kanan Kiki mengusap-usap punggung Bobi dan tangan kirinya membelai tangan adiknya yang kaku mencengkeram lutut.

** 

Tiga belas tahun silam.

Keluarga Subakti tertimbun duka. Bu Subakti meninggal dunia dalam usia muda, 37 tahun, akibat penyakit lupus yang mulai menyiksanya selepas melahirkan anak pertama. Kala itu Kiki belum genap 13 tahun dan tiga hari sebelumnya Bobi merayakan ulang tahun ke-7.

Pak Subakti sedari muda dikenal bengal. Yang mau dekat dengannya hanya orang-orang yang membutuhkannya. Perilakunya tak membaik meskipun sudah beranak dua. Selain mudah marah tanpa alasan, ia gemar main perempuan. Beberapa kali ia pernah mencoba meniduri pembantu rumahnya. Ketika kabar tersiar, tak ada lagi pembantu rumah tangga yang sudi bekerja di rumah mereka. “Istriku sakit-sakitan,” atau “Istriku tidak bisa melayaniku lagi,” begitu alasannya tiap ditegur orang.

Menjadi duda dalam usia 40 dengan tanggungan dua anak yang tengah membutuhkan kasih sayang membuat pemilik toko kayu itu menjadi-jadi. Ia serupa kapal yang rusak mesin dan putus jangkar: terapung-terapung terhempas gelombang.

Ia tak peduli bahwa dua anaknya makin memerlukan dirinya. Sepeninggal istrinya ia jadi makin sering dan makin lama pergi, mencari kayu di berbagai wilayah dan gentayangan mirip hantu di hutan-hutan yang ia datangi. Bila pulang, ia rajin membawa perempuan, tak jelas siapa dan bertemu di mana. Keluarga besar Subakti prihatin. Berbagai cara telah mereka upayakan untuk menghentikan kebejatannya, hingga akhirnya mereka kewalahan. Mereka juga sama-sama punya beban hidup yang tak bisa ditangguhkan. Tangisan Kiki dan Bobi pada kakek-nenek dan paman-bibinya makin hari merupa tembang pilu yang membosankan untuk didengar. Mereka tak bisa mencarikan jalan keluar. Hal terbaik yang bisa mereka berikan adalah menghibur dengan kata-kata, yang hari ke hari hanya itu-itu saja.

Belum genap setahun sejak istrinya meninggal, salah satu perempuan yang sering dibawa Subakti hamil. Lelaki itu tak hendak bertanggung jawab. Punya dua anak dari istri sah saja ia telantarkan, apalagi ini akan dianggap anak haram. Perempuan itu dipaksanya menggugurkan kandungan dengan imbalan uang.

Semenjak itu, Subakti berubah.

Ia tak lagi terlihat menggandeng perempuan. Ia jadi lebih sering pulang dan rajin mengundang salah satu pegawai lelakinya bertandang ke rumah. Kadang pegawainya itu menginap. Orang-orang mengira Subakti jera, mulai memerhatikan anak-anaknya, menyuruh pegawainya itu membantu bersih-bersih rumah.

“Ayahmu sudah sadar, Ki. Semoga dia segera menemukan jodoh lagi. Meskipun ibu tiri, akan ada orang yang merawat kalian,” ujar nenek Kiki, menghibur si cucu dengan impiannya.

Namun mimpi nenek Kiki tak jadi nyata. Subakti ternyata tidak betah di rumah. Bila pergi ke hutan atau mendatangi lelang kayu, ia selalu membawa serta pegawainya yang masih muda itu. Seiring waktu, perangai Subakti makin menyakitkan keluarganya. Apalagi setelah pegawainya itu keluar tanpa pamit dan pindah ke lain kota.

Bila sedang di rumah, ia sering mengajak Bobi bermain, hanya berdua saja, tanpa Kiki. Dari kecil Kiki tidak mendapat kasih sayang ayahnya. Ia dianggap sebagai sumber malapetaka, asal-usul bibit penyakit yang diderita ibunya. Bila ia menangis, bukan pelukan atau belaian yang ia terima, justru hardikan dan sesekali tamparan. Namun gadis belia itu tangguh dan selalu berusaha kukuh.

“Gara-gara kamu, ibumu jadi sakit dan mati!” bentak lelaki itu pada anak sulungnya tiap kali Kiki memintanya tinggal di rumah lebih lama.

Memasuki akhir tahun kedua hidup tanpa bunda dan terus menerus menanggung murka ayahnya, amarah Kiki tumbuh bagai sel-sel kanker: tak terlihat namun mematikan. Gadis itu menyalurkan amarahnya lewat sepak bola dan karate. Ia ingin kuat dan perkasa demi melindungi adik yang ia sayangi.

“Mbak Kiki akan menjagamu. Jangan kuatir,” janji Kiki pada adiknya bila si adik menangis merindukan ayah-bundanya.

Di sepenggal pagi, Kiki mendapati Bobi tersedu-sedu di sudut kamarnya.

“Ada apa, Bob?” Kiki mengelus kepala adiknya yang sebulan lagi ulang tahun ke-9. Adiknya membisu. Air matanya membanjir. Kiki memeluknya tanpa bertanya lagi. Ia tahu ayahnya telah berbuat sesuatu yang menyakitkan hati adiknya.

Pada hari ulang tahun Bobi, Subakti membelikannya satu set komputer. Namun Bobi menolaknya. Ia berlari ke kamar. Ayahnya membanting pintu depan. Pergi.

“Kenapa, Bob?” tanya Kiki, membujuk adiknya agar menerima hadiah itu. Bobi tetap menolak. Kiki mendesaknya, mengatakan kalau Bobi beruntung mendapat perhatian besar dari ayahnya, sedangkan ia jarang disapa.

“Aku nggak mau! Ayah jahat, Mbak. Ayah memberi hadiah agar aku mau terus digituin ….” Tangis anak lelaki itu tumpah ruah.

Saat itu Kiki tidak mengerti, tidak menyadari petaka yang menimpa adiknya. Ia mengira Bobi sekedar dibentak ayahnya. Seperti biasa, Kiki hanya memeluk Bobi sampai tangisnya reda.

Hingga seminggu kemudian.

Kiki terbangun oleh suara pintu depan dibuka. Ayahnya pulang dini hari, tanpa membuka pintu garasi. Pasti ia menggadaikan lagi mobilnya, atau malah menjualnya akibat kalah judi, pikir Kiki. Ia tengah berusaha kembali tidur saat terdengar rintihan dari kamar adiknya, disusul suara ayahnya berusaha membujuk Bobi. Awalnya Kiki tak berniat bangun, namun ia ingat keluhan Bobi tentang ayahnya.

Remaja itu curiga. Sesuatu yang tak sepenuhnya ia pahami menyuruhnya segera menengok adiknya. Gadis 15 tahun itu pelan-pelan membuka pintu kamar Bobi. Matanya terbeliak. Mulutnya menganga namun tak ada suara. Jantungnya seakan mencelat hingga menyumpal tenggorokannya. Dalam temaram lampu tidur 5 watt Kiki melihat tubuh tambun ayahnya menunggangi tubuh kerempeng adiknya.

Kiki ingat tumpukan potongan kayu di halaman belakang.

Lari gadis remaja itu cepat bagai ditarik setan.

Beberapa menit berikutnya, pedagang kayu itu tersungkur di lantai dengan tulang tengkuk patah dan tengkorak pecah.

** 

“Mbak Kiki akan menanam pohon di sudut halaman belakang itu. Pohon kenanga,” bisik gadis remaja itu di telinga adiknya. “Kamu tidak perlu takut. Mbak Kiki akan mengurus semua. Tidak bakal ada yang curiga. Ayah tak peduli pada kita. Selalu pergi. Semua orang tahu itu. Bila dia tidak pulang, orang akan mengira dia sengaja meninggalkan kita.” Tangan Kiki mendekap erat tubuh kurus adiknya.

Peristiwa dini hari itu tak diketahui orang.

Kiki dan Bobi sehidup-semati menjaga rahasia, saling berjanji akan melupakan semuanya, memendamnya di bawah pohon kenanga.

Sekian tahun kemudian, pohon di sudut halaman belakang yang ditanam Kiki itu tumbuh rimbun. Bunga kuningnya senantiasa mekar sepanjang tahun dan wanginya bisa tercium oleh tetangga. Tiap kali mimpi buruknya menghantui, Kiki mengajak adiknya berdoa di bawah pohon itu.

Untuk menopang hidup Kiki dan Bobi, kakek dan paman mereka sepakat menjual toko kayu Subakti yang terbengkelai. Tak satupun anggota keluarga berniat mencari lelaki itu. Semua orang yakin Subakti minggat atau terbunuh di hutan saat berkelahi berebut kayu dengan pembalak liar.

Satu-satunya orang yang menginginkan lelaki itu cuma si bandar judi, yang tiap hari datang menagih hutang. Untuk menutup hutang itu, adik perempuan Subakti membeli rumahnya. Kelebihan uangnya, bersama hasil jual murah sisa-sisa kayu gelondongan, ditabung untuk tambahan biaya hidup Kiki dan Bobi.

Kakak-beradik itu tetap diijinkan menempati rumah itu.

Mereka hidup menumpang di sana sampai setahun lalu, ketika Kiki selesai kuliah dan bekerja. Walau tidak banyak, Bobi juga sudah punya penghasilan sendiri. Sisa tabungan mereka cukup untuk membayar uang muka sebuah rumah kecil di pinggir kota. Selebihnya mereka angsur bersama.

Kiki sama sekali tidak mengira kalau bibinya akan menjual rumah itu segera setelah ia dan Bobi pindah ke rumah baru.

** 

“Tulang tidak bisa busuk, Mbak,” rintih Bobi, duduk membeku dengan dua siku bertumpu di lutut dan dua tangan menutup muka. “Kita menguburnya tak sampai 2 meter.” 

Kiki makin ketat mendekap adiknya.

