Kamis, 16 Februari 2012

Bagai Kisah Kunti

Mawar oleh Azam Raharjo
Ungu namanya. Sebagai anak Kepala Desa ia dikenal banyak orang bukan hanya karena paras ayunya saja. Ia pintar, gandhes-luwes dan perilakunya andap asor. Hampir semua warga desa menyukainya. Karena kecantikannya, banyak pemuda jadi tergila-gila pada gadis yang belum lama melepaskan masa remajanya itu. Dengan sopan Ungu selalu menolak bujuk-rayu mereka.

Suatu hari datanglah seorang pemuda bernama Surya. Gagah dan tampan luar biasa. Awalnya, Ungu hanya menanggapi sedikit-sedikit rayuan sang pemuda. Sekedar bersikap sopan. Tapi lama-lama Ungu terpikat juga. Ia jadi ingin tahu seperti apa rasanya bila sesekali ia menerima ajakan Surya untuk pergi berdua.

Syahdan jadilah Surya menggandeng Ungu. Pergi entah kemana. Berdua saja. Dan sialnya, sebulan kemudian Ungu mendapati dirinya hamil padahal Surya sudah menghilang tak tentu rimbanya.

“Duh, Gusti….” Ibunya meratapi aib yang menimpa si putri rupawan. Bapak, ibu dan anak menangis bertiga.

Seluruh keluarga merasa sedih karena si bunga desa telah kehilangan putik-madunya. Dengan seluruh daya upaya, selama 9 bulan penuh Ungu mereka ungsikan di sebuah kota yang warganya tak saling kenal satu sama lain. Gadis itu tinggal bersama saudara sang ibu.

“Ungu sekolah di kota,” jawab bapak dan ibunya setiap ada tetangga bertanya.

Genap sembilan bulan kemudian, Ungu kembali ke desanya. Tampak langsing dan cantik jelita. Bayi lelakinya diasuh oleh salah satu kerabatnya. Ungu mendapatkan kembali mahkotanya sebagai bunga desa.

Tak lama kemudian, datanglah seorang lelaki kaya, tuan tanah dari desa tetangga. Ia mempersunting Ungu menjadi istrinya. Tak ada cerita apakah sang tuan tanah tahu kalau Ungu pernah melahirkan bayi lelaki. Tak ada pula yang tahu bahwa sebenarnya tuan tanah itu punya kekurangan yang membuatnya tak mampu menjadi suami sejati. Ketika remaja, ia terjatuh dari pohon kelapa dan kehilangan kejantanannya. Lingganya tak bisa lagi tegak sempurna.

“Duh, Gusti. Inikah hukumanMu pada hambaMu yang dosa,” begitu rintih Ungu.

Hari berganti minggu. Seminggu berlalu datanglah bulan. Tahun menyusul tak ingin ketinggalan. Ungu dan suaminya tampak selalu mesra, walau mereka tak pernah benar-benar menikmati sari madu asmara. Pasangan ini begitu pandainya menutupi luka yang mengoyak bilik cinta mereka.

Demi menyembunyikan kelemahannya, suami Ungu membiarkan istrinya berhubungan dengan kolega-koleganya. Sementara dirinya sibuk menghitung uang, Ungu menaburkan keelokan paras-fisiknya dari satu pesta ke pesta lainnya. Para lelaki silih berganti singgah si sangkar madu Ungu. Satu. Kemudian dua. Lalu hinggaplah yang ketiga. Dan lahirlah tiga anak dari tiga lelaki yang berbeda.

Aduhai…. Hanya Ungu dan suaminya yang tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Bahkan para lelaki yang membuahi rahim Ungu tidak tahu kalau mereka telah membantu si tuan tanah menjadi lelaki sempurna.

Apa hendak dikata. Sejarah sering berulang walau alasannya berbeda. Kisah Ungu si bunga desa ini bagai kisah Kunti. Istri Sang Pandu itu dianugerahi empat putra perkasa oleh empat dewa yang berbeda. Hingga lahirlah Karna, Yudistira, Bima dan Arjuna.

***

1 komentar:

Endah Raharjo mengatakan...

:'( hiks.... Hiks....