Rabu, 29 Februari 2012

Hal-Hal Kecil Itu

Sumber Gambar
Perih rasanya melihat Nana dijemput ayahnya. Rasa perih berkembang menjadi iri saat kulihat sahabatku itu berlari-lari menemui ayahnya, kuncirnya sampai ikut menari-nari di belakang kepala mungilnya. Sambil tertawa-tawa Nana menyambut pelukan sang ayah. Kubayangkan pasti rasanya lega sekali bisa membaui aroma tubuh lelaki yang telah menimangnya selama 20 tahun itu. Pasti rasa hangat yang mengalir dari tubuh ayahnya merembet masuk ke pori-pori kulit Nana dan secara ajaib memberikan rasa tenteram di hatinya. Membuatnya merasa terlindungi.

“Ririiii…! Siniiii…!” Nana menoleh ke arahku, mengajakku mendekat, setelah ia melepaskan diri dari pelukan ayahnya.

Sambil menahan rasa sakit di ulu hati aku melangkah ke arah mereka. Menyalami tangan lelaki yang mestinya tak beda jauh usianya dengan Bapak saat beliau dipanggil Tuhan. Kami berbasa-basi secukupnya, kemudian aku masuk ke dalam mobil, meringkuk di jok belakang, mepet ke pintu sebelah kiri. Nana duduk di depan di samping ayahnya. Mereka bercengkerama sepanjang jalan pulang dari lokasi KKN kami. Aku sengaja memilih duduk di sebelah kiri agar bisa leluasa memandangi kepala ayah Nana. Sudah empat tahun lebih beberapa bulan aku tidak melihat lelaki dengan kepala yang dihiasi rambut perak di sana-sini mengantarku, atau menjemputku, atau mengajakku jalan-jalan dengan mobilnya. Sudah lama sekali.

Rasa iri itu kini menggerogoti hatiku, membuatku menggigil, terlebih karena AC disetel terlalu dingin. Kukancingkan jaketku dan kupejamkan mataku mencoba mengenang bapakku. Kulekatkan tangan ke dada, tepat dimana jantungku berada. Kurasakan detak jantungku, memompa darah yang menghubungkanku dengan Bapak. Pelan-pelan rasa hangat menjalari tubuhku bertepatan dengan lelehan air mata yang gagal kubendung.

“Riri, kok diam aja sih?” Nana menengok ke jok belakang. Aku pura-pura tidur. Mukaku kututupi dengan kerah jaket agar ia tak melihat airmataku. “Riri, aku mau muter CD favorit kita…” Nana menjulurkan tangannya, menyentuh lututku, berusaha membangunkanku.

“Mungkin Riri lelah sekali, Sayang. Biarkan dia tidur.” Suara ayah Nana makin menenggelamkanku dalam rasa rindu. Bapak selalu mengatakan hal yang sama bila aku sangat lelah sedangkan Mbak Dana, kakakku, ingin mengajakku bermain. Suara CD yang diputar pelan menyelamatkanku. Nana dan ayahnya jadi tidak mendengar isakku.

***

Setibaku di rumah, Ibu menyambutku dengan senyum indah. Sambil melambai pada Nana dan ayahnya, Ibu memelukku, meraih ransel besar dari tanganku. Ia tidak peduli meskipun bauku apek karena memakai baju yang dua hari belum dicuci.

Welcome home, Sweetie…. Mbak Dana bikin puding leci lhooo….” Ibu menutup pintu depan. “Danaaa…! Riri udah pulaaang…!”

Mbak Dana nongol dari dapur mengenakan apron merah. Senyumnya cerah. Rambut panjangnya diikat jadi satu ke atas, membuatnya seperti remaja. Tangannya yang masih bau wangi leci mengusap-usap rambutku. Mbak Dana mewarisi kepandaian memasak dari Ibu.

“Capek ya?” Dicubitnya sayang pipi kiriku. Sudah kuduga, Ibu dan Mbak Dana mengira wajah cemberutku merupakan akibat dari rasa capekku. Padahal bukan itu.

“Mandi dulu?” Ibu meletakkan ransel di atas meja, tempat Bapak dulu bekerja atau membaca buku sehabis makan malam.

Tak ada buku terserak di atas meja itu. Rumah juga tampak bersih-rapih seperti biasa. Semuanya terletak indah-manis pada tempatnya. Spic-and-span, begitu dulu Bapak suka bercanda kalau melihat rumah serapih ini setelah ditata dan dibersihkan oleh Ibu. Namun suasana serba lapang-lega seperti itu justru menambah rasa sesak yang sudah mendesak rongga dadaku sejak tadi, sejak aku melihat Nana dijemput ayahnya.

Mataku tertumbuk pada senyum Bapak yang fotonya tergantung di salah satu dinding ruang tengah. Senyum itu seperti menggodaku, sama seperti dulu, bila Bapak melihatku merengut sepulang dari sekolah karena cowokku merayu cewek lain di belakang punggungku.