***

Jumat, 20 September 2013

Mbah Imo dan Pohon-Pohon Melinjo

Ilustrasi oleh Azam Raharjo
Dua tangannya liat dan berkeriput, terulur menggapai tubuh yang bersimpuh di samping ambennya. Kilau cahaya melemah pada sepasang mata rabunnya.

“Ini Jono, Mak,” si anak mencondongkan tubuhnya, berbisik ke telinga kiri emaknya. Terdengar helaan napas memburu. Lirih perempuan tua itu menyampaikan pesan terakhirnya, “Kalau emak dipundhut Gusti, emak minta dikubur di bawah pohon melinjo.”

“Nggih, Mak. Nggih,” ujar Jono, mendekap tubuh renta itu. “Akan saya pilih tempat di bawah pohon paling subur. Di pekarangan belakang,” janjinya.

Perempuan 77 tahun itu tersenyum samar, lalu gelagepan, napasnya tersengal. Beberapa saat kemudian kepalanya lunglai. Ia meninggal dalam pelukan anaknya.

Sambil melafalkan doa lelaki tambun berambut keriting itu membaringkan tubuh emaknya yang terkulai tak bernyawa. Digenggamnya dua tangan yang masih hangat itu, diciumnya buku-buku jemarinya yang berbonggol dan keras. Dengan menahan sedu-sedan, Jono meminta istrinya mengabarkan kematian emaknya pada para tetangga.

 ** 

Mbah Imo dikenal oleh seluruh warga desa. Hingga detik terakhir hidupnya perempuan itu selalu memakai jarit dan kebaya, dengan kendit hitam dililitkan ke perut dan pinggulnya. Hidupnya berawal dan berakhir di sebuah desa di kaki Gunung Merapi.

Sejak kanak-kanak Mbah Imo telah gemar bekerja. Ia rajin ikut emak dan bapaknya bertani, paling suka menyertai mereka memetik biji melinjo, bunganya yang dinamai kroto dan daunnya yang disebut so. Setelah tenggok-tenggok di dapur emaknya penuh biji melinjo dan kroto, Mbah Imo selalu minta ikut bapaknya, berjalan sejauh 5 kilometer ke pasar di kota, menjual hasil panen mereka.

Hubungan Mbah Imo dengan pohon melinjo serupa laki-bini. Apalagi setelah suaminya meninggal, saat dirinya tengah mengandung anak kedua, ia bagai mengawini pohon-pohon tinggi-lencir itu.

Pohon melinjo telah menjadi sumber penghidupannya. Membantunya membesarkan dua anak lelakinya. Yang sulung bernama Hartono, pengusaha sukses di Jakarta. Anak kedua dinamai Jono, tinggal tak jauh dari rumahnya, menjadi guru SD di samping kantor desa.

Berkali-kali Hartono meminta Mbah Imo tinggal bersamanya. Begitu pula Jono, meskipun cuma guru desa ia sanggup mencukupi semua kebutuhan emaknya. Namun Mbah Imo menolak tawaran mereka, memilih tinggal di rumah gedek hingga meninggalnya.

“Emakmu ini masih bisa nyonggo urip, ‘Ngger,” kilahnya.

Untuk melegakan hati anak-anaknya, Mbah Imo membiarkan lantai tanah rumahnya dilapis tegel. Langit-langit pun dipasang di bawah atap, agar bila hujan tidak tampias. Begitu pula pintu dan jendela, diganti dengan yang lebih kokoh.

Pekarangan rumah Mbah Imo dirimbuni pohon melinjo. Cintanya pada pohon itu membuat Mbah Imo menanami hampir setiap tanah kosong di desa dengan pohon melinjo; dengan seijin pemiliknya. Setiap hari Mbah Imo keliling desa: menanam, merawat, dan memanen pohon-pohon melinjonya.

Perempuan itu tahu, setelah berumur 5 atau 6 tahun, pohon melinjo dapat dipanen bijinya, setahun dua kali. Antara Mei sampai Juli wajah Mbah Imo semakin berseri-seri. Ia panen besar, setiap hari ke pasar, mengenakan jarit teruntum kesukaannya. Sepulangnya, ia membeli jajanan, dibagi-bagikan pada para pemilik tanah. Uang yang diperolehnya tak seberapa, sekedar ditukar beras, bumbu dapur, dan gula-teh. Namun Mbah Imo tak pernah lupa pada mereka.

Antara Oktober hingga Desember, Mbah Imo panen biji melinjo lagi. Hasilnya tak sebesar panen Mei-Juli. Biasanya, Mbah Imo akan membeli mainan di pasar, diberikan pada cucu-cucunya atau cucu-cucu tetangga.

Mbah Imo lebih mengenal polah tingkah pohon-pohon melinjo daripada kebiasaan para tetangganya. Setiap pagi, ketika sedang memetik daun-daun muda dan krotonya, Mbah Imo mengajak pohon-pohon itu berbicara. Saat musim sedang tak ramah, ia paham apa yang harus dikerjakan agar pohon-pohon itu tidak marah dan tetap menghidupinya.

Tanpa menghitung dan mencatat Mbah Imo tahu, pohon yang telah cukup umur dan sehat, tiap tahun memberinya 100 kilo klathak, biji melinjo yang telah dikupas kulitnya. Belum lagi kulit bijinya, krotonya, dan daunnya.

Mbah Imo hapal, semua pohon jantan setiap selapan daun-daunnya bisa dipanen, diikat segenggam demi segenggam. Bila hendak memanen so, ia minta bantuan pemuda desa. Si pemuda akan melemparkan tambang ke tengah-tengah batangnya, manariknya kuat-kuat ke bawah, mengikatnya kencang-kencang pada pasak bambu yang dipancang di tanah. Kemudian Mbah Imo dengan sigap memetik kroto dan daun-daun muda. Tangannya lincah melemparkan hasil panen itu ke tenggok di punggungnya. Tanpa meminta, pemuda yang membantunya pasti memperoleh persenan dari hasil penjualannya.

Hati Mbah Imo melekat pada pohon-pohon yang menjadi perantara bagi dirinya dengan Gusti Sang Pemberi Rizki. Sehabis panen, batang-batang pohon yang kayunya rapuh itu ia usap-usap mesra.

NdukNgger… matur nuwun,” ucapnya sepenuh jiwa, seakan tengah membelai anak-anaknya.

 ** 

Dua tahun sebelum meninggal Mbah Imo kerap gundah hati. Satu persatu lahan kosong di desanya dibeli orang kaya dari kota. Pohon-pohon melinjonya ditebangi. Sebagai gantinya ditanamlah berderet-deret kamar, disewakan pada mahasiswa atau pekerja yang butuh kos-kosan. Mbah Imo jadi sakit-sakitan.

Pagi itu, Hartono datang dari Jakarta membawa temannya, seorang pengembang real estate di berbagai kota. Sang pengusaha tertarik membeli sebidang tanah luas milik Pak Lurah yang terletak di pinggir jalan raya desa.

Di belakang tanah itu mengalir sungai kecil yang berhulu di lereng Gunung Merapi, di bawah menyatu dengan Sungai Code yang membelah Kota Jogja. Ukuran, lokasi dan topografi tanah itu sempurna, cocok dikembangkan menjadi perumahan mewah. Hanya dalam waktu beberapa hari saja, kepemilikan tanah telah berpindah tangan.

“Mak, aku dapat untung besar,” lapor Hartono setelah transaksi terjadi, pulang ke rumah emaknya.

“Ya, syukur pada Gusti. Untung besar apa, Ngger?”

“Dari jual beli tanah Pak Lurah, Mak.”

“Tanah yang mana, Ngger? Pak Lurah tanahnya banyak.”

“Yang di Dusun Timbulsari, yang di dekat kali itu, di pinggir jalan raya desa.”

Mbah Imo terperanjat. Nalurinya mengatakan akan ada lagi perubahan besar di desa. Sudah berhektar-hektar sawah dan ladang di desanya berubah menjadi kumpulan gedong magrong-magrong entah milik siapa. Rumah-rumah yang sebagian besar dibiarkan kosong, yang dikelilingi pagar tinggi dengan gardu jaga di gerbang depan.

“Untuk investasi,” ujar para pemuda desa yang bekerja sebagai satpam di sana.

“Untuk ngeram istri muda,” kilah yang lainnya, tertawa-tawa.

Dengan dada berdebar Mbah Imo tergagap bertanya, “Untuk apa? Mau dibangun gedong-gedong juga?”

Anak sulungnya mengangguk sambil menyesap kopi tubruk seduhan emaknya.

“Duh, Gusti, tiba juga saat ini. Saat yang aku kuatirkan akan terjadi,” rintih Mbah Imo dalam hati.

Kecuali pekarangan miliknya, tanah Pak Lurah itu satu-satunya tanah kosong di desa yang masih bisa ia tanami. Tangan-tangannya telah puluhan tahun merawat pohon-pohon yang tumbuh subur di sana.

“Ngger, jangan lakukan itu. Jangan sekarang ini. Tunggu sebentar lagi kalau emakmu sudah ditimbali Gusti.” Mbah Imo memohon agar anaknya membatalkan jual beli yang telah terjadi.

Namun daya tak lagi ada walau upaya sudah dicoba. Dengan hati pilu, paginya si sulung berpamitan pada emaknya. Mbah Imo tak mau menerima uang komisi jual-beli yang diberikan untuk menambal luka kecewa.

Selang beberapa bulan, berbagai alat berat didatangkan untuk menebang pohon-pohon melinjo di atas tanah itu. Suara bisingnya memekakkan telinga.

Mbah Imo mengawasi penebangan itu dari seberang kali. Ia menggelesot di bawah pohon kelapa, menatap para kekasihnya yang tegak gagah ijo royo-royo itu satu-satu lunglai di tanah. Air mata Mbah Imo membanjiri keriput pipi. Dua tangannya yang selalu mengelus-elus batang-batang pohon melinjo itu tertangkup di dada, menahan nyeri.

Setiap kali sebatang pohon terkapar, dada Mbah Imo serasa ditebas juga, lalu berdarah.

