Minggu, 19 Februari 2012

Di Balik Sukses Arsitek

Mas Sudar
Apakah yang terbayang di benak sebagian besar orang ketika melihat rumah cantik atau bangunan yang berdiri kokoh megah-mewah? Salah satunya pastilah sang arsitek yang merancang bangunan itu.

Pernahkah terpikir bahwa semua rancangan yang terpampang indah di atas kertas kalkir atau layar komputer itu belum bisa dinikmati dan berfungsi bila tidak tersentuh oleh tangan-tangan berlepotan semen milik para tukang bangunan? Mungkin jawabannya adalah: jarang.

Demikianlah. Kiprah para tukang itu seolah tak kasat mata. Bahkan mereka tak pernah diundang ketika sebuah bangunan diresmikan melalui pengguntingan pita yang upacaranya saja bisa menelan biaya puluhan juta. Tampaknya tak ada yang ingat bahwa pita itu tak dapat dibentangkan bila tak ada keringat para tukang menetes di sana.

Pak Dhe
Di antara ratusan arsitek yang telah menghiasi wajah Indonesia dengan karya-karya yang elok-mempesona, ada beberapa yang dikenal sangat menghargai sumbangsih para tukang. Dua di antara mereka adalah (almarhum) YB Mangunwijaya, atau lebih dikenal sebagai Romo Mangun, dan Eko Prawoto, si murid yang begitu tekun mengikuti jejak gurunya itu. Dalam setiap karya-karya mereka, terlihat jelas jejak kaki-tangan para tukang. Keduanya cenderung menghindari bahan-bahan bangunan fabrikan dan memilih menggunakan yang serba lokal yang dirakit, ditata, disentuh langsung oleh tangan-tangan kasar para tukang. Tak heran bila bangunan-bangunan itu selain menampilkan keahlian sang arsitek dalam merancang juga menonjolkan keahlian seni kriya para tukangnya.

“Saya melihat tukang sebagai mitra dalam berkarya. Karena lewat tangan dan semangat kecintaan mereka, karya itu terwujud dan hadir secara nyata,” jelas Eko Prawoto, sang arsitek Jogja yang rancangannya amat digemari oleh para seniman itu. Arsitek muda Jogja yang ahli mendaur-ulang bahan bangunan, Yoshi Fajar Kresna Murti, termasuk di antara yang sedikit itu, yang memposisikan tukang sebagai mitra kerja.

Lihatlah para tukang yang sosoknya terpajang di sini. Merekalah sebenarnya yang dengan sabar mewujudkan rancangan yang digoreskan para arsitek di atas kertas sehingga menjadi bangunan yang dapat dihuni. Di bawah terik sinar matahari, bersimbah debu dan bermandi hujan.

Untuk menata pasangan bata yang sesuai dengan keinginan si pemilik rumah, seorang tukang harus merajut benang terlebih dulu agar si bata bisa berjajar rapi. Pun memotong kayu agar presisi memerlukan skill dan ketelitian yang tinggi. Sayangnya, gaji mereka tak seberapa dibandingkan dengan keahlian yang mereka miliki.


Bila musim sepi proyek tiba, mereka harus mencari cara agar keluarga tidak merana. Biasanya para tukang bangunan punya sawah atau ladang di desa asal mereka. “Saya nyewa tanah 3.000 m2 untuk ditanami cabe, supaya bisa mbayar hutang kalau ndak ada kerjaan.” Papar Pak Pranoto, yang lebih akrab disapa Pak Dhe, tukang serba bisa yang tetap berkarya di usianya yang memasuki enampuluhan itu. Ia telah lebih dari 40 tahun bekerja dan merakit ratusan tulangan besi untuk puluhan bangunan yang bertebaran di Jogja.

Banyak pula di antara mereka yang istrinya punya usaha. Mas Sudar, misalnya, ayah seorang putri itu membiarkan istrinya menjahit untuk menambah penghasilan. “Saya biarkan istri bekerja, biar senang dapat penghasilan sendiri, biar ndak tergantung sama suami,” demikian jelasnya dengan semangat “suami-suami sayang istri’.

Pak Dhe dan Mas Sudar, hanyalah dua dari puluhan ribu tukang yang tak tersebutkan di hingar-bingarnya pembangunan negeri ini. Mereka tak pernah protes walaupun tersembunyi di balik punggung kesuksesan para arsitek yang bangga dengan karya-karya kokoh dan megah. ***

5 komentar:

aistianto mengatakan...

hanya mereka yg tau yg bisa menilai lebih jasa para tukang bangunan.semenjak saya terujun ke dunia pertukangan saya merasakan tidak sedikit org yg menganggap rendah dan seolah-olah tukang bangunan tidak layak untuk bisa berada di tengah2 mereka.
namun buat saya itu bukan suatu alasan untuk meninggalkan dunia pertukangan buat saya tukang bangunan itu hebat karna tidak semua org bisa jd tukang bangunan.kenapa saya bilah hebat nama tukang bangunan tak akan pernah hilang sampai kapanpun.biarpun tukang bangunan rendah di mata mereka namun saya yg berprovesi sebagai tukang bangunan sangat merasa bangga karna hasil karya dari tanganku tangan mereka semua para tukang bangunan akan meninggalkan sejarah pribadi dan cerita yg tiada henti di seluruh dunia terutama negri ini.mereka tak akan pernah bisa luput dari
Jasa-jasa tukang bangunan

Salam tukang bangunan

Endah Raharjo mengatakan...

Pak Aistianto, terima kasih atas komentar.
Saya sepakat, tukang bangunan yg sudah ahli itu setara seniman :-) dan Bapak layak bangga.
Semoga sehat selalu agar bisa berkarya sbg tukang.

-Indah- mengatakan...

Ayy.. itu bener bangets, Mbak Endah, mereka itu ibarat yang ada di belakang layar, hehehe.. sementara arsitek itu "sutradara"-nya, yang mana ngga bisa kerja sendirian juga tanpa bantuan yang lainnya :)

Baru tadi kepikiran tentang tukang sampah, betapa kadang kita mungkin suka meremehkan keberadaan mereka, tapi bayangkann.. kalo ngga ada mereka, wakss.. sampah2 itu akan menumpuk di mana2 boo!

Jadi sekalian mau bilang, terima kasih untuk semua yang udah bekerja bahu membahu walau mungkin jarang mendapatkan ucapan terima kasih secara langsung dari pihak yang menikmati hasil kerjaan mereka..

Ria Tumimomor mengatakan...

Mereka memang pantas dihargai karena setidaknya mereka bekerja halal . Walau mereka hanya dibalik layar tapi tanpa mereka gak akan berdiri tuh bangunan...

Endah Raharjo mengatakan...

Aiiih... ada tamu, nih... Jeng Ria dan Nak Indah :-)
Iya, bener, kita sering lupa pd jasa2 orang di sekeliling kita, yg berbuat banyak di belakang, yang jarang kita puji, bahkan kadang terlupakan.

Makasih ya udah main ke sini, mau es krim apa air putih aja? apa dua2nya? "-)