Tanpa bisa kutahan, rasa marah menyerbuku. Sudah lama sekali aku tidak melihat rumah dipenuhi barang-barang Bapak yang bertebaran. Amarah itu lalu menggerakkan dua kaki dan dua tanganku. Sneakers kulepas dan kutaruh sembarangan. Kaus kaki kulemparkan dan jatuh di samping rak buku. Arloji kuletakkan di atas kursi tamu. Jaket kubuka lalu kusampirkan di sandaran kursi yang sering dipakai Ibu untuk membaca. Ikat pinggang kugeletakkan begitu saja di atas lampit yang tergelar di depan TV. Kuraih apa saja yang dekat denganku dan barang-barang itu kupindah-pindahkan, semau-mauku. Seketika suasana rumah jadi tampak seperti saat-saat Bapak masih bersama kami dulu.

Ibu dan Mbak Dana terbengong melihat ulahku. Sungguh, tidak biasanya aku berlaku aneh semacam itu. Aku adalah anak Ibu yang punya kebiasaan menata ini-itu sampai nenekku menjulukiku Nona Titi Teliti, seperti salah satu karakter dalam cerita anak-anak bergambar di majalah Bobo yang sangat populer itu.

Rasa rinduku pada Bapak membuatku ingin merasakan kehadirannya di rumah ini. Aku ingin melihat rumah berantakan lagi. Aku ingin menata barang-barang Bapak lagi. Aku ingin merasa kesal karena kebiasaan Bapak yang tak mau rapi. Aku ingin semuanya kembali. Aku inginkan Bapak dan barang-barangnya yang berantakan itu.

“Riri, kamu mencari apa?” Ibu mengikutiku ke dapur dan berdiri di belakangku yang membuka-buka dan merogohi lemari-lemari kecil yang menempel di dinding. Barang yang kumau tidak ketemu. Aku mencari mug besar merah marun yang selalu dipakai Bapak untuk minum air es. Aku haus. Aku ingin minum dengan mug itu. Aku ingin melihat mug itu ada di atas meja makan, namun barang itu sudah tidak ada lagi. Mungkin Ibu telah membuangnya atau memberikan pada pembantu kami.

Dengan langkah lebar karena frustrasi aku hendak masuk ke kamar. Kulihat Mbak Dana sedang mengembalikan barang-barang yang tadi kuaca-acak.

“Biarkan begitu! Mbak Dana! Biarkan begitu!”

“Riri…?” Mbak Dana dan Ibu menatap heran ke arahku.

“Biarkan semua berantakan. Mana sepatuku…?” Aku berlari ke garasi tempat rak-rak sepatu kami. Aku kembali ke ruang tengah dengan sneakers bau yang tadi kupakai. “Biar aja ini di sini!” Seruku jengkel sekali sambil membanting sneakers malang itu. “Biar berantakan begini!” Suaraku meninggi.

“Riri…?” Ibu terdengar prihatin sekali. Tanpa bicara ia lalu mendekapku.

Dari caraku mengobrak-abrik barang seperti itu, Ibu tahu penyebab kemarahanku. Ibu tahu aku rindu Bapak. Aku rindu pada hal-hal kecil yang selalu dilakukan Bapak. Hal-hal kecil yang tidak disukai Ibu tapi menandai kehadiran Bapak di rumah ini. Sepatu yang diletakkan di ruang tamu sepulang kerja. Gelas yang ada dimana-mana, di meja kerja, di meja TV, di rak-rak buku. Kacamata baca yang sering tertinggal di kamar mandi, yang lalu menyuruhku atau Mbak Dana ikut mencari kesana-kemari. Kaus kaki yang terselip di bawah kursi. Dasinya yang dipasang kepanjangan. Koran yang selalu lupa dilipat kembali. Gunting-gunting kecil yang tergeletak dimana-mana bersama lembaran-lembaran koran atau majalah yang habis dibaca dan dipotong-potong untuk mengkliping beberapa berita yang penting baginya. Caranya menggandeng tanganku kalau menyeberang jalan. Cara kami rebutan kacang rebus karena kami berdua suka memilih yang biji-bijinya gemuk-besar. Cubitan sayang di tengkukku saat aku sedang asyik belajar. Aku rindu hal-hal kecil itu. Aku rindu bapakku. Aku ingin bapakku hadir kembali, bersama barang-barangnya yang berserakan.

“Dana… pudingnya, Sayang…” sambil masih memelukku yang menangis tersedu-sedu, Ibu meminta Mbak Dana mengambil sepotong puding leci untukku. Mbak Dana cepat-cepat ke dapur dan kembali dengan beberapa potong puding di atas piring kecil. Puding itu kegemaran Bapak. Mungkin Ibu sudah punya firasat kalau aku akan pulang membawa rasa rindu.

***

4 komentar:

Nathalia mengatakan...

yah... saya kangen emak :(

-Indah- mengatakan...

Mbak Endaahh.. ceritanya mengharukan, hikss :'(

L I N D A mengatakan...

mengharukan, pengen nulis kayak gini masih belum sukses :(

Endah Raharjo mengatakan...

Terima kasih Suri, Indah dan Linda.
@Linda: masa' siiih... kan cerita Linda semua bagus :-)