Sejak hari itu, Mbah Imo sakit dan tergeletak di amben kayunya. Ia tak mampu menahan duka. Sebulan kemudian, Mbah Imo dipanggil Tuhan berbarengan dengan pohon melinjo terakhir yang ditebang jatuh oleh tangan-tangan kokoh para pekerja bangunan.


*** 


 Pernah dimuat di sebuah tabloid budaya yang sudah tidak terbit lagi


Keterangan:
Dipundhut Gusti: diambil (nyawanya) oleh Gusti
Nyonggo urip: menyangga (membiayai) hidup
Ngger: dari kata ‘angger’, artinya anak atau bocah
Gedong magrong-magrong: bangunan besar dan mewah
Ditimbali Gusti: dipanggil Tuhan
Ijo royo-royo: hijau subur

Senin, 29 Juli 2013

Penumpang di Kursi Nomor 10A

Sosok lelaki yang duduk di kursi nomor 10A ini mirip atlit. Otot-otot lehernya liat tertanam kokoh di pundak yang lebar dan lurus, menyangga sepasang rahang kencang. Tubuh lanjainya berdiri dan kepalanya merunduk saat aku meletakkan tas cangklong di kursi sebelahnya.

“Halo,” sapaku, sambil menjejalkan sebotol air mineral, sebuah buku, dan sebuah majalah ke dalam jaring di punggung kursi di depan tempat dudukku.

“Halo,” balasnya, bibirnya nyaris tidak bergerak. Meski tubuhnya gagah, matanya kosong tanpa binar. Ia membantuku menaruh ransel di rak atas dan baru duduk setelah aku nyaman di kursiku.

Usianya kutaksir antara 25 dan 30. Wangi musk menguar dari badannya yang terbalut kaus polo abu-abu dan celana kargo hitam. Pandangannya beralih dari wajahku ke jendela. Kuikuti arah pandangannya. Kulihat deretan wajah dan kepala para pengantar. Dalam diamnya, bisa kurasakan ia resah. Pikirannya jelas tak menyatu dengan raganya. Kuraih majalah dan membukai halamannya. Setiap bepergian malam hari dengan kendaraan umum semacam ini aku cenderung waspada, jarang mengawali pembicaraan dengan penumpang sekursi, apalagi bila ia lelaki.

Begitu terdengar pengumuman bahwa kereta api akan segera berangkat, lelaki itu menyandarkan punggungnya. Semburan napasnya yang kuat dan keras menyiratkan rasa kecewa. Aneh, hawa dingin kurasakan mengalir dari arah jendela yang tersegel rapat. Bersamaan dengan itu semua lampu di langit-langit gerbong tiba-tiba padam. Terdengar seruan kesal para penumpang.

“Mbak mau ke Jogja?” Ia membuka percakapan. Suaranya menyerupai gema dari dasar sumur. Lelaki ini tidak biasa, pikirku.

“Ya.” Kupandang wajahnya dari samping. Aku terjelengar. Dalam gelap rona kulit wajahnya seputih kapur, seperti lama tidak tersentuh sinar matahari. Semua lampu berkedip-kedip sesaat sebelum kembali menyala. Para penumpang bergumam lega.

“Anda juga mau ke Jogja?”

Ia tidak menjawab. Tatapannya yang menyorot dari sepasang mata hampa dan dibingkai wajah lesi itu membuat otot-otot punggung dan tengkukku mengencang. Ah. Mungkin bukan tatapannya, mungkin karena AC. Kurogoh tas cangklongku yang kutaruh di pangkuan, kutarik selembar pashmina dan kuselimutkan ke punggung melewati pundak.

Ia kembali memandang jendela. Tidak ada apapun di luar yang bisa dilihat kecuali lelampu jalan dan deretan bangunan yang sebagian lusuh termakan waktu dan cuaca.

Kulihat pramugari kereta berseragam ungu mendorong troli makanan. Aku belum sempat makan malam. Dari auditorium tempat seminar tadi aku langsung ke stasiun, hanya sempat membasuh muka, mengelap tubuh, dan berganti kaus di toilet. Kuminta sepiring nasi goreng. Aku punya cukup air minum untuk perjalanan 8 jam yang mungkin hanya akan kulewatkan dengan tidur.

“Mau makan?” tanyaku pada lelaki di sebelahku. Ia menggeleng tanpa mengalihkan matanya dari jendela.

Pramugari itu menerima uang dengan wajah keheranan, kulit di antara ujung-ujung alisnya berkerut. Matanya cermat menelitiku. Ia hendak bicara namun berusaha keras menahan diri.

“Kenapa? Uangnya kurang?”
“Tidak, Mbak. Selamat makan …,” ucapnya, mendorong troli. Ekor mataku menangkap pramugari itu sembunyi-sembunyi menoleh padaku. Entah apa yang dilihatnya aneh pada diriku.

“Saya makan, ya.”

“Silakan, Mbak.”

Aku makan pelan-pelan diselingi celoteh para penumpang dan sorak sorai rombongan remaja di deretan kursi sebelah kananku. Lelaki di sampingku tak juga mengalihkan matanya dari jendela. Tubuhnya tak berubah dari posisi semula. Ia larut dalam sesuatu yang tak kasat mata.

Sekitar dua jam kemudian aku tak bisa lagi menahan kantuk. Aku juga penat. Sehabis subuh tadi aku sudah meninggalkan rumah menuju bandara untuk ke Jakarta dengan pesawat paling pagi. Seharian aku menghadiri seminar – yang membosankan – kemudian langsung kembali ke Jogja dengan kereta api ini. Kuselipkan kembali buku ke dalam jaring. Kuraih botol air mineral dan kuminum tiga teguk. Kuketatkan balutan pashmina dan kurebahkan kepala ke punggung kursi.

“Jangan tidur, Mbak.”

“Ya?”

“Jangan tidur. Tolong temani saya.” Suaranya itu lamat-lamat dan senyap, seakan datang bukan dari dirinya tapi dari balik kaca jendela. Kami bertatapan. Sekilas matanya berwarna kelam rata, tak ada bagian putihnya. Aku jadi merinding. Kukejap-kejapkan mataku. Pasti akibat bias lampu neon di langit-langit gerbong.

“Saya ngantuk sekali. Maaf.”

“Tolong, Mbak,” pintanya. “Saya tidak suka bicara tapi saya senang kalau ada teman yang sama-sama terjaga,” tambahnya. Matanya yang lowong itu menghisapku. Jantungku berdenyut lebih cepat. Kini aku yakin, bukan AC yang membuatku dingin hampir menggigil, namun sikap lelaki ini. Apapun yang tengah dideritanya pasti telah menggerogoti dirinya, membuat tubuh kokohnya itu merupa layon.

Kujangkau majalah dari jaring punggung kursi. “Ini. Buat teman berjaga.”

Ia tidak menerima majalah yang kuasongkan. Kepalanya menggeleng berat terbebani rasa kecewa. Kembali matanya mengarah ke jendela.

Antara sadar dan tidur kulihat seorang remaja putri berdiri di lorong, di depanku. Kudengar ia minta ijin untuk duduk di sebelahku karena temannya yang tadinya duduk di gerbong lain pindah ke tempat duduknya dan tidur hingga ngorok. “Mbak. Boleh, ya?”

Kuusap-usap mataku. “Ada orangnya,” kataku, menguap lebar.

“Kosong gitu, Mbak.”

Aku menoleh. Tempat duduk di sebelahku memang kosong. Jangan-jangan lelaki itu sudah turun di stasiun Purwokerto. “Kita sampai mana?”

“Baru saja lewat stasiun Legok.” Si gadis menguap, mempererat dekapannya pada boneka kelinci warna pink. Aku hapal, stasiun Legok itu dua stasiun sebelum Purwokerta dan belasan stasiun selepas Cirebon. Kereta api eksekutif ini tidak berhenti di stasiun-stasiun kecil itu. Dan lelaki itu masih duduk di sebelahku ketika kereta meninggalkan stasiun Cirebon, sebelum aku jatuh tertidur.

“Ada orangnya, kok. Mungkin sedang di toilet atau merokok di bordes,” ujarku menjulurkan leher, melihat ke ujung depan dan belakang lorong.

“Kayaknya dari tadi kosong, deh,” sergahnya. “Kalau nggak boleh, ya udah ….” Gadis itu berbalik, langkahnya diseret menunjukkan kekesalan hatinya.

Aku masih terkantuk-kantuk namun tidak bisa kembali tidur. Kereta mulai meninggalkan stasiun Purwokerto. Lelaki itu tidak juga muncul. Mungkin ia pindah ke gerbong lain bergabung dengan temannya. Atau berjalan-jalan menyusuri lorong untuk melemaskan otot kaki.

Kereta menaik-turunkan penumpang di stasiun Gombong, namun lelaki itu tetap tidak kembali duduk di sebelahku. Rasa ingin tahu mengusikku. Aku berdiri di lorong, menyandar pada punggung kursi. Penumpang yang duduk di belakangku baru saja terbangun dan tengah merapikan jilbabnya.

“Mbak, lihat mas-mas yang di sebelah saya? Pergi ke sana apa sana?” Kuarahkan telunjukku ke depan dan belakang.

“Mas-mas?” Ia ganti bertanya.

“Iya. Orang yang duduk di sini.” Kutunjuk kursi di sebelahku. Kursi nomor 10A.

“Bukannya dari Jakarta memang kosong, ya?”

“Ada orangnya. Laki-laki. Jangkung, pakai kaus polo abu-abu.”

“Wah. Saya nggak tahu. Saya kira dari tadi kosong.” Ekspresi wajah perempuan bermata bundar itu nyata-nyata terheran-heran. Lehernya terjulur ke kiri, mencoba melihat melalui celah antara dinding gerbong dan kursi.

Penumpang lelaki yang duduk tepat berseberangan denganku sudah tidur sejak di stasiun Gambir. Kepalanya tertunduk. Mulutnya menganga. Liurnya sesekali menetes ke pundak kanannya. Penumpang perempuan yang duduk di sebelahnya menutup wajahnya dengan scarf hijau bermotif bunga. Scarf itu naik-turun seirama hembusan napasnya. Jelas tidak mungkin menanyai mereka.

Aku duduk kembali, meneruskan membaca buku. Rasa ingin tahu berkembang jadi penasaran. Kalau lelaki itu memang sudah turun, entah di stasiun mana, pasti ada penumpang lain yang naik di Purwokerto atau Gombong yang menempati kursi kosong ini.

Lima belas menit kemudian.

“Pak, penumpang yang duduk di sini sudah turun, ya?” tanyaku pada kondektur yang memeriksa karcis penumpang yang naik di stasiun Gombong. Tanganku menunjuk kursi kosong di sebelahku.

“Dari tadi kursi itu kosong, Mbak.”

“Hah? Nggak mungkin. Saya tadi ngobrol dengan orangnya, Pak. Laki-laki ….”

“Pakai kaus abu-abu dan celana kargo hitam. Tubuhnya tinggi dan atletis …,” sahut kondektur itu, mengetatkan kerah kemejanya. Matanya melekat ke mataku. Pelan-pelan ia berjongkok. Tangan kirinya mencengkeram lengan kursiku dan tangan kanannya bertumpu pada punggung kursi di depanku. “Bukan cuma Mbak saja yang pernah melihatnya. Banyak penumpang kereta ini pernah diweruhi juga. Tidak tiap hari, hanya sesekali. Biasanya hari Selasa, yaaa … Selasa Legi. Pasti dia minta ditemani ….”

Jantungku melambat. Aku menggigil, semacam ada benda berat yang beku diusap-usapkan ke punggungku. Dengan tubuh bagai melayang kudengar cerita kondektur tentang penumpang lelaki yang mati bunuh diri setahun lalu. Konon ia atlit pentatlon yang kehilangan kejantanannya dalam kecelakaan menunggang kuda. Ia terjun dari kereta ini, tepat di atas jembatan Sakalimolas, antara stasiun Bumiayu dan staisun Kretek. Tubuhnya tersangkut pohon, kepala dan perutnya tertembus beberapa cabangnya.

Tangan kondektur itu hati-hati menggoyang lenganku. “Mbak … jangan kuatir. Dia tidak pernah menyakiti siapapun.” Ia berdiri. “Sebentar lagi sampai Jogja,” katanya, berlalu dengan dua lengan mendekap tubuhnya sendiri. Ia mungkin dirasuki hawa dingin seperti diriku.

***

Sabtu, 13 Juli 2013

Langit Merah Jambu

Photo by Laura Beazly
Di pertengahan Januari udara pagi di Kota Bangkok sedikit menggigit syaraf-syaraf kulit. Apalagi pagi ini mendung bergayutan di langit. Lelampu kota terpaksa menyala lebih lama dari biasa, menunggu matahari yang malas beranjak naik. Seorang perempuan terlihat menyebarangi lobi hotel yang masih sepi. Seekor burung gereja melintas di atas kepalanya lalu hinggap di ranting pohon yang menghiasi salah satu sudut lobi. Langit-langit hotel itu sangat tinggi. Pada dinding bagian atas terdapat banyak lubang angin, dari sanalah burung gereja itu menyelinap masuk.

“Sawadee kha. Saya akan menemui teman di kamar 2421,” ucap perempuan itu pada resepsionis yang masih sedikit mengantuk meskipun rambutnya amat rapi.

“Silakan. Anda bisa menggunakan house phone. Ada di sana.” Tangan si resepsionis menunjuk telepon yang terpasang di dinding dekat ruang lift.

Setelah mengucapkan terima kasih, perempuan itu melangkah menuju telepon dan memutar nomor kamar.

“Sawadee kha. Sudah bangun, Rini?” Renyah sekali suara perempuan itu menyapa.

“Sawadee kha. Kanyarat?” Rini terkejut mendengar suara sahabatnya, Kanyarat Rattiwattana, yang datang satu jam lebih awal dari janji temu yang mereka sepakati kemarin siang. “Saya akan segera turun,” ujar Rini sambil meraih kimono. Dengan cepat ia cabut key card dari dinding di dekat pintu, lalu keluar kamar menjemput Kanyarat. Tanpa key card temannya itu tidak bisa menggunakan lift.

Rini merasa ada sesuatu yang sangat ingin diceritakan oleh Kanyarat. Tiga malam lalu seusai jam kerja, saat Rini mengemasi barang-barangnya, Kanyarat bertanya apa ia punya waktu luang untuk berbincang-bincang.

“Kamu bisa datang ke hotel saya kapan saja. Sebelum jam 9 pagi atau setelah jam 7 malam,” ujar Rini disertai senyuman, “tidak perlu ada appointment dulu,” tambah Rini mengedipkan mata.

Senyuman di wajah cantik Kanyarat menyambut Rini saat pintu lift terbuka. Mereka berpelukan ringan

“Ayo. Naik ke kamar. Saya belum siap untuk sarapan. Lagi pula ini masih terlalu pagi.” Rini menggandeng tangan Kanyarat memasuki lift. Sarapan memang sudah siap mulai pukul enam, namun hidangan di meja buffet belum lengkap. Yang pasti, bubur ayam encer kesukaan Rini belum tersaji. Kalaupun sudah, kelengkapannya seperti kacang goreng sangan, tumisan ikan teri dicampur cacahan tomat pedas dan telur dadar sayur yang dipotong kecil-kecil belum ada.

“Silakan,” Rini membuka pintu kamar lebar-lebar, membiarkan temannya masuk lebih dulu. Untung tadi Rini mengisi poci penuh-penuh. Airnya masih cukup panas. “Teh?” tanya Rini sambil meraih satu cangkir di atas rak.

“Mai chai ka,” Kanyarat menolak cepat-cepat, “kita sebentar lagi sarapan, bukan?” Meskipun mereka sudah dua tahun bersahabat, tutur kata Kanyarat senantiasa sopan.

Mereka duduk bersebelahan dipisahkan sebuah meja bulat kecil. Dua kursi itu awalnya menghadap tempat tidur, namun oleh Rini diputar jadi menghadap jendela. Mereka berdua terdiam beberapa saat sambil menikmati panorama kota.

“Kamu tahu Anusart? Lelaki yang menjemput saya hampir tiap hari itu? Yang pernah saya kenalkan padamu?” Tanpa diminta Kanyarat mulai bercerita.

Bahasa Inggris Kanyarat sempurna. Perempuan cerdas yang pendiam itu sepuluh tahun lalu berhasil meraih gelar doktornya di Universitas Chulalongkorn dengan predikat summa cum laude.

“Ya, tentu saja. Saya tahu meskipun belum pernah bicara dengannya.” Rini mencoba mengingat wajah lelaki tinggi langsing berkulit bersih dan pakaiannya selalu rapi itu.

“Dia sudah beristeri. Tapi katanya dia mencintaiku.”

“Oh?” Serasa ada segumpal kain basah menyumbat tenggorokan Rini. Oksigen jadi terhambat masuk ke paru-parunya. Otaknya jadi lambat bereaksi.

“Saya selalu tidak beruntung dengan laki-laki, Rini.”

Rini tidak menduga Kanyarat akan bicara tentang sisi kehidupannya yang tidak pernah ingin ia ketahui itu. Rini tahu Kanyarat masih lajang di usianya yang berkepala empat. Rini mengira itu adalah sebuah pilihan. Sepuluh tahun terakhir ini, Rini banyak mengenal perempuan sukses yang melajang di usia matang. Mereka mandiri. Mereka sukses secara professional. Mereka tidak terganggu oleh statusnya yang lajang. Mereka berjalan dengan kepala tegak. Bangga karena berhasil bebas dari penghakiman yang menuntut mereka untuk bersuami dan beranak.

Di awal pertemanan mereka dua tahun lalu, Kanyarat sering bercerita. Ia sedih sekali setiap melihat ada perempuan Thai berusia belasan yang digandeng oleh wisatawan yang lebih pantas jadi kakeknya. Kanyarat tahu gadis-gadis itu sebenarnya punya pilihan meskipun harus bekerja sangat keras untuk meraihnya.

Kanyarat sendiri dibesarkan oleh ibunya yang ditinggal ayahnya saat usianya masih balita. “Ibu saya harus membanting tulang agar saya dan kakak saya bisa hidup,” cerita Kanyarat dua tahun lalu. “Beruntung ibu saya kuat. Beruntung saya cerdas sehingga sering mendapat beasiswa. Namun kakak saya tidak tahan hidup dalam kekurangan.”

Ledakan bisnis wisata di akhir tujuhpuluhan di satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum pernah dijajah ini menyebarkan bukan hanya kesejahteraan. Ia juga memakan korban. Salah satunya adalah kakak Kanyarat. Usianya belum genap 20 tahun saat ia mati di tangan germonya yang tengah mabuk. Peristiwa itu menorehkan luka di jiwa Kanyarat yang baru lulus SMA.

“Aku hanya akan mencintai lelaki bila ia bisa mengubah langit yang biru menjadi merah jambu,” janji Kanyarat di makam kakak perempuannya. Lima tahun melacurkan diri, kakak Kanyarat tidak mendapat apa-apa, justru nyawanya hilang sia-sia.

Sejak itu, Kanyarat bekerja mati-matian agar bisa terus sekolah. Siang hari ia kuliah. Bila malam turun Kanyarat menjual tenaganya. Ia mengerjakan apa saja asal bukan tubuh dan harga dirinya. Semua pekerjaan kasar pernah ia rasakan. Mulai dari mencuci piring di restoran hingga membersihkan toilet di kantor-kantor. Selama lima tahun Kanyarat hanya tidur 3 jam dalam sehari. Tak ada hari tanpa tetesan keringat. Tak ada hari untuk berhenti dan istirahat.

“Andai langit bisa berubah jadi merah jambu,” Kanyarat keluar dari lamunannya sambil mendesah.

“Ya?” Rini tidak yakin akan pendengarannya.

“Andai langit bisa berubah jadi merah jambu,” ulang Kanyarat, “saya mungkin akan menemukan lelaki yang tepat,” tambahnya. “Anusart sudah punya istri. Apa aku harus meninggalkannya, Rini? Bagaimana menurutmu?”

Rini tak segera menjawab. Ia memandang langit abu-abu gelap yang pelan-pelan menjadi terang. “Kalau saya ada di posisimu, akan saya lepaskan lelaki itu. Katamu hidupmu pernah sengsara karena lelaki. Apakah masuk akal kalau kamu sekarang menyengsarakan diri dan perempuan lain demi lelaki?”

Kanyarat terdiam. Tangan kanannya ia letakkan di dada kiri. Pada saat kakaknya meninggal, sambil menangis ibunya berkata, “musuh terbesar kita adalah diri sendiri. Kita harus bisa menaklukkannya sebelum orang lain mengalahkan diri kita.” Setiap merasa putus asa ia menyentuh kata wasiat sang ibu yang terukir di jantungnya.

Hidup Kanyarat kini telah mapan. Ia punya banyak sahabat di seluruh dunia yang siap menghibur kala hatinya duka. Semua luka telah sembuh walaupun masih ada bekasnya. Segala yang pahit sudah ia muntahkan meskipun rasanya tak hilang dari ingatan. Seluruh sampah hidupnya sudah ia buang. Rini benar. Kanyarat tak mau memungut kembali sampah yang telah jauh-jauh ia lemparkan, meskipun kini sampah itu terbungkus cinta dan tersaji indah di depannya.

“Kanyarat.” Rini bangkit dari kursi, berjongkok di depan sahabatnya yang duduk merenung. “Butuh puluhan tahun bagimu untuk sampai di tempatmu saat ini. Coba kamu pikirkan lagi.” Rini menggenggam tangan Kanyarat. “Kalau cinta Anusart tulus seperti katamu, semestinya ia melepasmu pergi, karena ia sudah beristeri. Bila tidak, akan ada banyak orang yang tersakiti. Istrinya. Anak-anaknya. Dan dirimu, Kanyarat.”

“Kamu benar, Rini. Kalau diteruskan mungkin saya hanya akan menuai penderitaan. Mungkin keindahannya tak sebanding dengan kerusakannya.” Kanyarat menghela napas panjang.

Rini pelan-pelan berdiri. “Kamu tahu, Kanyarat. Langit akan berwarna merah jambu kalau sinar matahari diselimuti banyak debu bercampur segala macam gas polutan dan partikel air. Biasanya terjadi pagi atau senja ….”

Kanyarat tersenyum samar, pandangannya menembus kaca jendela menyeberangi angkasa. “Sudah saatnya sarapan.” Ia bangkit dari duduknya.

Rini bergegas mengenakan pakaian. Mereka berdua keluar kamar. Di luar, langit terang benderang.

*** 

Pernah diunggah di rubrik Oase - Kompas.com

Jumat, 28 Juni 2013

Kepala Kerbau

16 November 2011

Aris memacu sepeda motornya di bawah guyuran hujan. Tukang batu itu tak sabar ingin segera sampai di rumah, menunjukkan uang lima juta pada istrinya, bonus dari juragannya. Tiga hari lalu Pak Basuki, pemilik kontraktor yang mempekerjakannya, menyuruh menanam kepala kerbau di proyek rumah mewah yang sedang mereka kerjakan.

“Tak boleh ada yang tahu urusan ini!” Pak Basuki berbisik-bisik meskipun Minggu pagi itu hanya ada mereka berdua. “Termasuk Pak Kurniawan. Kalau sampai kamu buka mulut, kamu kupecat …,” ancamnya.

“Beres, Gan. Beres.” Aris mengangguk-angguk sambil menyeringai. Terbayang uang lima juta rupiah yang akan segera ia terima. Terbayang sepeda motor baru untuk anak sulungnya yang sudah beranjak remaja.

“Jangan dibuka!” gertak Pak Basuki. Seketika Aris menarik tangannya dari peti kayu itu. Dalam hati Aris bertanya-tanya, biasanya kepala kerbau tidak ditaruh di dalam peti, juga ditanam dengan upacara yang dihadiri pemilik proyek; namun ia sengap, khawatir uang itu batal ia terima.

“Tambahi pakunya,” perintah Pak Basuki menekan peti itu dengan kaki kirinya.

Hati Aris risau. Lima tahun bekerja padanya, ia tahu Pak Basuki doyan perempuan. Ia mendengar omongan kalau lelaki itu menghamili istri orang. Ia pun hapal Pak Basuki gemar memecundangi pemilik proyek. Aris curiga ia tidak benar-benar membeli kerbau. Ah, mau kepala kerbau atau kepala kambing, yang penting kali ini aku dapat cepretan, pikir Aris, menanam peti itu tepat di samping pondasi.

Aris mempercepat laju sepeda motornya. Meski kuyup oleh air hujan, wajahnya terlihat gembira. Tak sampai 10 menit lagi ia akan tiba di rumah. Ia membelokkan sepeda motornya ke kanan ketika dari belakang sebuah truk pasir tanpa ampun melindasnya.

Sabtu, 21 April 2012 

Keluarga Kurniawan mengadakan syukuran di rumah baru. Seluruh tetangganya diundang. Lima tratag didirikan di halaman depan, dihiasi aneka rupa bungaan, tak ubahnya pesta pernikahan. Tetangga yang datang menyembunyikan rasa dengki di balik senyum senang; mulut mereka mengucap selamat namun hati mereka mengumpat.

“Pasti hasil korupsi,” bisik salah satu tamu.

“Uang haram,” celetuk yang lainnya.

Dalam usia muda pasangan Kurniawan telah sukses dengan bisnisnya. Mereka tahu banyak orang mempertanyakan hartanya, namun mereka tak mendengarkan cibiran orang.

Malam hampir melewati puncaknya, sisa-sisa aroma pesta masih memenuhi halaman depan. Sejumlah pekerja terlihat mengemas tiang-tiang dan kursi-meja, sebagian membersihkan halaman, menata kembali pot-pot tanaman. Pak Kurniawan tak ingin halaman rumahnya masih kotor ketika esoknya sang istri membuka jendela kamar.

“Mamaaa ….”

Bu Kurniawan berhenti membersihkan meja kaca, segera naik ke lantai atas, mendatangi kamar anaknya. Anak itu pasti terbangun oleh deru mesin truk pengangkut tenda, pikirnya. “Sofia…?” Dilihatnya Sofia berdiri di ambang jendela, tangannya menyibak gorden, melihat ke taman belakang. “Ada apa?” Bu Kurniawan mendekat.

“Ada adik bayi nangis. Di situ ….” Sofia menunjuk ke bawah jendela, tangan kirinya mendekap boneka. “Kasihan adik bayinya, ya … nangis terus dari tadi,” bisiknya ke telinga boneka. “Ma, adik bayinya dikasih susu biar nggak nangis terus.” Si kecil lima tahun itu mendongak.

“Ah, Mama nggak denger apa-apa.” Bu Kurniawan berjongkok di belakang Sofia, mendekap tubuh mungil anaknya. Harum shampoo melesap ke lubang hidungnya. “Ayo, tidur lagi… Mama bacain buku cerita, ya ….” Lembut tangan Bu Kurniawan menuntun tangan Sofia kembali ke tempat tidur.

“Tapi adik bayinya kasihan ….”

“Nanti Mama suruh Lasmi ngasih susu.” Bu Kurniawan tahu, anaknya gemar berkhayal. Ia meraih buku cerita dari meja mungil di samping tempat tidur. Halus suaranya membawa Sofia kembali terlelap.

Empat malam berikutnya kejadian itu berulang. Sofia terjaga menjelang tengah malam. Memanggil-manggil mamanya, membuka jendela, mengatakan ada bayi menangis di taman belakang. Bu Kurniawan mulai cemas, namun suaminya yakin Sofia hanya berkhayal, atau masih merasa asing di kamar barunya yang tiga kali lebih besar dari kamarnya di rumah lama.

Pada malam keenam, Lasmi, pembantu yang bertugas membersihkan rumah, berteriak histeris, berlari keluar kamarnya. Kecuali Sofia, seisi rumah terbangun, lalu keluar kamar, mendapati Lasmi meringkuk di sudut ruang makan. Wajahnya jeri.

“Ada bayi merangkak lewat jendela ke dalam kamarku,” desisnya, badannya gemetar. Mbok Tris, tukang masak, menghampiri perempuan muda itu, menenangkannya.

“Kamu mimpi, Mi. Cuma mimpi.” Tangannya merapikan rambut dan daster Lasmi. “Kecapekan, mbersihin rumah sampai malam.”

“Dal, coba kamu tengok kamarnya,” suruh Pak Kurniawan pada tukang kebunnya. Dalijo melangkah ke belakang sambil gerundelan. Ia kesal terhenti dari mimpi basah gara-gara mimpi buruk Lasmi. Kenapa Lasmi tidak bergabung dalam mimpinya saja, pikir bujangan yang tak lulus SD itu.

“Tidak ada apa-apa, Pak,” ujar Dalijo kembali ke ruang makan, “jendelanya tertutup. Gordennya juga.” Wajahnya merengut. Matanya melirik ke arah Lasmi yang mendekam di pelukan Mbok Tris.

“Mamaaa…!!!” Terdengar jeritan Sofia. Kali ini lengkingannya merobek telinga. Suami istri Kurniawan menapaki tangga dua-dua. Dalijo menyusul dari belakang. Lasmi mendekap Mbok Tris makin kencang.

Sofia berdiri di atas tempat tidur, tangannya menunjuk ke jendela yang tertutup. “Adik bayiii … adik bayiii …,” lengkingnya, matanya menyorot ngeri. Bu Kurniawan menyalakan lampu utama. Pak Kurniawan melompat ke jendela, menyibak gorden, membuka dua daunnya lebar-lebar.

“Kamu keluar. Periksa ada apa di situ,” perintahnya pada Dalijo meskipun di bawah tak terlihat apa-apa. Lelampu di taman belakang sangat terang, pikir Pak Kurniawan, kalaupun ada kucing hitam mendekam di bawah jendela pasti kelihatan. Dari jendela sang majikan mengawasi Dalijo memeriksa pot-pot besar dan mengangkat bangku-bangku kayu.

Tangis Sofia tak juga reda meskipun mamanya sudah memeluknya. Ia meracau, menyebut adik bayi yang merangkak masuk ke kamarnya dari jendela. “Adik bayinya sakiiit … Adik bayinya sakiiit …, “ isaknya. Bu Kurniawan membopong Sofia, membawanya ke kamarnya sendiri. Malam ini Sofia harus kukeloni, pikirnya, jangan-jangan ada sesuatu di taman belakang yang membuat Sofia dan Lasmi dihantui bayi. Namun perempuan yang usianya belum genap 30 tahun itu mencoba membantah pikirannya sendiri. Mungkin itu hanya mimpi buruk, seperti kata Mbok Tris.

Semua penghuni rumah memang kelelahan sehabis pindahan, setiap hari ada saja yang harus mereka rapikan.

Beberapa saat sebelum adzan subuh terdengar, Pak Kurniawan terbangun oleh rintihan istrinya.

“Fai … Faiza…?” Tubuh istrinya mengejang dan basah oleh keringat. “Fai …” Lelaki itu menepuk-nepuk pipi istrinya, mencoba membangunkan. “Fai…!” Mata Bu Kurniawan terbelalak, lalu perempuan itu tersedak. “Bayi ituuu…. Haaahhh …. Haaahhh ….” Ibu satu anak itu tersengal-sengal. “Fai … bangun, sayang, ” ucap suaminya, lengannya terulur memeluk istrinya. Sofia masih terlelap di antara keduanya.

Minggu pagi, 29 April 2012

Keluarga Kurniawan tak beranjak dari ruang makan selepas sarapan.

“Adiknya nangis lagi,” bisik Sofia. Mama dan papanya bertatapan. Mbok Tris menguping dari dapur. Bahkan di terang hari bayi itu mengganggu juga, pikir perempuan tengah baya itu.

“Kita harus melakukan sesuatu, Mas,” ujar Bu Kurniawan, “pasti ada yang tidak beres di taman itu. Aku semalam juga mimpi … mirip dengan mimpi Lasmi.”

Pak Kurniawan berkeras mimpi-mimpi itu muncul karena Lasmi dan istrinya terlalu memikirkan khayalan Sofia. Semua anggota keluarga tahu, di rumah lama Sofia punya teman khayalan gadis kecil pemain biola. Tiap sore ia akan menggerak-gerakkan tangannya sambil tertawa-tawa, seolah sedang memainkan biola, mengikuti temannya itu. Pengusaha muda itu yakin Sofia sedang berusaha mencari teman di kamar barunya. Ia bergurau pada istrinya, sudah saatnya memberi Sofia seorang adik.

Namun sang istri tidak menanggapi gurauan itu, justru mengancam akan membawa Sofia ke rumah neneknya bila suaminya menolak berbuat sesuatu.

“Apa maumu, Fai?”

“Kita harus membongkar taman itu.”

“Kamu pikir di situ ada …?”

“Ya!” potong Bu Kurniawan, tatapannya setajam belati.

Baru kali ini mata perempuan yang kucintai itu menusukku, pikir Pak Kurniawan. Segera ia mengangkat telepon, minta tolong temannya mencarikan tukang.

“Kenapa tidak minta tukangnya Pak Basuki? Mungkin mereka lebih tahu,” tanya istrinya.

“Aku tidak suka cara kerjanya.”

 Senin, 30 April 2012

Bu Kurniawan duduk di ayunan yang dipindahkan ke dekat gudang, mengawasi lima tukang menggali halaman seluas lapangan voli itu. Bukan pekerjaan ringan, apalagi tanpa escavator. Ia menyuruh tukang-tukang itu menggali pelan-pelan, sebagian demi sebagian.

“Setiap galian seluas 2 meter persegi sedalam 2 meter. Kalau tak ditemukan apapun, lubangnya harus ditimbun dulu sebelum nggali lubang berikutnya,” perintahnya tegas.

Suaminya duduk di ruang keluarga lantai atas, bermain dengan putrinya sambil sesekali menengok ke bawah, berharap istrinya lega bila tahu tak ada apapun terpendam di halaman yang tadinya cantik oleh beragam tanaman hias buah kerja Dalijo itu.

Hari ketiga pembongkaran halaman. Matahari mulai condong ke barat, salah satu tukang memekik, menemukan peti seukuran dua kali dos mi instan, tak jauh dari pondasi di bawah jendela kamar Sofia. Suami istri Kurniawan terbirit-birit ke halaman belakang. Bersama Dalijo dan lima tukang mereka mengerumuni peti kayu itu.

“Buka,” perintah Pak Kurniawan.

Salah satu tukang mencongkel tutupnya. Bau busuk mencakar hidung mereka.

Biru langit mulai dihiasi semburat lembayung, sebuah mobil polisi sudah setengah jam parkir di halaman depan rumah keluarga Kurniawan. Para tetangga curiga suami istri itu akan ditangkap karena penggelapan uang, atau penyelundupan, atau penipuan. Dari balik jendela rumah masing-masing mereka menunggu, berharap tiga polisi segera keluar sambil menggelandang pasangan muda itu.

“Petinya tampak belum lapuk. Belulangnya belum sepenuhnya kering. Masih banyak jaringan busuk yang menempel di beberapa bagian.” Polisi yang paling senior menjelaskan. Ia bisa membedakan belulang yang sudah lama terkubur dengan yang masih baru. “Jasad bayi ini terpendam belum ada 6 bulan.”

Beberapa minggu kemudian polisi memanggil dan menginterogasi pasangan Kurniawan, juga semua orang yang terlibat dalam pembangunan rumah mewah itu.

Giliran si mandor ditanyai.
“Buat daftar semua tukang yang kerja di rumah itu.” Polisi menyorongkan selembar kertas. “Lengkapi dengan alamat dan nomer ponsel.”

“Salah satu tukang saya mati. Kasus tabrak lari,” kata si mandor pada polisi sambil menuliskan nama-nama tukang.

“Kapan itu?”

“Bulan November tahun lalu, beberapa saat setelah pondasi selesai dikerjakan,” si mandor berpikir sebentar. “Kata istrinya, harusnya sore itu dia pulang membawa uang lima juta. Tapi uang itu hilang, mungkin dijarah penolongnya.”

“Anda tahu uang itu dari siapa?”

“Kata istrinya bonus dari Pak Basuki, majikan kami.”

Polisi itu menyeringai, meminta rekannya segera menjemput Pak Basuki, untuk diinterogasi ulang.

***

Jumat, 21 Juni 2013

Pohon Kiara Payung

Sulit kuterima pesan terakhir Ibu padaku. Terdengar sepele: memintaku segera menebang pohon kiara payung di halaman depan rumahku. Sejak dulu Ibu memang tidak suka pohon itu. Katanya selain banyak ulatnya, yang berbulu riwug-riwug coklat gemuk itu, rontokan daunnya bikin boyok ngethok tiap kali menyapu halaman.

Permintaan sederhana itu terasa rumit untuk kululuskan.

“Udahlah, Lin. Ditebang aja. Apa susahnya. Tinggal nyuruh orang,” ujar Mbak Ratih, cengengesan. Meski geli, kakak sulungku itu berusaha meyakinkanku.

“Sekarang gampang kalau butuh pohon peneduh. Bisa beli yang udah besar. Agak mahal, tapi langsung rimbun,” tambah Mbak Risti, kakakku nomer dua, susah payah membancang tawa melihat wajah cemberutku.

“Atau gini aja, tanam dulu pohon lain, yang besar seperti dibilang Mbak Risti itu, setelah tumbuh, baru kiara payungmu ditebang,” Mbak Ratri, si nomer tiga, memberi solusi lebih lengkap.

“Hhhh…!” gerutuku. “Kenapa Ibu tidak berpesan hal lain, yang lebih penting, seperti pesan beliau ke kalian,” sungutku. Sebagai bungsu aku memang sering diperlakukan beda. Namaku saja Lintang, tidak berawal huruf R seperti tiga kakakku.

Senin sore, sehari selepas mengadakan selamatan 40 hari untuk Ibu, aku pulang awal dari kantor. Badanku meriang, mungkin kecapekan. Kaki kananku baru saja menapak lantai garasi dan kaki kiri masih di dalam mobil saat kudengar hardikan lelaki dari arah belakang.

“Cepat suruh pembantumu nyapu sampah daun itu dari halaman saya.” Aku menoleh, terkesima oleh kilatan amarah pada mata lelaki itu. Tetangga baruku. Kakinya mengangkang di ambang pintu garasi.

“Oh. Pak Hilman. Ada apa, ya?”

“Itu! Lihat! Lihat! Rontokan daun kiara payung awut-awutan di halaman rumah saya. Bikin sepet mata saja!” Dadanya mengkap-mengkap di balik kaus oblong putih, semacam ada sesuatu yang hendak memberontak keluar.

“Oh. Maaf, Pak. Saya akan suruh Mbak Kar nyapu lagi. Sebentar….” Kupacu langkahku ke belakang. Mencari Mbak Kar. Tak kunyana, tetangga yang baru dua minggu menghuni rumah di seberang jalan itu galak. Ia melabrakku gara-gara guguran daun kiara payung yang mengotori halamannya.

“Yang bersih, Mbak Kar. Jangan ada satu daun tertinggal,” pesanku pada pembantuku.

“Sudah saya bilangi tiap hari, bersihkan sampah daun itu dari halaman rumah saya. Masih ngeyel!” rutuk Pak Hilman. Biji matanya hendak mencelat menyergap punggung Mbak Kar yang tergopoh-gopoh ke rumahnya sembari menenteng sapu lidi dan pengki.

Aku tergegau melihat ulah pensiunan pejabat dari Surabaya itu. Kukira selain berwibawa, ia juga halus budi dan baik hati. Kalaupun aku atau keluargaku keliru, ia akan menegur baik-baik, bukan menghardik. Seingatku penghuni lama tak sekalipun mengeluhkan perkara ini karena Mbak Kar selalu menyapu halaman hingga ke jalan, dua kali sehari. Aku minta maaf pada Mbak Kar yang harus menyapu berulang-ulang.

“Ndak apa-apa, Bu. Mungkin dia memang tukang marah. Saya sering dengar dia teriak-teriak ke istrinya,” kata perempuan yang telah membantuku bertahun-tahun itu.

Malamnya, sehabis makan, kami membahas kejadian itu. Kami tak ingin mengawali pertetanggaan dengan permusuhan.

“Segera ditebang aja, Lin. Kita ganti pohon lain yang daunnya nggak gampang rontok,” bujuk suamiku.

Aku jadi ingat lagi pesan terakhir Ibu.

“Iya, Ma. Ini udah aku cariin alternatif pohon pengganti. Nih.... ada banyak banget,” kata Binar, mengasongkan laptopnya. Anak sulungku itu selalu sigap mencari informasi apa saja dari internet.

“Okeee... okeee… besok Mama cari tukang buat nebang pohon,” kataku.

“Aku bisa minta tolong tukang kebun kantor. Gampang itu. Nanti Sabtu atau Minggu kita tebang,” kata suamiku, mengelus-elus punggungku.

Dengan ekor mata kulihat ayah dua anakku itu mengukir senyum. Pasti sebentar lagi dia akan BBM-an dengan kakak-kakakku. Mereka akan bersorak. Mengolok-olok, rupanya butuh seorang tetangga galak untuk membuatku menunaikan permintaan Ibu.

Sehari berikutnya.

Aku baru saja selesai rapat. Ponselku berdering. Di layar kulihat nomor telepon rumah.

“Ada apa, Mbak Kar?” tanyaku. Bila siang di rumah kami tak ada sesiapa selain dirinya.

“Anu, Bu. Ada yang aneh,” bisiknya, seperti takut terdengar orang lain.

“Kenapa bisik-bisik, Mbak?”

Mbak Kar tertawa. “Itu. Tetangga baru. Bu Hilman. Aneh. Ngambilin uwuh dari tong sampah kita, terus disebar-sebar di halaman rumahnya sendiri,” Mbak Kar tetap berbisik-bisik.

“Haaah? Beneran? Maunya apa?”

Aku dan Mbak Kar berbicara cukup lama, menebak-nebak maksud perempuan bercucu enam itu. Kubilang Mbak Kar kalau Bu Hilman mungkin sudah pikun.

“Belum pikun, kok. Kalau belanja masih pinter milih sayur dan nawar segala,” tukasnya.

“Mungkin belum bener-bener pikun.” Kuminta dia mengawasi dari jendela. “Nanti kalau Bu Hilman udah masuk rumah, halamannya cepet-cepet disapu. Sebelum suaminya ngamuk. Ya?” pesanku.

“Baik, Bu. Saya juga mikir gitu.” Mbak Kar tak lagi berbisik, terdengar lega.

Dua hari berikutnya kejadian serupa terulang. Bu Hilman mengendap-endap tengah hari, mengambil rontokan dedaun kiara payung yang dikumpulkan Mbak Kar di dalam tong sampah kami, menyebarkannya di halamannya sendiri. Namun Mbak Kar sigap. Tanpa menunggu Pak Hilman melihat hasil perbuatan istrinya, halaman tetangga kami itu segera ia sapu.

Meskipun terheran-heran, kami serumah sepakat tidak menanyakan tingkah Bu Hilman itu. Pasangan itu sudah tua. Tiga anak mereka katanya di luar Jawa, tak satupun muncul waktu mereka boyongan dari Surabaya ke Jogja. Cepat atau lambat, pikirku, Bu Hilman akan sepenuhnya pikun. Bisa-bisa dia makin sering melakukan tindakan menggelikan itu. Aku tak sabar menunggu Minggu saat pegawai suamiku memotong habis pohon kiara payungku.

Jumat siang itu badan Mbak Kar lemas dan perutnya kram, seperti biasa bila ia menstruasi. Perempuan yang belum berhasrat menikah itu jatuh tertidur selepas masak dan membersihkan dapur. Ia terbangun oleh keributan di halaman.

Pak Hilman memekik-mekik lantang sambil membacok-bacok pokok kiara payung dengan parang. Ia murka mendapati halamannya kembali dikotori daunan kiara payung. Para tetangga – semuanya ibu-ibu dan pembantu rumah tangga – berdatangan. Mereka membantu Mbak Kar menenangkan lelaki tua itu.

Kali ini Mbak Kar menelepon suamiku, memintanya segera pulang. Ia panik melihat Pak Hilman pingsan di bawah pohon, masih memegang parang.

“Lin. Aku udah di rumah. Gawat! Gawat!” seru suamiku lewat ponsel. “Ternyata Pak Hilman sakit jantung. Habis marah-marah lalu sesak napas. Udah dibawa ke IGD. Kamu harus pulang sekarang.”

Malamnya kondisi lelaki 73 tahun itu membaik. Ia diperbolehkan pulang. Istrinya terlihat tenang. Bahkan ia justru tersenyum-senyum mengiringi suaminya digandeng masuk ke rumah oleh suamiku dan seorang tetangga lain. Sebelum pamit, aku dan suamiku meminta maaf pada Bu Hilman. Perempuan yang tetap langsing dan segar di usia tua itu meremas tanganku saat bersalaman. Aku ingin sekali menanyakan perilakunya yang aneh itu: menyebar sampah daun di halamannya sendiri. Namun hasratku berhasil kubantut. Kupikir tak ada gunanya memanjangkan perkara. Siapa tahu dia memang pikun.

Hari Minggu yang kutunggu tiba juga. Pagi-pagi tukang kebun dari kantor suamiku datang dengan seorang temannya, membawa alat lengkap untuk menebang pohonku itu. Dua anakku dan suamiku bergantian menyium pipiku, mencoba menghiburku. Mereka tahu aku sangat menyayangi pohon kiara payung itu. Pohon pertama yang kutanam di hari pertama kami memasuki rumah ini.

Aku tak tega menyaksikan pohonku ditebang. Kuputuskan untuk jalan-jalan ditemani Pijar, adik Binar, sekalian belanja mingguan. Suamiku di rumah menunggu tukang. Mbak Kar kuminta menyiapkan minuman dan nyamikan.

Aku dan Pijar sedang bercanda sembari menyantap makan siang di sebuah mal ketika suamiku menelepon. Aku tersedak.

Katanya sepagian Pak Hilman marah-marah tak karuan. Ia tak sabar menunggu tukang kami membersihkan serpihan cabang dan rontokan daun yang tersapu angin, yang bertebaran memenuhi jalan dan halaman rumahnya. Jantungnya kambuh, lalu meninggal di rumah sakit.

Saking terkejutnya sekujur tubuhku gemetaran, perlu beberapa menit menenangkan diri sebelum pulang. Sepanjang jalan Pijar menghiburku. Katanya itu bukan kesalahanku. Aku jadi ingat Ibu. Seandainya kiara payung itu kutebang lebih awal, mungkin Pak Hilman masih hidup. Aku menyesal.

Namun penyesalanku menjelma keheranan, atau tepatnya ketakutan. Minggu malam itu kami membantu Bu Hilman mengurus jenazah suaminya dan menyiapkan pemakaman. Perempuan tua itu mendekatiku, menuntunku menjauhi para pelayat, menggenggam tanganku, matanya lembut menatapku. “Terima kasih. Pohon Jeng Lintang sudah membebaskan saya dari lelaki pemarah itu,” bisiknya.

***


Keterangan:
Riwug-riwug: berbulu lebat
Boyok ngethok: sakit pinggang
Awut-awutan: berserakan
Mengkap-mengkap: kembang-kempis
Uwuh: sampah
Nyamikan: makanan kecil.

Senin, 17 Juni 2013

Bebek-bebek di Kecamatan


Sumber Foto
Bumi masih enggan melepaskan selimut kabutnya ketika pagi merayap naik bersama sang surya. Puluhan jenis burung di dalam sangkar warna-warni yang bergantungan menghias teritisan Dalem Kecamatan berkicau bersahutan. Saling melengkapi bagai sebuah orkestra penanda hari baru segera berawal.

Kanjeng Camat menggeliat malas di peraduan. Ia enggan beranjak dari kasur mewah yang dirancang khusus untuknya oleh seorang ahli ortopedi paling ternama di penjuru kecamatan. Bukan karena kambuh encoknya bila Kanjeng Camat masih betah tergolek di atas kasur. Ia tengah memikirkan mimpinya yang tak mau pergi jua walaupun mata telah terbuka.

“Mimpiku…” ujar Kanjeng Camat pada salah satu abdinya yang berjaga di sebelah kanan peraduannya.

“Kanjeng Putri Camat sedang mandi,” jawab si abdi mengira Kanjeng Camat menanyakan sang istri.

“Mimpiku… Aku mimpi… Mimpiku!” Kanjeng Camat berteriak dengan suara agak serak.

“Ampun, Kanjeng Camat.” Seorang abdi lainnya yang berjaga di sebelah kirinya mendekat sambil membantu tuannya duduk di tepi peraduan.

“Siapkan air panas. Aku mau mandi,” perintah Kanjeng Camat pada dua abdinya. “Setelah itu segara panggil Patih untuk menghadap,” seru Kanjeng Camat sambil menyeret sendalnya menuju kamar mandi.

Ketika telah rapi berpakaian kebanggaan karya perancang favoritnya, Kanjeng Camat bergegas menemui Patih yang telah duduk di Pendopo Kecamatan. Begitu melihat junjungannya, Patih bangkit dari duduknya dan menghaturkan sembah dengan cara menelangkupkan kedua telapak tangan di dada.

“Selamat pagi, Kanjeng Camat. Ada titah apa?” Patih memandang wajah gundah penguasa kecamatan itu. Pasti ada kejadian genting lainnya karena Kanjeng Camat memanggilnya untuk menghadap sepagi ini. Bahkan mentari belum lebih tinggi dari pucuk daun jagung yang mengering di ladang samping rumahnya.

“Aku mimpi, Patih. Bila mimpiku ini jadi nyata, maka kecamatan kita akan terbebas dari kutukan.”

Tanpa panjang kata seperti biasanya, tanpa gerakan-gerakan tangan serupa pujangga membaca syairnya, Kanjeng Camat mulai bercerita. Dalam mimpinya Kanjeng Camat ditemui seorang pertapa tua. Sedemikian tuanya pertapa itu hingga bukan hanya rambut dan jenggotnya saja yang berwarna putih keperakan, juga kulit tubuh dan bola matanya. Semuanya putih, menyilaukan mata. Katanya, sang pertapa adalah jelmaan angin barat yang dipercaya sering bertiup ke timur menyebarkan keajaiban yang mampu membebaskan siapa saja dari kutukan.

Sang pertapa menyuruh Kanjeng Camat agar meminta warganya menyerahkan bebek ke Pendopo Kecamatan. Bebek-bebek itu akan diambil telurnya. Kanjeng Camat harus memilih seribu biji telur yang paling bersih dan besar. Telur-telur itu harus digoreng di Dapur Kecamatan dan dipotong kecil-kecil. Potongannya dibagikan pada seluruh warga kecamatan. Setiap warga harus mendapat satu bagian. Bila kata pertapa tua itu dilaksanakan maka kecamatan akan menjadi makmur dan tenteram.

Sebenarnya kecamatan itu wilayahnya amat subur. Lebih subur dari kecamatan-kecamatan lain yang terletak di sekelilingnya. Tanahnya gembur dan hujan turun secara teratur memenuhi sungai-sungai yang meliuk di sela-sela gunung dan perbukitan. Namun kutukan tampaknya telah mengubah tanah sawah berangsur-angsur tandus, perbukitan terancam gundul, dan sungai-sungai mengering perlahan. Kanjeng Camat telah bekerja keras untuk mencari cara agar wilayahnya terbebas dari kutukan. Namun upayanya tak membuahkan hasil. Hingga ia bermimpi bertemu seorang pertapa yang memberinya wangsit agar dirinya mengumpulkan bebek di Pendopo Kecamatan.

“Daulat, Kanjeng Camat,” kata Patih dengan penuh hormat. “Namun para penduduk kecamatan saat ini sangat melarat. Beras tak ada. Panen tak seberapa. Mereka tak akan mampu membeli bebek, Kanjeng Camat.”

Kanjeng Camat tercenung. Tiba-tiba wajah gelisahnya berubah cerah. “Aku punya gagasan.” Kanjeng Camat memandang Patih lekat-lekat. “Para warga akan membeli bebek dengan cara patungan. Satu bebek akan dibeli oleh sepuluh warga. Bagaimana? Gagasan yang cerdas, bukan?”

Patih yang setia mengangguk-anggukan kepalanya yang gundul dan tertutup kupiah kuning cerah itu. “Bagus, Kanjeng Camat. Bagus sekali.” Patih manggut-manggut tak henti-henti.

Pagi itu juga, tepat ketika matahari naik hampir setinggi pohon kelapa, Kanjeng Camat mengeluarkan perintah resmi. “Patihku yang setia. Perintahkan pada para Lurah agar warga mereka menyerahkan bebek ke Pendopo Kecamatan segera. Satu bebek dibeli oleh sepuluh warga.”

Sebelum tengah hari, Patih sudah mengumpulkan semua Lurah dan menyampaikan perintah Kanjeng Camat. “Wahai para Lurah, perintahkan pada para Kepala Dukuh agar warga mereka menyerahkan bebek ke Pendopo Kecamatan segera. Satu bebek dibeli oleh sepuluh warga.”

Para Lurah kemudian berlarian kembali ke desa mereka masing-masing dan mengumpulkan para Kepala Dukuh. Titah yang sama mereka serukan pada para Kepala Dukuh. Hari itu, semua Lurah dan Kepala Dukuh se kecamatan sibuk menghitung jumlah semua warga yang tinggal di wilayah kekuasaan masing-masing. Selanjutnya mereka menghitung jumlah bebek yang harus dibeli dan meminta semua warga untuk menyerahkan uang.

** 

Di salah satu desa di kecamatan itu ada seorang janda kaya raya. Selain berdagang, perempuan beranak tiga itu juga beternak bebek. Ada ribuan bebek yang setiap hari hilir mudik keluar masuk kandangnya yang lebih luas dari lapangan sepak bola. Sang janda bergembira ria. “Aku akan semakin kaya. Kanjeng Camat menitahkan para warga mengirim bebek ke Pendopo Kecamatan.”

Sepanjang malam perempuan itu bernyanyi sambil melayani para Kepala Dukuh yang antri membeli bebeknya.

“Itu bebekku. Aku sudah memilih yang gemuk itu!” teriak seorang Kepala Dukuh pada Kepala Dukuh lainnya yang merebut bebek dari tangannya. “Ini sudah kuikat kakinya dari tadi!” gertak Kepala Dukuh lainnya lagi. Maka hingar-bingar rumah sang janda kaya oleh suara bebek bercampur baku hantam para Kepala Dukuh yang saling berebut bebek paling gemuk.

“Tunggu! Tunggu dulu!” pekik sang janda. “Aku punya akal. Bebek-bebek yang sudah terbeli atau dipilih, akan aku beri warna berbeda pada bulunya agar kalian tidak bertengkar.”

Para Kepala Dukuh setuju. Pertengkaran sedikit mereda walaupun masih saja ada adu mulut di sana-sini. Sebelum tengah malam, para Kepala Dukuh dan pembantu mereka menggiring bebek-bebek yang telah diberi warna itu berbaris ke Pendopo Pedukuhan. Sedangkan sang janda begadang sepanjang malam, menghitung tumpukan uang hingga fajar menjelang.

 ** 

Keseokan harinya, terlihat dari segala arah rombongan Kepala Dukuh menggiring ribuan bebek ke Pendopo Kecamatan. Penduduk yang tinggal di kecamatan itu berjumlah tiga puluh ribu, jadi ada tiga ribu bebek yang pagi itu digiring masuk ke Pendopo Kecamatan.

“Hei! Pak Dukuh! Lewat sini! Bukan lewat situ!” Seorang penjaga kecamatan berteriak marah pada seorang Kepala Dukuh yang tidak mau antri dan mau menerobos lewat gerbang belakang.

“Di depan penuh, Pak Penjaga. Saya mau cepat masuk ke pendopo agar bebek-bebek saya yang gemuk-gemuk ini segera dilihat Kanjeng Camat,” kilahnya.

“Tidak bisa! Harus lewat depan!” Penjaga mengacungkan tombaknya.

“Pak Penjaga, tolonglah…” Sambil berkata begitu Kepala Dukuh itu membuka kantongnya yang bergemerincingan penuh dengan keping uang.

Tanpa banyak bicara, Pak Penjaga segera menurunkan tombaknya dan membuka gerbang belakang. “Cepat. Cepat,” bisik Pak Penjaga sambil menyelipkan beberapa keping uang ke saku celananya.

Sementara itu barisan bebek terus saja memasuki halaman pendopo kecamatan. Mereka gaduh bukan kepalang. Para Kepala Dukuh kesulitan menertibkan para bebek yang berlarian ke sana ke mari semau mereka sendiri. Seorang Kepala Dukuh yang mengecat bulu bebek-bebeknya dengan warna biru belingsatan mengejar dua ekor bebeknya yang masuk ke lingkaran bebek-bebek bercat hijau milik Kepala Dukuh tetangganya.

Suasana Pendopo Kecamatan gaduh tiada tandingan. Dalam waktu singkat tidak hanya keributan saja yang terlihat di pendopo kecamatan, tapi ada bau tak sedap yang menyebar karena ribuan bebek itu bergantian buang kotoran yang lembek kehitaman. Patih berteriak-teriak mencoba mengatasi keadaan yang makin sulit dikendalikan.

“Mana Kanjeng Camat?” tanya seorang Kepala Dukuh tidak sabar. “Bebek-bebek ini mulai kelaparan. Kami tidak punya makanan,” keluhnya sambil mengusap lelehan keringat di jidat dan lehernya.

“Sebentar… Sebentar…” Patih berlari masuk ke Dalem Kecamatan.

Dengan ketakutan ia memanggil Kanjeng Camat yang tengah menikmati sarapan. “Kanjeng Camat, ampunkan Patih yang tak becus ini. Para Kepala Dukuh sudah berada di pendopo dengan ribuan bebek yang gemuk. Bebek-bebek itu semua kelaparan, belum diberi makan sejak kemarin malam.”

Kanjeng Camat meninggalkan meja makan dengan muka masam. Ia tak berkenan. Langkahnya dipacu menuju Pendopo Kecamatan. “Mengurus bebek saja kalian tidak becus,” dengusnya.

Begitu tiba di Pendopo Kecamatan, Kanjeng Camat segera menyesali kata-katanya sendiri. Ribuan bebek beserta tahi lembek dan rontokan bulu berserakan menjijikkan. Bagaimana mereka bisa bertelur kalau suasana seperti perang begini? Mengapa tak kusuruh Patih dan semua Punggawa menyiapkan kandang duluan? Mengapa tak kusuruh para Penjaga menyiapkan pakan? Keluh Kanjeng Camat pada diri sendiri.

Teringat akan pakan, Kanjeng Camat makin gundah. Dari mana ia akan mendapat uang untuk membeli dedak? Apakah warga yang miskin pangan itu mau bila diminta patungan lagi? Ataukah gunung di perbatasan itu dijual saja pada Raden Camat tetangga?

Kanjeng Camat terduduk lemas memandangi ribuan bebek yang rontokan bulu dan tahinya mengotori lantai dan dinding Pendopo Kecamatan. Para Kepala Dukuh belingsatan membersihkan sekujur pakaian mereka yang belepotan tahi bebek yang lembek-hitam. Sementara Patih diam-diam melangkah keluar meninggalkan Pendopo Kecamatan melalui gerbang belakang.

 ***